Kamu ke Mana?

25.3K 4.9K 712
                                    

Kuusap-usap dahiku untuk kesekian kalinya, diiringi dengan desah tanda kekalutan. Untung saja kali ini kurapikan rambut megarku dengan gaya fully french braids. Kalau nggak, bisa-bisa aku sudah tergoda untuk menggaruk-garuk atau menarik-narik rambutku dengan gaya tarzan.

Hari masih pagi, tapi aku sudah dilanda galau saja. Padahal hari ini alam sangat bersahabat, dan aku tiba di kantor dalam kondisi baik, sepuluh menit sebelum jam resmi dimulai--kantor masih kosong bahkan, dengan kostum yang sesuai.

Ah, persetanlah.

Kuambil ponselku, lalu kucari kontak Benny dari grup WA kantor. Tak kuberi waktu sedikitpun diriku untuk berpikir. Bisa-bisa aku mikir lagi. Mikir terus, nggak kerja-kerja.

Pak Aria, hari ini apa bisa meeting untuk bahas konsep konten VIP?
Saya sudah riset platform sejenis, dan sudah ada ketemu soal konsep monetisasinya.

Kan? Tahu sekarang kenapa aku nggak mau mikir terlalu lama? Pekerjaanku nggak bisa dipisahkan dari Benny slash Aria slash cowok berengsek itu sih.

Lupa sesuatu, aku segera mengirimkan chat lanjutan.

Sama Mbak Medina juga.
Selain bahas soal monetisasi, juga bahas soal konsep konten.
Jam 11 gitu bisa Pak?

"Pagi banget, Va?"

Pundakku ditepuk. Ada Ruri yang baru saja tiba. Kutatap jam dinding kantor. Sudah sembilan lewat 10 menit, masa pagi?

Aku nyengir. "Iya, trauma telat hari pertama."

Ruri tertawa. "Masih baru," katanya. "Di sini baru rame paling setengah 10, Va. Jadi, santai aja, beb."

"Oh gitu." Aku mengangguk-angguk. "Sip-sip. Thanks."

"Ini lucu banget sih kepangannya?" Ruri menyentuh ujung rambutku. "Ini asli, Va?"

Aku tergelak. "Maksudnya apa itu? Iyalah, asli."

"Gue tuh selalu pengin punya rambut keriting kayak gini, Va. Cantik. Rambut gue lurus kayak sapu lidi, monoton banget nggak, sih?"

Belum tahu saja Ruri bagaimana rasanya punya rambu keriting ini setiap kali turun dari ojek online. Atau berapa sisir yang kupatahkan saat berusaha menyisir rambut setelah keramas atau bangun tidur.

Lucu memang. Dulu saat masih kecil, rambut keriting ini sempat membuatku kurang percaya diri. Setiap kali bercermin, aku merasa jelek sekali. Apalagi aku sering diolok-olok temanku karena rambut keriting ini. Aku iri dengan teman-temanku yang rambutnya lurus dan panjang, sehingga bisa diikat dengan berbagai jepit rambut lucu. Aku ingat dulu aku merengek-rengek pada Mama untuk meluruskan rambutku agar sama seperti teman-temanku yang lain.

"Malah ngelamun!" decak Ruri.

Aku tertawa. "Enggak, gue jadi ingat dulu sering diledekin karena rambut keriting ini. Dipanggil kribo lah, dipanggil mi keriting lah. Bahkan sering tuh temen gue iseng buang bungkus permen di rambut gue. Dikirain tempat sampah apa, ya?"

"Serius?" Ruri langsung memasang ekspresi menyesal. "Kok jahat-jahat amat, sih?"

"Eh santai-santai. Namanya juga anak-anak, kan?"

Di bangku SMP aku pernah coba-coba meluruskan rambutku. Namun, karena yang terjangkau oleh tabungan uang sakuku hanya salon murah, hasil yang kudapatkan nggak sesuai ekspektasi. Lurus tapi megar. Paham nggak sih maksudku? Lurus seperti sapu lidi, tapi mencuat kaku seperti rok A-line. Ternyata, rambut seperti itu lebih membuatku nggak percaya diri dibandingkan rambut asliku. Jadi, sejak saat itu, aku menerima dengan lapang dada rambut keritingku dan nggak pernah coba-coba meluruskannya lagi. Bahkan, sekarang aku sangat menyukai rambutku ini.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang