'Memo(Rain Sound)ries'

38 4 0
                                    

Akhir tahun menyongsong garis awal di pagi hari yang baru. Meninggalkan segala kenangan-kenangan asam serta manis di tahun yang mulai berlalu. Sisa-sisa luka itu seolah tersirat jelas di langit hari ini. Mendung berawan kelabu dengan jutaan tetesan air jatuh dari sana. Seperti tengah berusaha menyapu segala luka lama di hati ini.

Menjatuhkan udara baru bagi tanah-tanah yang mulai becek dan genangan air kotor di jalanan. Air muka orang-orang hampir sama persis. Raut mereka yang khawatir dan merasa terganggu dengan cuaca setengah bulan berjalan ini. Tangan-tangan dingin mereka terlihat menyembunyikan kerut dingin menggigil di gagang payung yang mereka pegang.

Kedai-kedai dengan kanopi bundar telah menyiapkan berbagai santapan baru di musim hujan. Bubur dengan mangkuk daur ulang yang bisa dengan mudah dicengkeram oleh genggaman. Lingkaran tebal roti-roti bakar dengan toping olahan susu dan buah.

Aku melewati beberapa pejalan kaki yang terlihat masih berdiri menunggu antrian kecil di salah satu kedai pinggir jalan. Langkahku sangat hati-hati menghindari genangan kecil air hujan yang telah bercampur debu jalanan. Bisa dengan mudah sepatu yang baru kucuci ini kembali kotor. Sudah cukup dengan trik bodoh bertema tata cara mengeringkan pakaian tanpa menunggu berhari-hari.

Air hujan berjatuhan tak sederas pagi tadi. Tapi tetap saja jika aku tidak berpangku belas kasih pada benda dari kain anti air juga rangkaian gagang besi ini, pastilah aku akan basah kuyup lalu bertemu dengan panasnya suhu ketika diserang demam.

Payung adalah satu-satunya benda paling umum akhir-akhir ini ketika musim seperti ini tiba.

Halte bus tampak kosong dari kejauhan. Aku berhenti melangkah hanya untuk mendengarkan suara deru mesin-mesin kendaraan yang tak seramai biasanya di bulan-bulan kemarin. Sepertinya orang-orang tahu cara untuk menikmati kehangatan nyata di dalam rumah.

Bukan hanya itu yang membuatku tertegun untuk sesaat. Menulikan segala pendengaran pada detik ini juga. Seolah hanya ada aku dan jalan berubin kasar menuju halte bus itu.

"Re!"

Aku seketika menoleh ketika suara yang tak asing itu masuk ke dalam rongga telingaku. Sosok dengan jaket tebal itu melambai dari kejauhan. Satu tangannya membawa payung berwarna hitam legam. Jeans abu tua yang dipakainya itu menarik sebagian perhatianku darinya.

"Martin, kamu udah selesai kerjanya?"

Aku bertanya ketika pria bersurai cokelat gelap itu telah berdiri tepat di hadapanku. Matanya yang selalu terlihat jernih seperti secangkir kopi yang baru saja terpisah dari ampasnya. Gigi berderet rapi itu seketika terlihat tatkala Martin tersenyum lebar padaku.

"Hari ini ambil libur dulu dong. Spesial sih buat kamu seorang."

Aku terenyuh dengan kata-katanya yang selalu saja menghangatkan isi dadaku. Martin benar-benar seperti kopi.

"Kukira kamu lupa sama tanggalnya," godaku sambil mengusir bulir-bulir air yang hinggap di pundak jaketnya.

Martin tertawa renyah dengan singkat. "Masa bisa lupa sama tanggal ultah pacar sendiri."

Kini giliranku yang tertawa mendengar ucapannya. Membiarkan udara dingin menyapu pelan-pelan tubuh kami berdua yang sudah seperti dua sejoli tanpa ada lalu-lalang makhluk-makhluk berisik di sekitar.

"Kita tunggu bisnya di halte."

Tangan Martin menyentuh tanganku dan menggengamkan jari-jemarinya padaku dengan pasti. Ada sengatan kecil yang terasa nyaman dalam tubuhku saat Martin melakukan hal tersebut. Aku menyukainya. Sangat menyukainya seperti waktu-waktu ketika kami habiskan berdua saja.

Martin dengan segala perlakuannya. Aku menyukainya lebih dari apapun.

Kami berdua berdiri di bawah halte bus yang sunyi akan orang-orang berteduh. Dua buah payung telah tertutup rapi di sudut meja halte.

To. UsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt