Egois yang Menyakitkan

9.5K 1.7K 301
                                    

Setelah kupikir-pikir, menghindari Benny adalah hal paling mustahil, sekaligus upaya paling bodoh yang bisa kulakukan. Bagaimanapun, bisa dibilang aku tinggal di rumah keduanya. Bahkan, hari-hariku di WeTimes sangat bergantung kepadanya. Apa saja yang kulakukan, dan sejauh mana progress-nya, Benny harus tahu lebih dulu dan juga setuju.

"Ide langganan per enam bulan dapat bonus ebook itu sepertinya menarik. Ada ide ebook apa?"

Lagi pula, Benny tahu aku menghindarinya. Dua hari yang lalu, ketika aku mengirim pesan untuk mengatur agenda meeting hari ini, Benny mempertanyakan sikapku.

Aria (BisDev):
Kamu bakal kayak gini terus Ev?

Awalnya aku nggak paham dengan yang dia maksud "kayak gini", tapi Benny menjelaskan dengan cepat.

Aria (BisDev):
What happened in Jogja stay in Jogja
Setelah apa yang terjadi di atap?
Don't make me laugh
Tapi it's okay
Masih banyak yg harus kita bicarakn, tapi take ur time
Pikirkan baik2 aja
Stok sabarku masih banyak

Aku nggak membalas chat Benny yang nggak berhubungan dengan pekerjaan lagi itu. Setelah hari itu, Benny juga nggak menggangguku lagi.

"Eva?"

Aku tersentak. Lamunanku buyar. Di depanku, Benny menatap dengan pandangan heran.

"Oh, maaf!" seruku merasa bersalah karena melamun di tengah-tengah meeting. "Apa tadi? Oh! Ide ebook? Gimana kalau kumpulan tips? Kita bisa bikin ebook series. Misalnya bulan ini beauty tips, bulan depan gadget, dan lain sebagainya."

Benny mengangguk-angguk. "Mungkin kamu bisa diskusikan dulu dengan Medina," katanya. "Aku rasa dia lebih paham soal konten ebook."

"Oke, Pak."

"Tapi aku rasa, kita butuh alternatif lain untuk mendongkrak subscription. Ada ide lain?”

Aku berpikir sebentar. "Aku masih kepikiran soal endorse dengan selebgram. Belakangan netizen lebih percaya media perseorangan. Jadi, nggak ada salahnya buat kita coba."

"Hmm ...." Benny berpikir sebentar, lalu berdecak. "Menurutku masih belum terlalu jelas prospeknya. Mengingat ini biayanya bakal lumayan, aku juga nggak yakin Petra akan approve. Coba cari alternatif lain. Aku juga bakal cari. Kita diskusikan aja."

Aku mengangguk, lantas Benny mempersilakanku kembali ke kubikel jika nggak ada yang perlu didiskusikan lagi. Meeting kami pun berakhir. Begitu saja. Padahal semalaman aku nyaris nggak bisa tidur memikirkan jalannya meeting hari ini, yang merupakan meeting berdua pertama kali setelah tragedi rooftop. Bagaimana kalau sikap Benny buruk? Bagaimana kalau Benny masih marah padaku, dan semua ide yang kuajukan dia bantai? Itu juga kenapa aku mengajukan agenda meeting dua hari sebelumnya, karena aku takut Benny menghindar karena marah. Yah ... harusnya aku nggak perlu mengkhawatirkan itu. Seperti Benny yang sudah kukenal, dia selalu profesional.

Aku sudah mencapai pintu ketika teringat sebuah hal penting. Sesuatu yang sudah kuputuskan sebagai jalan paling baik. Kuremas handle pintu, juga ujung dari kemejaku. Kumantapkan hatiku sekali lagi. Lantas, aku menoleh kembali pada Benny yang masih sibuk di balik layar laptopnya.

"Sabtu ini sibuk nggak, Kak?" tanyaku, sedikit was-was.

Benny mendongak. "Kenapa?"

"Anu ... temenku yang kerja di Dufan nawarin diskon yang lumayan." Aku meringis. "Tertarik? Udah lama banget dari terakhir kali aku ke Dufan."

"Oke," jawab Benny nyaris tanpa berpikir. "Ayo kita ke sana."

Aku sedikit terkejut, tetapi juga lega karena Benny setuju begitu saja. "Serius? Asyik! Aku ajak Ruri juga, ya."

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang