2 - Kehilangan

28 3 0
                                    

Wina sungguh-sungguh dengan ucapannya saat sarapan bersama kapan hari.

Hampir seminggu memilih bermalas-malasan—hanya keluar untuk berkencan dengan Markus, Wina kembali duduk di meja belajar guna mempersiapkan ujian yang dilaksanakan pada bulan Februari tahun depan. Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) wajib diambil oleh mereka yang hendak mengambil gelar dokter. Ujian terbagi dua, yaitu ujian tulis berbasis komputer (CBT) dan ujian praktik yang sering disebut dengan OSCE (Objective Structured Clinical Examination). 

Wina tentunya bukan tipe manusia yang betah beristirahat lama-lama. Jika dirasa cukup, gadis itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali berjibaku dengan tumpukan buku dari cetakan lawas hingga yang terbaru berisikan soal-soal ujian tulis dan berbagai tayangan YouTube yang berkaitan dengan kebutuhan ujian praktik. Berbagai bungkus makanan dan minuman, lembar demi lembar remasan tisu penuh darah—sudah dipastikan Wina kembali mimisan, dan botol-botol berisi berbagai macam cairan mulai dari air hingga es kopi turut memenuhi meja belajar miliknya. Kondisi ini sudah terjadi setidaknya sebulan sejak Wina menyelesaikan co-ass.

Mendekati akhir tahun, Sekar yang giliran memasuki kamar Wina untuk mengantar makan malam hanya bisa menggeleng heran dan kasihan di waktu bersamaan. Si kembar yang lebih dahulu lahir dari Steven ini sungguh tidak paham dengan kebiasaan Wina, terutama sejak berhasil memasuki Fakultas Kedokteran di universitas mentereng se-Indonesia itu.

"Ce, makano sek!" seru Sekar sembari meletakkan nampan di atas meja rias yang rapi. Sungguh berbanding 180 derajat dengan meja belajar yang Wina kuasai saat ini. Sekar bahkan sangsi kakaknya ini ingat untuk tidur barang sejenak.

Sekar pungut sampah-sampah berserakan dan memasukkannya ke dalam bak sampah. Tak lupa Sekar angkat dan ikat plastik sampah, lalu ia letakkan plastik yang sudah penuh itu di dekat pintu untuk nantinya ia buang setelah berhasil membujuk Wina untuk berhenti sejenak dari kegiatan belajar yang terforsir itu dan mengisi perut yang kemungkinan sudah tandas mencerna.

Sekar sampai beres merapikan semua sudut kamar Wina yang tak tersentuh, si sulung tidak juga beranjak dari posisi duduk yang sangat mengganggu pandangan. Tidakkah ia merasa sakit punggung, batin Sekar. Yang gadis itu lakukan kemudian adalah menjauhkan iPad dari pandangan Wina. Ia lebih baik diomeli Wina ketimbang kena omel sang ibu yang dua kali lebih parah menyebabkan sakit telinga—tentu saja ungkapan ini hanya hiperbola dari Sekar yang sudah lelah dengan tabiat anggota keluargnya.

"Sekar! Cece masih-"

"Aku udah bilang makan dulu, Ce!"

"Masalahe aku kehilangan waktu lek makan sek. Nanti pasti aku mak-"

"Mending kehilangan waktu atau kehilangan nyawa secara konyol hanya karena telat makan? Kehilangan waktu gak bikin Cece mati. Telat makan yang bisa bikin Cece melepas ajal," potong Sekar dengan ucapan tajam yang membuat Wina tidak berani beradu argumen.

Wina menghembus napas pasrah. Ia bangkit dan beralih duduk di meja rias. Tak lupa Wina panjatkan doa, baru meneguk air dan menyuap sedikit demi sedikit lauk hingga tak bersisa. Selama makan, Sekar temani sang kakak dengan berguling-guling di atas kasur sembari bermain ponsel.

"Wes mari! Ndang keluar, aku mau fokus belajar," usir Wina setelah sepuluh menit.

Sekar ambil piring di hadapan Wina sembari memperingati, "Jangan lupa tidur loh, Ce! Besok kita harus nganter Papa, Mama, Om, sama Tante ke bandara."

"Lihat besok ae! Sek akeh yang perlu tak pelajari!" balas Wina yang sudah kembali duduk dihadapan tumpukan buku dan suara dari iPad yang sudah Sekar kembalikan pun terdengar kembali.

"Ya ndak bisa gitu lah, Ce! Kan Mama wes bilang kita semua harus ikut nganter!"

Pekikan Sekar terabaikan begitu saja. Wina seakan tenggelam dalam lautan ilmu yang tak ada habisnya. Dan sesuai prediksi, Wina lebih memilih berjibaku dengan latihan soal dan tayangan praktik di rumah ketimbang mengantar orang tua beserta paman dan bibinya ke bandara. Mereka akan terbang ke Shanghai dan tinggal di sana hingga tahun baru, yang membuat kehadiran keempatnya nihil selama lebih dari dua minggu. Seakan mereka hanya menghilang sesaat, lalu kembali dan Wina akan menyambut pada saat itu.

Namun, Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan senang dengan manusia yang rajin, tetapi Tuhan tidak senang dengan manusia yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Terobsesi akan sesuatu yang bisa kapan saja Ia ambil sebagai pembelajaran bagi umatnya.

Mungkin Wina tidak akan kehilangan waktu hanya dengan istirahat dan mengisi perut. Wina tidak juga kehilangan nyawa karena ia tetap makan dan minum. Tetapi Tuhan memberi Wina hukuman dengan kehilangan sosok-sosok berharga dalam hidupnya. Hukuman yang berimbas tidak hanya padanya, tetapi juga ketiga adiknya.

Wina tengah menjawab latihan soal ketika pintu kamar dibuka kencang oleh Steven. "Ce!" teriak lelaki itu terdengar kacau. Wina bisa saja mengabaikan teriakan itu seperti biasanya, jika tidak mendengar jerit serta tangis dari lantai bawah.

Wina turun ke bawah, menemukan Sekar dan Michelle menangis sembari memeluk tubuh satu sama lain di depan televisi. Si sulung lantas menoleh ke arah layar yang menampilkan pemberitaan terkini. Sebuah pesawat komersial dinyatakan hilang dari radar dan belum ditemukan sejak lima jam yang lalu. Awalnya, Wina belum memahami situasi yang terjadi. 

Perlu ucapan putus asa dari Steven terlebih dahulu, baru Wina sadari kalau pesawat yang hilang kontak tersebut adalah pesawat yang orang tua dan paman serta bibinya tumpangi. Seketika suara berdengung mengambil alih pendengaran. Wina tidak memberi reaksi apapun selain diam di tempat. Telinganya terus berdenging, membuat si gadis abai sepenuhnya pada usaha ketiga saudaranya menghubungi ponsel para orang tua yang tidak juga tersambung.

Tayangan berita di televisi bergilir menampilkan berita mengenai pesawat yang masih hilang kontak dan nama seluruh penumpang serta awak kabin yang terdaftar menaiki pesawat tersebut. Wina dengan jelas melihat anggota keluarganya terpampang pada layar, tetapi gadis itu belum juga memperlihat ekspresi hancur. Wina masih berdiri kokoh ketika adik-adiknya menangis dan meraung.

Bahkan ketika adik-adiknya berusaha menenangkan diri dan sepakat bergegas ke bandara guna mengetahui perkembangan kejadian nahas ini, Wina tidak juga berkutik. Steven sampai harus menuntun Wina untuk naik ke mobil. Gadis itu tidak sepenuhnya kaku, tetapi pikirannya seakan tidak berada di masa kini. Wina seperti ditarik kembali pada ingatan masa lalu ketika hanya ia satu-satunya anak Ayah dan Ibunya. Segala kasih sayang ditumpahkan hanya untuknya. Bepergian bersama, dibelikan apapun yang ia inginkan, dan menghabiskan banyak waktu bermain serta belajar bersama, kenangan-kenangan itu silih berganti memenuhi kepala seiring  perjalanan keempat saudara menuju kepastian akan kegelapan yang menyergap.

Berada di bandara, di tempat yang memungkinkan sanak saudara dari penumpang pesawat yang menghilang tanpa kejelasan itu, sayangnya tidak serta-merta membuat Wina, Steven, Sekar, dan Michel mendapat kepastian apakah pesawat yang menghilang tersebut sudah ditemukan. Mereka sempat mendengar dari manager in-charge maskapai bahwa kemungkinan terburuk pesawat jatuh di utara Laut Natuna, tetapi kabar ini masih simpang siur. Manager in-charge menutup pengumuman dengan berujar bahwa pihak berwenang akan terus berusaha hingga lokasi pesawat ditemukan. Walau probabilitas seluruh penumpang dan awak kabin selamat dipastikan mustahil.

Baru setelah mendengar langsung keterangan dari pihak maskapai, Wina menangis sesegukan. Tidak peduli penampilannya lusuh karena terlalu lama berjibaku di depan layar dan tumpukan buku ujian, ia tumpahkan rasa sesak yang bercokol di dada. Wina menyesal memilih fokus belajar di atas kepentingan mengantar orang tuanya berlibur. Seharusnya ia antar para orang tua jika sarapan tadi pagi merupakan pertemuan terakhir mereka. Bahkan Wina hanya sempat menyapa paman dan bibinya melalui panggilan video beberapa detik. Melihat kondisi Wina, adik-adiknya bergerak memeluk dan keempatnya tumpahkan rasa sakit serta takut yang juga dirasa oleh mereka-mereka yang menantikan kepastikan keselamatan anggota keluarga masing-masing.

Di hari yang sama dengan keberangkatan para orang tua Wiguna bersaudara untuk berlibur, Wina, Steven, Sekar, dan Michel harus bersiap pada kenyataan bahwa poros kehidupan mereka di dunia tidak akan kembali dalam pelukan untuk selamanya.

dr. (Kehidupan) WinaWhere stories live. Discover now