Bab 18 : Sungai Darah

480 58 9
                                    


Bilah mandau melesat di samping, menggores pelipis dan membelah kuping kananku jadi dua. Aku menjerit sejadinya hingga suaraku serak. Rasa perih terasa menjalar ke seluruh badan. Hampir saja aku terkena serangan jantung demi melihat darah membasahi pipi, leher, dan baju.

Rupanya pak Wardoyo berhasil menarik lenganku, sepersekian detik sebelum mandau melibas kepala dan mengeluarkan isinya. Mandau hanya menghujam tanah persis di samping kepala, mengiris kuping jadi dua. Berhasil berdiri, aku gelabakan menjauh sambil memegang kuping yang terbelah. Kurasakan telapak tanganku basah, terasa hangat penuh darah segar.

Retno mencabut mandau yang menancap di tanah lalu kembali terkikik. Sorot matanya mengerikan. Bengis, ganas dan liar seperti hewan lapar. Ia lalu menjilati darah di bilah mandau dengan rakus, senti demi senti. Lidahnya menjulur, menyapu tiap tetesan tanpa sisa. Bu Lastri yang tak tahan melihat tingkah anaknya langsung limbung tak sadarkan diri. Pak Wardoyo bergegas menyeret istrinya menjauh sementara aku mengikuti dengan tertatih.

Galih dan Ilham muncul dari samping rumah. Mereka berlari terpincang dengan kondisi tubuh kotor penuh tanah. Wajah mereka lecet entah tergores duri belukar atau hal lainnya. Mereka tercekat melihat pipi kanan dan leherku bermandi darah. Kedua orang itu mendadak gemetar, mundur selangkah demi selangkah. Deru nafas mereka bahkan terdengar dari tempatku berdiri.

Beberapa meter dihadapan mereka Retno bertingkah sinting, menari dan tertawa seraya mengacungkan mandau. Retno menggeram, memutar lehernya perlahan. Gadis yang telah dirasuki setan itu menatap tajam ke arah Galih dan Ilham. Ia menyeringai sesaat karena menemukan mangsa baru. Retno menjatuhkan ujung mandau di atas tanah lalu menyeretnya. Lampu yang terus berkedip membuat Retno terlihat semakin mengerikan.

Detik berikutnya, Galih dan Ilham tunggang langgang menyelamatkan diri. Retno terkikik berlari, mengejar Ilham dan Galih seraya menebas mandau membelah angin. Aku bergidik ngeri menyaksikan Ilham dan Galih berusaha melompati pagar kayu. Ilham berhasil melompat tapi malang bagi Galih. Ia tak berhasil menghindar. Tebasan mandau menyabet lengan kanannya, mengoyak daging dekat sikut hingga tulangnya terlihat.

Galih terjatuh, tergeletak tak berdaya. Retno melangkah pelan mendekati Galih yang tersungkur. Galih merangkak seraya menjerit sementara Retno mengikuti.

Heekk!

Galih terhenyak, Retno menginjak punggungnya. Galih hanya bisa pasrah menyadari nyawanya sudah tak bisa lagi diselematkan. Retno tertawa sebelum menghujam punggung Galih untuk mengakhiri hidup sahabatku ini. Aku berteriak, berteriak sangat keras. Aku berlari untuk mencegah Retno berbuat gila.

Duung

Tiba-tiba Retno menjerit, gema kangkanung menyakitkan gendang telinganya. Teriakan Retno teramat kencang sehingga membangunkan tetangga. Retno terduduk sambil memegang kuping dengan urat leher menonjol. Ia kemudian terbanting, menggelepar di atas tanah. Mulutnya mengeluarkan liur sementara darah keluar dari lubang hidungnya. Retno meronta kesakitan dengan jerit yang menyayat hati.

Mina Kurik melangkah pelan dari dalam rumah, memegang kangkanung dan alat pemukul. Lantai teras yang terbuat dari papan berderak sewaktu kakinya menapak selangkah demi selangkah. Ia bergerak menuruni tangga lalu mendekati Retno yang terbujur kaku dengan mata melotot.

Aku bergegas mendekati Galih yang terluka sementara beberapa tetangga mulai berdatangan dengan wajah keheranan.

"Kita harus ke rumah sakit, sekarang!" ucap Ilham yang sudah berdiri di samping.

Sejurus kemudian aku dan Galih sudah berada di dalam mobil bersama beberapa orang tetangga. Ilham memacu mobil dengan kecepatan tinggi, membelah malam menuju ruang UGD rumah sakit di ibu kota kabupaten.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanWhere stories live. Discover now