Jeda'31🌵

595 81 48
                                    

Happy Reading 🌱

Selepas makan, Ning Najma mengobrol dengan Bu Nyai Lina di ruang tengah. Hal yang mungkin bisa dihitung selama Ning Najma ke sana. Tak ada kenangan masa kecil yang dia ingat di sana. Apalagi kenangan bersama Gus Adnan yang katanya juga saudara dua pupunya itu.

Selain lebaran dan hari-hari besar islam, Ning Najma terbilang jarang ke pesantren Nurul Quran. Selain karena dirinya memang sibuk bersekolah, Bu Nyai Ana─Ummahnya memang jarang mengajaknya pergi ke sana. Begitupun jika keluarga Kyai Azmi bertandang ke Pesantren Al-Furqan, mungkin dirinya hanya keluar untuk menyapa setelah itu akan masuk lagi ke dalam, karena kadang obrolan di antara Ummahnya dan Nyai Lina bukanlah obrolan yang boleh atau bisa dia simak juga.

Selama di meja makan tadi, Gus Adnan sama sekali tidak berani melempar pandang sedikitpun pada Ning Najma. Selain merasa canggung, dia juga merasa tak enak jika sampai bersitatap dengan gadis cantik itu. Bahkan tadi pun dia berusaha untuk menutupi rasa gugupnya dengan berpura-pura terus menanggapi pertanyaan-pertanyaan Gus Fahrul. Namun kini, tempat duduk yang ia tempati berada lurus dengan tempat duduk Ning Najma. Titik pandangnya mudah sekali menangkap keberadaan gadis yang tampak akrab dengan umminya itu.

"Nana belum minta maaf loh sama Adnan." Gus Fahrul mengingatkan adiknya tentang kesalah pahaman kemarin. Membuat rona merah di muka si cantik itu kembali. Sedang kedua pria di sampingnya malah kompak mengulas senyum. Begitu juga dengan Bu Nyai Lina yang ikut mengantar mereka sampai ke mobil.

"Dih, orang itu salah Kak Arul yang nggak mau ngasih tahu."

"Lah, kok malah Kak Arul yang salah. Kan Nana sendiri yang maen asal nebak."

"Ya paling enggak kan Kak Arul benerin tebakan Nana kalau salah. Bukannya malah dibiarin."

Ummi Gus Adnan menengahi dengan meraih tangan Ning Najma lalu berkata, "Artinya Nana ini bener-bener anak dari Bu Nyai Ana."

Ning Najma mengangkat alis, ketiga pria di sampingnya juga ikut melongo mendengar ucapan Bu Nyai Lina.

"Karena dulu Ummah Gus Fahrul dan Ning Najma juga pernah salah tebak sama Abahnya Adnan."

"Ha?"

Jeda༊*·˚


Mereka berempat berpamitan untuk sowan ke bersama-sama ke makam yai sepuh yang ada tepat di belakang masjid Pondok Pesantren Al-Furqan. Makam Kakek Uyut Gus Fahrul, Gus Adnan, serta Ning Najma.

"Kalau sudah malam, ndak pa-pa menginap saja dulu di sana, Le. Jangan terburu-buru pulang!" pesan Bu Nyai Lina pada Gus Adnan.

Tak seperti Gus Amran dan Gus Fahrul yang kedatangannya disambut dengan acara tasyakuran. Gus Adnan memilih untuk tetap tersembunyi, meski di pesantren sekalipun. Sejak awal dia sudah mewanti-wanti Umminya untuk tidak mengadakan tasyakuran. Hal itu juga didukung oleh Kyai Azmi, Abinya. Yang dulu juga tidak suka jika kedatangannya dari Arab disambut dengan hal seperti itu.

Bu Nyai Lina mengemas beberapa lauk untuk Ummah dari Ning Najma, sementara Gus Adnan mengambil beberapa barang di dalam kamarnya. Sambil menunggu Nyai Lina dan Gus Adnan selesai, Gus Amran menepi untuk menelepon. Saat itulah saat yang tepat bagi Gus Fahrul untuk kembali mengusik Ning Najma, adiknya.

"Gimana? Amran yang kemarin ditanyain ke Kakak adalah Amran yang sama dengan yang itu bukan?" Dagu lelaki berhidung bangir itu menunjuk ke arah Amran yang berdiri di dekat mobil.

Ning Najma melirik tajam pada Gus Fahrul yang sudah menahan senyum sejak tadi.

"Kalau lirikannya begini, artinya bener."

"Ish, Kak Arul, ih."

"Haha, tak aduin ke Amran kalau Nana kemarin ghibahin dia."

"Dih, orang cuma nanya. Beda kali."

Jeda༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang