Part 12

4 0 0
                                    

***

Tidak butuh waktu lama, makanan pesanan dokter John dan Rafka sudah datang dan terhidang di atas meja, tepat di hadapan keduanya sungguh menggugah selera.

"Ayo, makan."  Rafka mengajak makan. Tidak lupa baik Rafka dan dokter John berdoa sebelum makan.

Keduanya pun sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Sambil mengobrol ringan, tentang pekerjaan satu sama lain.

***

Dina merasa sudah pulih, dia sedang belajar berjalan tanpa menggunakan bantuan siapa-siapa. Meskipun kakinya masih terbalut oleh gips, tapi sepertinya itu tidak membuat semangat wanita beranak satu itu menyerah begitu saja. Dina masih mengitari ruangan kamarnya dengan perlahan.

"Bismillah, kamu pasti bisa, Din."

Dina kembali menyemangati dirinya sendiri agar lebih semangat lagi berlatih berjalan normal seperti biasanya. Sebelum dia jatuh dari tangga lantai empat beberapa hari lalu.

"1, 2, 3 .... Ayo, sedikit lagi sampai," katanya sudah mengangkat tangan kirinya untuk lebih dulu menyentuh dinding.

Meskipun sesekali Dina terdengar merintih kesakitan pada bagian kakinya. Dia tidak berhenti untuk berusaha menggapai dinding ruangan yang sudah menjadi titik akhir dari sesi latihannya.

Pada saat tangannya sedikit lagi menyentuh dinding, tubuh Dina seketika oleng ke arah kanan.

"Aaa ...!"

"Hei, hati-hati." Suara dan sentuhan yang menopang tubuhnya itu membuat Dina mengernyitkan kening. Sepertinya dia ketahuan sedang berlatih berjalan sendiri.

Beruntung, kejadian buruk tidak menimpanya, karena Rafka lagi-lagi membantu di saat yang tepat.

"Maaf," ucap Dina merasa sangat bersalah karena sudah membuat Rafka dan lagi-lagi menjadi penolongnya.

Setelah sarapan tadi, Rafka memang minta izin pergi terlebih dahulu kepada dokter John untuk pergi mengantarkan sarapan Bi Nara dan Dina yang memang belum sarapan apa-apa.

Tepat saat Rafka masuk ke ruangan Dina. Dia melihat Dina sedang membelakanginya dan terlihat sedang belajar berjalan sendiri. Itulah yang bisa Rafka lihat dari pintu ruangan yang agak terbuka sedikit.

"Kenapa kamu tidak menunggu saya atau perawat untuk meminta bantuan sih?" kesal Rafka atas tindakan Dina yang cukup beresiko itu.

Bagaimana bisa Dina meminta bantuan orang lain untuk mengawasinya selama berlatih berjalan? Bukankah wanita ini bersikeras untuk segera keluar dari rumah sakit? Lalu, bukankah yang coba dia lakukan sekarang justru sebaliknya, jika terjadi sesuatu dengan Dina, dia belum bisa pulang lagi.

"Bukan begitu." Dina merasa bersalah pada Rafka. Makanya dia tertunduk.

"Lalu?" Sepertinya Rafka sangat kecewa dengannya.

"Maaf. Iya, aku tidak akan melakukannya lagi kok," ucap Dina cukup pelan.

Jujur, Dina sebenarnya sudah merinding dan seperti ada rasa takut yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya ketika melihat sisi lain dari Rafka.

Bagaimana bisa Rafka sangat perhatian padanya?

Padahal mereka baru saja saling mengenal. Jika bukan ibu angkatnya yang memang merupakan bibinya Rafka, mereka tidak ada hubungan apa-apa, hingga Rafka harus bersikap penuh tanggung jawab padanya seperti ini.

Tingkah Rafka membuat Dina tidak nyaman.

"Baiklah. Maaf, tadi aku juga sedikit berlebihan." Rafka segera meminta maaf pada Dina, karena dia sudah membentak orang sakit dan hampir saja membangunkan anak Dina.

Karena posisi mereka yang masih sangat dekat. Dengan Rafka yang masih menyentuh bahu Dina karena posisinya sedikit belum seimbang. Rafka mempererat genggamannya, takut kalau Dina terjatuh.

Rafka bukanlah tipe laki-laki yang tidak memilik rasa iba atau empati pada seseorang yang sedang dalam kondisi kesulitan. Terlebih lagi jika itu adalah seorang wanita. Menurutnya, seorang wanita harus dilindungi sebagaimana dia melindungi ibu kandungnya sendiri.

"I-iya." Dina menjadi gugup saat menyadari sedekat apa dia dan Rafka sekarang.

Bukannya mereka bukan muhrim? Sedekat ini, terlalu membingungkan.

"Astaghfirullah, maaf, maaf."

Seketika Rafka dan Dina segera menyadari situasi mereka dan sama-sama saling menjauh dari satu sama lain. Agar tidak terjadi sesuatu yang tidak di inginkan tentunya.

Dina bersandar ke dinding terdekat, sambil menunjuk ke lantai. Kantong plastik berisi makanan yang Rafka bawa tadi rupanya sudah keluar dari plastiknya dan makanan yang terbungkus itu jatuh ke lantai ruangan Dina. Beruntungnya makan-makanan itu masih terbungkus rapi seperti sebelumnya.

Tidak jauh dari sana. Bi Nara yang sedang menemani Bilqis tidur pun, sepertinya terbangun karena ocehan Rafka pada Dina.

"Nak, ada apa?" Bi Nara terlihat mengucek-ngucek kedua matanya yang masih mengantuk itu.

Rafka dan Dina seketika melihat ke arah wanita itu. Mendadak tegang.

"Tidak apa-apa, Bi," jawab Rafka yang juga mendapat tatapan lega dari Dina.

"Iya, Ma. Tidak apa-apa," tambah Dina yang tidak ingin membuat ibu angkatnya itu berpikir sedang dibohongi oleh mereka.

Dina langsung mendudukkan dirinya di kursi sofa yang memang berada di dekatnya.

Untungnya ibunya itu tidak menyadari kalau dirinya sedang berdiri tanpa menggunakan bantuan tongkat, Rafka ataupun perawat seperti biasanya.

"Bi, ini Rafka bawakan sarapan. Dimakan dulu yah." Rafka mengubah topik obrolan mereka. Tidak lupa Rafka memungut kembali bungkusan makanan yang tadi sempat terjatuh ke lantai.

Lalu, memberikannya pada Bi Nara. Untung saja Bi Nara tidak sempat melihat kekacauan itu.

"Iya. Eh, kamu sudah sarapan, tidak?"  Sebelum membukanya tidak lupa Bi Nara menanyakan Rafka sudah makan atau belum.

"Sudah, tadi di kantin rumah sakit," jawab Rafka tersenyum.

"Syukurlah. Sayang, sini sarapan bareng mama," ajak Bi Nara pada Dina. Kemudian menatap Dina yang duduk di sofa.

"Iya, Ma. Makasih ya, Mas."  Tidak lupa Dina mengucapkan terima kasih pada Rafka yang sudah membelikannya sarapan bersama ibu angkatnya.

Bi Nara segera menghampiri Dina yang masih duduk di sofa tidak jauh dari dirinya dan Rafka.

"Makan yang banyak ya, biar ASI-nya banyak, agar cucu mama bisa kenyang dan bisa cepat tumbuh besar nanti," kata Bi Nara sambil tertawa.

Bi Nara membuka bungkusan makanan mereka perlahan, tapi sebelum itu dia menatanya di piring yang sudah dia ambil tadi sebelum ke sofa.

"Iya, mama. Pasti putriku bisa cepat tumbuh besar. Karena sepertinya dia punya nenek yang selalu menjaga bundanya ini," balas Dina tertawa riang.

"Eh, tapi apa kamu sudah boleh makan begini? Makan bubur saja gimana?"

"Nggak apa-apa, Ma. Bentar lagi aku pulang kok." Dina menahan tangan Bi Nara agar dia tidak beranjak kemana-mana.

Rafka yang melihat keakraban ibu dan anak itu pun ikut tersenyum. Tak lupa dia merasa bersyukur karena sudah dipertemukan dengan bibinya kembali setelah hampir sepuluh tahun terpisah.

Bersambung.

Chegaste ao fim dos capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Dec 16, 2023 ⏰

Adiciona esta história à tua Biblioteca para receberes notificações de novos capítulos!

I Love You' versi Indonesia Onde as histórias ganham vida. Descobre agora