Siapa sangka, pamit Letda Ghafi yang hanya dua hari untuk menemani Komandan Batalyonnya kunjungan kerja ke Yogyakarta ternyata adalah pamit untuk selamanya.

"Ayo, Nak, sebentar lagi tabur bunganya dimulai. Kita naik ke kapal ya, yang lain sudah menunggu."

"Iya, Bunda," balas Zana mengangguk. Bersama sang bunda, ia mulai berjalan menuju kapal yang akan mengarung sampai ke tengah laut.

Sesama di tengah laut, kapal mengarung sangat pelan, memberi kesempatan pada orang-orang yang ditinggalkan Letda Ghafi untuk menabur bunga.

"Laut, aku ikhlas calon suamiku abadi dalam dekapanmu. Aku ikhlas jika kau mengambil nyawanya. Insyaallah dia meninggal dengan keadaan syahid karena tenggelam dalam keindahan lautmu. Tapi laut, jika ada keajaiban, tolong kembalikan jasadnya pada kami. Setidaknya kami bisa melihatnya untuk yang terakhir kali," lirih Zana bersamaan dengan tangannya yang bergetar menabur bunga ke lautan.

"Maafkan Ghafi yang tidak bisa menepati janjinya untuk menikahimu ya, Nak," seorang perempuan paruh baya mengusap-usap lengan Zana.

"Letda Ghafi mungkin mengingkari janjinya, tapi dia tidak salah, Tante," balasnya berusaha tersenyum.

Lautan yang terlihat indah di hadapannya itu, telah merenggut nyawa calon suaminya.

Lautan yang tampak tenang itu, telah memisahkan seorang putra dari kedua orang tuanya.

Sejak kejadian itu, Zana tak membenci laut sepenuhnya. Tapi tidak bisa dipungkiri, ia cukup takut jika berlama-lama memandangi laut. Walaupun begitu, sesekali Zana berkunjung untuk sekedar duduk di tepiannya. Ia mencoba berdamai dengan takdir. Ia berharap ini adalah terakhir kalinya laut mengambil seseorang dari dalam hidupnya. 

Letda Ghafi memang belum menjadi miliknya, tapi laki-laki itu berhasil mengetuk pintu hatinya untuk yang pertama kali, karena keberanian dan kesungguhannya menemui sang ayah. Dia adalah laki-laki yang memenuhi standar ayah dan saudara laki-lakinya.

"Laut, rupanya kau memang sangat menyayangi Letda Ghafi hingga dekapanmu tak mengizinkan dia kembali," lirih Zana diiringi backsound deburan ombak yang mengalun pelan. "Letda Ghafi... Bantu saya untuk mengikhlaskanmu yang sudah didekap erat laut. Saya bersyukur diberi kesempatan mengenal laki-laki sebaik anda. Terima kasih sudah pernah memperjuangkan saya walaupun akhirnya kita tidak pernah bisa bersama."

"Laut, titip Letda Ghafi, ya."

Zana memutuskan untuk kembali setelah beberapa menit duduk di tepian laut. Saat hendak beranjak, ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya dari belakang. Ia lantas menghentikan langkahnya dan menoleh.

Betapa terkejutnya saat Zana melihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri di belakang sana. Laki-laki itu seperti tak asing.

"L—Letda Ghafi?" dia sangat mirip dengan laki-laki yang diyakini sudah tiada itu.

Sepersekian detik kemudian Zana menggeleng, ia menepuk-nepuk pipinya mengira jika ini adalah mimpi. Mungkin karena masih dalam suasana duka, apalagi jasad Letda Ghafi belum ditemukan, jadi ia terus terbayang pada sosoknya.

"ZANA, KAMU DI MANA, DEK?" teriakan seseorang memanggil membuyarkan Zana.

"Ya Allah, ini pasti mimpi," Zana terus menggeleng sambil berbalik arah dan menjauh dari tempat itu.

"Ghaf, kenapa kamu menitipkan bidadari seperti dia padaku? Apa aku yang tidak sempurna dalam segala hal ini, pantas memperjuangkan dia yang begitu sempurna?" lirih seorang laki-laki.

_______________________________




Gimana prolognya?

Siapa penasaran part selanjutnya?

Kira-kira yang Zana liat itu siapa?

Lentera Hati ada versi AU — Alternate Universe di ig ya. Cek di sini👇🏻

 Cek di sini👇🏻

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

_______

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

_______

Spam 🦋🩵

Spam Next

Spam Lentera Hati

2k vote komen

Lentera HatiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon