Part 2.5

14 0 0
                                    

 Sembari melihat hujan dari dalam ruang  kamarnya. Kafka melirik ke sebuah Biola yang sudah lama tidak dia mainkan. Sekian banyak lagu yang telah dia ingat, sekian banyak pula kenangan mengalir ke dalam kepalanya. Beberapa kenangan itu membekas terhadap seorang lelaki yang berjuang bersama dengannya di planet itu. Bertahan hidup meski terasa mustahil. Caelus tetap berpegang teguh pada mimpinya. Apapun yang terjadi mereka berdua pun berjanji akan keluar dari planet yang sebentar lagi hancur ini. Harapan kecil bagaikan secercah cahaya yang redup itu terdengar sangat berarti bagi kehidupan Kafka yang telah diujung tanduk. 

 Kehancuran planet itu seakan-akan telah sirna di dalam kepalanya. Berkat Caelus lah yang memberikan dan membagikan separuh impiannya itu padanya. Tersenyum cerah di dalam gelapnya planetnya. Tidak terlihat putus asa meskipun keadaan planetnya semakin hari kian semakin memburuk. "Kafka" Kafka sentuh Biola yang berdebu itu. Kenangan itu kembali dirinya ingat, entah sudah ke berapa kalinya dirinya mengingat semua kenangan buruknya, meskipun terasa pahit baginya kenangan itu adalah kenangan terakhir yang dirinya miliki bersama Caelus. Karena itulah meskipun terasa buruk dan terasa sangat pahit, maka dia akan selalu mengenangnya. 

 Dia pegang pelan Biola itu, dan meletakkannya ke bahunya. Mencoba memainkan beberapa musik yang telah Caelus ajarkan padanya. Satu hingga dua gesekan dari Biola terdengar lembut namun juga terasa menyakitkan telah ia lantunkan, berbagai nada mengalir merdu beriringan menjadi melodi yang terdengar perasaan sedih akan perpisahan. Begitu banyak hal yang Kafka dapatkan pada hari itu, antara mimpi dan keputusasaan yang dirinya miliki. 

 "Caelus" 

 Seraya menyebutkan namanya. Dia mainkan Biolanya secepat yang dia bisa. Alunan tangan yang begitu lihai merangkai melodi itu menjadi satu kesatuan nada nan indah, kini Kafka tuangan segalanya ke dalam permainan Biolanya saat ini. Kenangan itu mengalir deras seiring melodi itu ia mainkan. 

 "Andai saja... Kita tidak terikat dengan takdir para Aeon... " 

 Mendadak melodi yang terdengar sedih itu berubah menjadi terasa seakan-akan penuh emosi dan amarah. Mengingat kejadian buruk itu menimpa Caelus membuat dirinya merasa bersalah. Satu kesempatan dimana benang kusut takdir telah sirna justru kembali ke arah yang dirinya tidak inginkan. Pada saat itu Caelus hanya bisa mengucapkan selamat tinggal padanya. Untuk terakhir kalinya dirinya bisa tersenyum tegar dihadapan Kafka seakan-akan tidak ada hal buruk apapun yang terjadi padanya. 

Buliran air mata mengalir membasahi kedua pipi Kafka. Biola yang saat ini selalu dia mainkan sepanjang waktu adalah hadiah dari Caelus. Sepanjang hidupnya dirinya tidak pernah mendapatkan hadiah apapun, dan pada saat itu Caelus memberikannya hadiah berupa alat musik. Padahal Kafka sudah pernah bilang bahwa dia tidak bisa memainkan alat musik. Akan tetapi Caelus justru memberikannya sebuah Biola yang dia temukan di dalam toko musik yang telah ditinggalkan. 

Caelus justru mengajarkannya beberapa musik yang dia ketahui padanya berkali-kali hingga Kafka bisa memainkan satu buah musik sendirian. 

 "Menurutku kamu sangat cocok memainkan Biola, Kafka" 

 Dirinya masih teringat perkataan Caelus padanya ketika memberikan Biola sebagai hadiah. Kafka hanya tertegun sejenak dan menerimanya dengan senyuman kecil. Kebahagiaan kecil di dalam kehancuran, benar itulah satu-satunya yang dia miliki saat itu. bersama seorang lelaki bernama Caelus. 

Terus dan terus dia mainkan musik itu hingga perasaan sedih itu sirna. Kenangan yang begitu kuat dan tidak ingin dia lupakan, kenangan yang dihalangi oleh takdir dan kehendak langit. Benang takdir yang kusut telah memperlihatkan mereka berdua arti perpisahan yang menyakiti Kafka sendirian. 

 "Meskipun saat ini kamu melupakanku, tapi tak apa... Setidaknya aku rela masih bisa melihatmu menjalani kehidupan ini bersama orang lain..." 

 Lantunan melodi Biola itu terhenti. Kafka letakkan Biolanya ke ats lemarinya. Luapakan perasaan sedih itu telah ia buang secara perlahan-lahan ke dalam lantunan melodi Biola yang ia mainkan, dan sekarang dirinya sudah harus tetap tegar dan tegas melakukan misi apapun kali ini. Kenangan tetaplah kenangan. 

Dan semua itu hanya akan hidup jika dirinya selalu mengingatnya, meskipun terasa sakit tetaplah kenangan itu justru yang membuat Kafka berdiri tegak. Kafka lalu memasang lensa kontaknya ke matanya, dan lalu mengusap air mata yang sebelumnya membasahi wajahnya. 

 "Jika ini adalah jalan yang harus aku lalui... Maka aku akan siap melakukannya ... Jadi tunggulah aku Caelus... Aku pasti akan menghancurkan benang takdir yang telah menjeratmu... 

 Ke dalam pusaran takdir para Aeon" 

 ~Chapter 2.5 END~ 

Honkai Starrail Fanfiction | The Only Thing's I HaveWhere stories live. Discover now