Keberanian yang Prematur

9.1K 1.9K 171
                                    

Dulu sekali, Benny pernah memarahiku habis-habisan. Saat itu aku bilang bahwa aku akan mengundurkan diri dari peranku di pementasan teater Marcopolo, hanya karena aku merasa nggak enak kepada Kak Ruth, Satya, dan anggota-anggota yang lebih senior lainnya.

"Pikiran macam apa sih itu?" tanya Benny setelah pulih dari rasa terkejut, setelah aku menyampaikan niatku. Alis tebalnya terangkat, dan ekspresinya penuh dengan ketidakpahaman.

"Aku kan anggota baru, Kak," jelasku. "Baru juga gabung, masa aku udah ambil peran utama. Nggak etis, kan? Aku jadi ngerasa bersalah. Kak Ruth dan yang lain lebih senior, pastinya lebih jago dan lebih cocok buat peran ini."

Benny nggak segera menjawab. Dia malah menunduk sedikit dan memijat-mijat pangkal hidungnya. Belum bilang apa-apa pun, aku sudah tahu Benny sedang menghakimiku di dalam pikirannya.

"Gini ya, Ev," katanya, setelah beberapa detik berlalu. Mungkin dia sudah menemukan kalimat yang tepat untuk mendampratku. "Peran yang kita dapat itu kan berdasarkan hasil audisi. Nggak asal dibagi-bagi koyok gorengan e Pak Toyo."

"Iya sih, tapi—"

"Masing-masing dari kita dilihat, cocok untuk peran yang mana. Yang nilai juga bukan sembarangan. Ada Mas Prie dan Pak Senja, lho. Kalau kamu dapat peran Ratih, ya berarti kamu yang paling cocok buat peran itu. Masa kamu meragukan kapasitas mereka?"

"Ya bukannya gitu, aku cuma ... nggak enak, Kak," kataku putus asa.

"Nggak enak." Benny berdecak. "Maaf ya, Ev, ini bukannya aku nge-judge kamu atau gimana-gimana, tapi kuperhatikan selama ini kamu sering begitu. Dikit-dikit nggak enak, nggak mau nolak karena nggak enak. Bener, nggak?"

Aku mengangguk, sama sekali nggak berniat mengelak. "Iya, emang begitu."

"Nah, sampai kapan kamu bakal ngasih makan perasaan semacam itu? Menurutku ya, Ev, perasaan nggak enakan itu pada akhirnya akan merugikan diri kita sendiri. Bakal selalu nempatin kita di posisi sulit yang nggak perlu. Benar, nggak?"

Aku diam saja. Aku tahu Benny benar. Seratus persen benar.

"Selama nggak merugikan orang lain, dan bukan hal yang benar-benar nggak bisa ditolak atau gawat darurat, kamu harus mulai belajar buat menghilangkan perasaan kayak gitu."

Meski pedas, Benny berkata dengan cara yang lembut dan tanpa menaikkan suara. Hanya hal itu nggak mampu menghilangkan perasaan dihakimi yang muncul. Gampang banget Benny bilang begitu. Dia nggak tahu rasanya jadi orang nggak enakan kayak aku, kan? Mau dihindari, mau dikomplain, mau diabaikan juga percuma. Perasaan itu tetap ada.

"Tapi aku tetap merasa bersalah ...."

"Buang rasa bersalah yang salah tempat itu, Ev. Ya, kapasitas untuk merasa bersalah itu bagus, dan itu bukti kalau kita punya hati nurani. Tapi rasa bersalah yang salah tempat, itu cuma bakal nyusahin diri sendiri."

Meski saat itu aku tersinggung dan marah—aku mengabaikan Benny selama seminggu penuh dan membuatnya mencegatku di kampusku sendiri—aku tahu kalau kata-kata Benny benar. Aku tahu bahwa suatu saat, rasa nggak enakan dan perasaan bersalah yang salah tempat itu akan merugikanku sendiri. Agaknya, apa yang terjadi sekarang adalah salah satunya. Rasa bersalah dan nggak enakan yang salah tempat, terutama, karena untuk orang yang nggak layak mendapatkannya.

Sekarang aku tahu sebab kata-kata pengecut itu nggak mau pergi dari pikiranku. Betapa bodohnya aku karena nggak menghargai perasaanku sendiri. Betapa bodohnya aku telah mengorbankan perasaanku sendiri demi orang selicik Ruri.

"Maksud lo apa, Va?" tanya Ruri, nadanya mendadak berubah. Sedikit bingung, sedikit tersinggung.

Sekali lagi kuhela napas panjang-panjang, lalu kutatap sekeliling lantai dua yang sudah mulai ramai. Lantas aku berdiri.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang