Karsa

18 1 1
                                    

          Sapuan kuas yang menjelajahi kanvas secara halus oleh seorang perempuan yang bersimpuh di atas bangku yang telah dimakan waktu. Dicelupkannya lagi kuas itu pada palet warna yang berantakan dengan warna putih, pada palet warna yang penuh dengan cat yang sudah berhinggap dan kering disana dengan sejarah hanya diketahui olehnya. Dia berpikir, lalu mencoret lagi, berpikir, dan kembali menggores kanvasnya. Terulang kembali gerakannya selama lebih dari lima kali hingga dia berhenti sejenak untuk bangkit dari kursinya.

          "Sampai disini dulu deh ...." gumamnya lirih.

          Ia menatap karya seni yang masih rumpang itu. Di sana, terbentang karya yang penuh warna di hadapannya. Lukisan akan seorang wanita remaja berwajah lemah lembut dengan cahaya matahari yang beristirahat di samping mukanya. Kulit putih, gaun merah kirmizi yang terhias dengan perhiasan emas, dan rambut hitam yang terkumpul menjadi konde dikombinasikan dengan latar belakang ruangan yang megah terlebur manis dengan segala kompleks warna pakaian  wanita itu.


          Tersenyum, ia lekas membersihkan ruangannya dan menaruh peralatan lukisnya di tempat yang tepat. Setengah jalan dari membersihkan kekacauan yang ia buat, tiga kali ketukan dapat terdengar dari pintu depan rumahnya. Dia tidak ingat ada yang membuat janji pertemuan dengannya, maka ia lekas berlari kecil untuk membukakan pintunya.

          Pintu terbuka memperlihatkan seorang pria yang berpakaian rapi dengan kemeja putih dan jas berwarna coklat gelap. Seperti seorang pengusaha kaya yang sedang mencari peluang akan segala hal. Mukanya cerah cemerlang diwarnai dengan senyum yang lebar, seperti menandakan kepercayaan diri yang tiada habisnya.

          "Alia's Gallery ... dengan Alia Rahdani, kan?" Ucapnya sambil membungkukkan badannya ke belakang untuk membaca papan nama yang terpajang di atas pintu rumah.

          Tak pernah selama 19 tahun hidupnya dia melihat pria itu. Rambut hitam disemir dengan gel rambut agar terlihat sempurna sepanjang hari terpadan dengan mata coklat muda yang bersinar ketika terkena pantulan cahaya matahari. Kalau diperkirakan olehnya, umur pria itu berkisar dari 22–24 tahun. Diselang berpikirnya, Alia mengiyakan perkataan pria iu.

           "Sebelumnya, perkenalkan nama saya Pradipta, kolektor karya seni sekaligus pengusaha." Ucapnya sambil menjulurkan tangan. "Saya harap saya tidak terlalu mengganggu di siang hari seperti ini."

          "Tentu tidak, saya juga tidak sibuk." Ucap Alia sambil bersalaman dengan pria itu.

          Setelah beberapa pertanyaan berlalu, barulah diketahui bahwa Pradipta baru saja pindah ke sini, dan ia sedang mencari pelukis di sekitar daerah ini yang bisa membuat lukisan untuk dirinya. Namun, ia sedikit masih tidak percaya bahwa pelukis yang direkomendasikan oleh warga sekitar adalah seorang perempuan.

          "Maaf, pernyataan tadi bukannya untuk merendahkan Anda, saya hanya sangat kagum dengan pencapaian Anda." Kata Pradipta sambil mengamati lukisan yang baru saja ditinggalkan oleh Alia, matanya terfokuskan pada wajah orang yang terlukiskan pada kanvas tersebut.

          Alia tertawa kecil. "Memang lumayan banyak yang terkejut saat tahu bahwa lukisan yang dipajang disini adalah karya saya sendiri," katanya. "Namun, seluruh dari rancangan rumah ini saya bangun dari keringat saya sendiri. Bahkan hingga bangku yang sedang Anda duduki itu, Pak Pradipta."

          Sedikit termengu atas panggilan pak yang diberikan oleh Alia, dia mengerti kalau pelukis itu hanya ingin bersopan santun. Maka, pria itu mengangguk dan tersenyum dan memutuskan untuk mengamati ruangan sang pelukis. Karyanya terpajang bersinambung di dinding berwarna krim yang penuh dengan retakan dan noda air bak termakan oleh hujan.

Pusparagam [Cerita Pendek]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang