Bab 16 : Membuang Firasat

468 49 4
                                    


"Mina…apa kaksudnya?"

Aku bergegas mendekat, tapi mina Kurik bergeming. Ia tidak menjelaskan secara rinci maksud lelaki tadi.

"Roh Retno harus dikariau malam ini juga, sebelum terlambat dan kita semua celaka," ucap mina Kurik dengan wajah cemas.

"Ilham, kau dan Dibyo datangi bue Sipet. Pinjam kangkanung sebuah, katakan kita akan mangariau malam ini," lanjutnya.

Ilham melangkah terburu ke dalam rumah, lalu kembali lagi membawa kunci motor. Sesaat kemudian, aku dan Ilham sudah melaju di atas jalan desa yang berupa cor semen. Sepanjang jalan aku memekik, Ilham memacu motor terlalu kencang.

*****

Ilham memelankan laju motor, memberikan kesempatan bagiku untuk menghela napas. Aku mengedarkan pandang, memperhatikan keadaan sekitar. Desa ini begitu tradisional, seolah hidup di masa lampau. Sandung dan sapundu tampak menghiasi hampir semua pekararangan rumah warga. Anjing-anjing kampung berkeliaran, sementara para penduduk berangkat ke ladang dengan tas panggul terbuat dari anyaman rotan.

Sejauh mata memandang, hutan hijau membentang mengelilingi desa, dihiasi pucuk-pucuk bukit yang tampak menyembul di kejauhan. Sesaat aku takjub, seolah terlepas dari hiruk pikuk Jakarta yang sumpek. Andai tidak sedang dilanda masalah, desa ini tempat yang cocok untuk melepas penat. Udaranya bersih tanpa polusi, dan suara hewan dari hutan terasa alunan musik yang menenangkan.

Ilham mengarahkan motor belok kiri, melewati jembatan beton yang membelah sungai di tengah desa. Setelah melewati jalan yang agak menanjak, kami akhirnya tiba di tujuan. Ilham memarkir motor di bawah pohon jambu. Seorang kakek yang sedang membuat ukiran gagang mandau di teras rumah langsung menoleh, lalu menghentikan kesibukannya. Ia hanya mengenakan singlet butut dan celana pendek.

Rumahnya terlihat sepi, hanya ada ia dan seorang nenek yang sedang asyik mengunyah sirih pinang. Di dalam rumahnya banyak alat musik tradisional, dugaanku kakek ini seniman lokal. Berbagai seni ukir menghiasi dinding rumahnya, menambah kesan pedalaman yang kental.

Sewaktu kami mendekat, ia memandang wajahku dengan tertegun, seolah ada yang mengganjal. Matanya tak pernah lepas membuatku agak risih. Si kakek lantas berdiri, menyambut kedatangan kami. Mendengar penjelasan Ilham, si kakek terperanjat. Matanya menyipit dan kulit wajahnya yang keriput kian mengkerut.

"Serius, mertuamu mau menjemput arwah gadis itu ke alam sana?"

"Iya, bue. Katanya sih seperti itu," terang Ilham.

"Apa mertuamu tahu, tindakannya berbahaya? Pergi ke alam sana, sama saja bunuh diri. Alam jata itu penuh arwah jahat yang ingin memangsa arwah orang yang tersesat. Lagi pula, mangariau untuk memanggil, bukan menjemput arwah."

"Entahlah…kata ibu, hanya itu caranya untuk menyelamatkan Retno. Arwahnya sudah coba dipanggil, tapi tak mau kembali. Satu-satunya cara hanya dijemput."

Bue Sipet hanya pasrah, lalu melangkah ke dalam mengambil benda yang kami butuhkan. Aku dan Ilham duduk di teras, menunggu. Sesaat kemudian ia telah kembali. Ternyata benda yang kami butuhkan semacam alat tabuh yang terbuat dari kuningan. Semacam gong tapi ukurannya lebih kecil.

"Hanya sebiji, kan? Bukan satu set."

"Eh, iya, bue. Pinjam satu buah aja dulu," sahut Ilham.

Aku pun menyerahkan sejumlah uang buat si kakek sebagai ucapan terima kasih. Awalnya ia menolak, tapi setelah kupaksa barulah ia mau menerima. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun beranjak permisi.

*****

Sesampainya di rumah Ilham, ternyata hanya pak Wardoyo yang kembali. Dari keterangan pak Wardoyo, ia kembali menggunakan ojek sedangkan Galih akan menyusul nanti sore karena masih urusan yang harus ia selesaikan. Aku sedikit kecewa lantaran sudah tak sabar ingin ganti pakaian.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanWhere stories live. Discover now