Bab 12 : Kaki Di Kolong Mobil

484 41 0
                                    


Aku balik badan dan menarik napas lega. Ternyata Retno anteng dengan earphone terpasang di telinga. Sepertinya ia tengah menikmati musik dari handphone yang ia genggam. Ia tampak tenang seolah tidak sedang mengalami masalah sedikitpun.
Mengetahui aku menatapnya, Retno merengut. Dengan berat hati aku kembali menoleh ke depan, menatap nanar jalan yang gelap gulita.

Setidaknya Retno baik-baik saja, gumamku dalam hati.

*****

Sedari tadi aku merasa gelisah dalam perjalanan ini. Aku merasa terlalu beresiko seperti yang disampaikan mina Kurik sebelumnya. Namun, entah kenapa orang-orang ini tampaknya terlalu bersemangat dan terkesan meremehkan peringatan mina.

"Dib, jangan khawatir. Setelah tanjakan panjang di depan, kita akan sampai ke tempat mina. Setelah itu, besok pagi kalian akan bisa kembali ke Jawa," Galih berusaha meyakinkan.

"Bukankah mina bilang, salah satunya harus mati. Bagaimana kalau ia gagal, dan Retno…" Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Aku tak berani membayangkan jika ada hal buruk menimpa Retno.

"Dib, mina kan bilang, roh Retno bisa dijemput saat ikatan mantranya tipis. Siapapun pelakunya, ia pasti tidak tahu rencana mina. Rencana ini pasti berhasil tanpa ada yang harus meninggal."

Aku tak mengiyakan dan juga tidak membantah. Aku hanya diam, melihat barisan pohon-pohon yang terkena sorotan lampu mobil. Beberapa menit berlalu tidak ada seorangpun yang kami temui di jalan, kecuali sesekali tupai atau musang yang menyeberang.

Pepohonan yang menjulang tinggi seolah seperti bayangan hitam yang menakutkan karena langit yang begitu gelap. Ranting dan dedaunan bergoyang pelan tertiup angin, membuatku memikirkan yang bukan-bukan. Entah kenapa, aku merasa ada anak kecil yang duduk di ranting itu.

"Dib, jangan melamun," tegur Galih.

Aku gelagapan, lalu menepis berbagai pikiran buruk yang hinggap di kepala. Aku membaca doa di dalam hati, meminta perlindungan agar perjalanan kami tak menemui kendala.

Di belakang, Retno dan orang tuanya terus mengobrol dan sesekali Galih menimpali. Mobil terhentak-hentak saat melintasi jalan cor semen yang banyak terkelupas. Kami beberapa kali memekik lantaran kepala terantuk atap mobil yang keras. Mobil terasa melaju semakin cepat saat melewati jalanan yang menurun.

Di kejauhan, tepat di tikungan, lampu mobil tiba-tiba menyorot sosok mengerikan yang berdiri di pinggir jalan. Terlihat seperti manusia, tapi jelas sekali bahwa itu bukan manusia.
Sosok itu berwarna hitam pekat dan hanya diam di antara rerumputan, menatap ke arah mobil kami yang kian mendekat.

Jantungku rasanya melompat-lompat ketika lampu mobil dengan jelas menyorot sosok itu.  Wajahnya terlihat aneh dan kaku, benar-benar mengerikan. Sedetik kemudian, aku menarik napas lega ketika mobil melewatinya.Ternyata hanya patung berwujud manusia yang terbuat dari kayu ulin.

"Itu namanya pakahan. Patung peringatan bahwa tempat ini pernah terjadi kecelakaan. Jika ada satu patung, artinya ada satu nyawa melayang. Jika ada dua, berarti dua orang yang tewas, begitu terus. Jika bentuknya laki-laki, berarti korbannya laki-laki. Jika bentuknya anak kecil, berarti korban yang tewas adalah anak-anak," jelas Galih.

Aku bergidik ngeri, menyadari tikungan menurun ini telah merenggut korban jiwa.

"Patung tadi dibikin agar arwahnya tenang. Didoakan secara ritual adat. Sekaligus agar pengendara lainnya hati-hati," tambah Galih lagi.

Aku melirik ke spion, memperhatikan patung tadi yang terlihat mengecil seiring mobil menjauh. Namun aku segera terdiam, ternyata ada sosok lain di patung itu. Sosok perempuan tanpa busana duduk di atasnya dengan rambut yang meneteskan darah. Darah dari rambut membaluri seluruh kulit tubuhnya yang mengelupas dan koyak. Sosok itu kemudian melompat dan menghilang di balik belukar tinggi.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora