21 Ketegangan Di Meja Makan

Start from the beginning
                                    

“Aku hanya merasa penasaran dengan siapa yang mencoba bermain-main di belakanku. Tante Maida? Sepertinya itu bukan hal baru, kan? Tapi … siapa yang berhasil mengacaukan rencananya? Bukankah itu pasti ada orang lain?”

Wajah Yoanna berubah lebih pucat, pun begitu ia berusaha sangat keras menguasai emosi di wajahnya dan menjawab dengan penuh ketenangan. “Kau memang tak bisa dibandingkan dengan Bastian, Leon.”

“Apakah mama yang melakukannya?”

Mata Yoanna mengerjap sekali.

“Pada siapa mama memohon? Diam-diam menemui para direksi atau … langsung bicara dengan paman Jacob?”

Yoanna terdiam sejenak. “Tidak penting pada siapa mama bicara, Leon.”

“Jadi memang mama yang melakukannya?” tandas Leon. Dengan bibir yang nyaris tak bergerak.

Yoanna mengedipkan matanya beberapa kali dengan gugup. Membasahi tenggorokannya sebelum kembali bicara. “Mama hanya meyakinkan bahwa Thobias Group tanpamu, semua akan hancur.”

“Mama memberikan kepedulian terlalu banyak pada perusahaan yang bahkan bukan milik keluarga kita. Papa bahkan tidak bekerja di sana.”

“Leon …” Lionel berusaha menyela, tetapi arah pandangan Leon pada Yoanna tidak bergeming.

“Aku hanya penasaran, apa yang mama bicarakan hingga paman Jacob membuat keputusan yang sangat besar itu, bahkan menentang keinginan istrinya sendiri.”

Seluruh tubuh Yoanna membeku. Pandangannya masih melekat pada sang putra yang juga menatapnya lebih dalam. Mengelupas setiap emosi di kedua matanya.

Kedua tangan Leon terkepal kuat. Apa yang tersirat di kedua mata sang mama semakin membuat emosi di dadanya bergetar hebat. Semua kecurigaannya sudah terjawabkan.“Atau … mama mengancamnya?”

Pyaarrr …

Suara gelas yang pecah menyeruak ketegangan di antara ibu dan anak tersebut. Leon menoleh ke samping dan membelalak dengan Aleta yang mengaduh karena cangkor kopi panasnyalah yang tak sengaja tersenggol lengannya dan tak sengaja mengenai punggung tangan gadis itu.

Aleta meringis, meniup punggung tangannya yang kepanasan.

“Kau baik-baik saja?” Leon meraih tangan Aleta dan memeriksanya. Tangannya sudah akan mencari lap atau apa pun untuk membantu mengurangi rasa sakit sang istri, tetapi ada tangan lain yang langsung menyiram tangan Aleta dengan air dingin lalu mengeringkannya dengan tisu sambil menyuruh pelayan untuk segera membawa kotak p3k.

“Hati-hati kakimu, Yoanna.” Lionel menarik mundur pinggang sang istri.

Pandangan Leon turun ke arah pecahan cangkirnya yang nyaris diinjak sang mama. Ia beranjak dari duduknya, membawa Aleta ke dalam gendongannya dan mendudukkan gadis itu di sofa ruang tengah. Tak lama pelayan datang, membawakan kotak p3k. Tak butuh waktu lama untuk menemukan salep luka bakar di sana dan mengoleskannya ke punggung tangan Aleta dengan hati-hati.

“Lebih baik?”

Aleta mengangguk pelan.

“Kakimu?” Leon membungkuk, memeriksa kedua kaki Aleta dengan seksama dan merasa lega karena tak menemukan luka lecet atau goresan dari pecahan cangkir.

“Kenapa kau tak hati-hati?” sergahnya dengan nada sedikit kesal.

“Kau yang menumpahkan cangkirmu sendiri, Leon,” jawab Lena, yang berdiri di samping sofa. Tatapan Leon beralih pada gadis muda tersebut. “Aku melihatnya. Kau menyenggol cangkir kopimu dengan sikumu. Jika kau tak percaya, CCTV ruang makan kita pasti menyala.”

Leon mengerjap terkejut, yang tak ada alasannya dengan jawaban sang asik. Ia bahkan lebih terkejut menyadari emosinya sendiri yang ternyata lebih kuat dari yang diduganya hingga tanpa sadar membuat Aleta terluka seperti ini. Pandangannya beralih pada mama dan papanya yang juga berdiri tak jauh dari Lena, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sebelum kemudian menatap Aleta yang hanya terdiam. “Hari ini kau tidak perlu ke rumah sakit. Istirahat saja di kamar,” ucapnya sembari beranjak dari sofa. Lalu menggendong gadis itu keluar dari ruang tengah, kembali ke paviliun.

“Apakah menurutmu dia tahu sesuatu?” Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya di depan perut. Berkali-kali menggigit bibir bagian dalamnya dengan penuh kecemasan.

Lionel menghela napas rendah. Meraih kedua tangan sang istri dan menggenggamnya dengan lembut. “Dia pria yang cerdas, Yoanna. Hingga sejauh ini dan dia baru menyadarinya sekarang, itu semua karena dia tersibukkan dengan pekerjaannya.”

“Itu artinya dia sudah menyadarinya, Lionel. Leon tak pernah bicara seperti ini tentang hal itu. Dan dia tahu aku berbohong.”

“Kau tahu cepat atau lambat rahasia ini akan terbongkar, kan?”

Yoanna menggelengkan kepalanya. “Aku tak siap kehilangan dia. Sudah cukup selama ini aku menjadi ibu yang buruk dan selalu mengecewakannya. Ini satu-satunya hal yang tak bisa kuterima.”

Lionel tak mengatakan apa pun. Tangannya bergerak menghapus air mata sang istri yang jatuh ke pipi lalu memeluk wanita itu ke dalam pelukannya. Yang kemudian terisak lebih keras. “Leon tahu kau berusaha melakukan yang terbaik untuknya dan dia pasti akan memahami posisimu.”

“Dia membenciku. Selama ini aku merasakannya, aku hanya tak ingin mengakuinya.”

“Kau ibunya.”

“Dia menikahi Aleta karena ingin mengecewakanku. Aku bisa melihat sorot matanya dengan jelas.”

Lionel mengelus punggung Yoanna yang semakin bergetar. “Aku akan berusaha bicara dengannya.”

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now