Bab 8 : Pemakan Mayat

449 41 4
                                    


Sudah lebih dari dua jam kami melakukan upaya pencarian di sekitar rumah sakit tapi Retno tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Setiap sudut lorong dan ruangan kami telusuri. Satpam dan perawat tampak panik meski mereka sudah berpencar melakukan pencarian.

Beberapa pengunjung rumah sakit juga turut membantu tapi belum membuahkan hasil. Kami bahkan sudah melakukan pencarian di area hutan di belakang rumah sakit tapi hasilnya nihil.

Duduk di lorong rumah sakit, Bu Lastri bergelayut pada lengan pak Wardoyo yang mencoba menenangkannya. Air matanya berurai sedangkan isaknya tertahan. Wajahnya yang lelah tampak penuh penyesalan. Ia terus mengucap doa hingga suaranya hampir tak terdengar lagi.

Kata bu Lastri, Retno menghilang dalam sekejap. Waktu itu ia tengah menyelimuti Retno yang sudah terlelap. Ia memandangi wajah anaknya dengan perasaan sedih sambil mendoakan kesembuhannya. Tiba-tiba lampu di seluruh ruangan mati, menyala, mati, lalu menyala lagi terus menerus selama beberapa detik.

Bu Lastri kemudian terperanjat, Retno yang tadi terbaring sudah tidak terlihat lagi dari pandangan mata. Yang tertinggal hanyalah cairan infus yang terus menetes. Awalnya bu Lastri tidak curiga karena mengira Retno sedang ke wc, ia lantas membenarkan cairan infus agar tidak terbuang dan membasahi lantai.

Namun, 15 menit berlalu Retno tetap tak kembali. Ia mencoba memanggil Retno di wc tapi tidak ada jawaban. Saat pintu dibuka, ternyata wc dalam keadaan kosong.

Bu Lastri yang panik bertanya pada keluarga pasien lain, tapi mereka mengaku tak melihat Retno meninggalkan ruangan.

"Bu, ada lihat anak saya gak? Tadi ia tiduran di ranjang, tapi tiba-tiba hilang?"

Seorang ibu-ibu yang sedang menjaga anaknya tampak kebingungan. Begitu juga keluarga pasien lainnya.Tidak ada seorang pun melihat Retno meninggalkan ruangan.

"Maaf bu, bukannya anak ibu tiduran di ranjang? Saya tidak melihat ada orang keluar dari ruangan. Apalagi, tadi lampu hanya berkedip sebentar. Tidak mungkin ia hilang dalam sekejap."

Kehebohan pun segera terjadi. Kabar Retno yang hilang segera menyebar. Bu Lastri dan beberapa orang lainnya segera mencari di luar ruangan tapi tak membuahkan hasil. Bu Lastri yang dicekam rasa khawatir segera menelpon pak Wardoyo hingga akhirnya kami kembali ke rumah sakit.

Sewaktu kami tiba, para petugas tampak mengelilingi bu Lastri yang dicekam kebingungan. Kami pun bergegas menghampiri, ternyata pihak rumah sakit menyanggah bahwa Retno menghilang.

Mereka mengatakan bahwa bisa jadi Retno hanya ke kamar mandi atau jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Kami disuruh menunggu hingga Retno kembali. Namun, bu Lastri bersikeras. Para keluarga pasien lain yang jadi saksi mata juga menguatkan perkataan bu Lastri hingga akhirnya pihak rumah sakit tidak berkutik.

Kami pun diajak memeriksa rekaman CCTV tapi sia-sia. Tidak semua area terpantau kamera pengawas. Hanya ruang VIP, area parkir serta area ruang manajemen. Kami pun berinisiatif melakukan pencarian hingga malam semakin larut.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam, suasana semakin sepi dan cuaca semakin dingin. Kami pun mulai putus asa, Retno menghilang tanpa jejak. Kami berempat kembali ke ruangan Retno dengan perasaan campur aduk. Bu Lastri masih sesenggukan di pelukan pak Wardoyo, sedangkan aku dan Galih duduk di luar ruangan dengan perasaan risau.

"Apa kita lapor polisi saja, Lih? Polsek masih buka kan?"

"Mereka takkan menerima laporan orang hilang sebelum 24 jam."

"Terus, kita hanya akan duduk-duduk saja?" Suaraku mulai meninggi.

"Kita menunggu, Dib. Kita hanya bisa menunggu saat ini. Menunggu sampai pagi, baru kita lanjutkan pencarian. Seluruh penjuru rumah sakit sudah kita cari. Tukang ojek yang mangkal di depan juga tak melihat Retno. Kita lihat perkembangan, lalu kita pikirkan lagi."

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanWhere stories live. Discover now