Warga Baru (?)

Mulai dari awal
                                    

"Dulu Sabtu Minggu aja, waktu ayah kamu masih ada. Saya ikut kajian di Mesjid desa ini terus kenal ayah kamu."

"Kenapa harus Mesjid di sini? di kota kan banyak kajian ustad-ustad keren."

"Tsabiya, apa ada hal yang kamu inginkan sekali tapi belum bisa terwujud?" Tsabiya berhenti melangkah. Ia menatap Mikael yang juga ikut berhenti.

"Kenapa?" tanya Mikael bingung.

"Ga, gapapa." Tsabiya mendahului Mikael. Ia aneh dengan pertanyaan Mikael. Laki-laki itu ingin tau apa? biasanya juga tidak peduli apapun. Lagipula, apa pentingnya Tsabiya menjawab, keinginan-keinginannya akan tetap menjadi keinginan kan, ia bahkan bingung apakah keinginannya sekarang penting atau tidak. Hidupnya berjalan mengikuti arus, arus deras yang diciptakan Mikael.

***

"Buat apa?" Tsabiya sedang menikmati sore  sambil berdiri di jendela kamar ketika Mikael datang dan memberikan secarik kertas dan pulpen yang Tsabiya tidak tau apa maksudnya.

"coba tulis hal-hal yang kamu inginkan."

"Lalu?"

"Tulis saja dulu." Apa sih Maksud Mikael? dari kemarin hal itu terus yang dibahas. Kesal, Tsabiya menulis satu hal yang sangat ia inginkan di kertas itu dan mengembalikan ke Mikael.

-ngumpul sama ibu dan ayah-

Mikael mengernyit setelah membaca, ekspresi selanjutnya adalah bingung. Tsabiya hanya menatap sekilas lalu menatap luar lagi lewat jendelanya.

"Hm ada yang lain, tidak?" tanya Mikael segan.

"Ga. Cuma mau ibu dan ayah ada di sini, sendirian di dunia ga enak rupanya." Ia tersenyum, senyum paling ikhlas pada takdir.

"Mungkin kamu mau ke suatu tempat, makan sesuatu, beli sesuatu, atau melakukan sesuatu, kamu juga bisa tulis di sini."

"Mau kamu balik ke Jakarta, tinggalin aku sendiri di sini."

pletak...

"IH MIKAEL SAKIT TAU!!!!"

"Minta yang lain saja."

"Apa yang bisa kamu kabulin?" Tsabiya menatap serius.

"Apa saja asal masuk akal."

"Minta kamu pergi tuh masuk akal!"

"di akal kamu, di akal saya tidak, Tsabiya." Mikael menarik tubuh Tsabiya untuk menghadap dirinya.

"Posisi saya sebagai seorang suami, istri saya sedang hamil. Manusia mana yang gila meninggalkan istrinya yang sedang hamil seorang diri." Keduanya bertatapan serius. Mikael tampak menahan marah.

"Aku berhak nyuruh kamu pergi, ini rumahku."

"Saya juga berhak atas kamu, saya berhak untuk bawa kamu kembali ke Jakarta, Saya berhak di sini memantau apa yang kamu lakukan. Saya tidak memaksa kamu kembali ke Jakarta karena saya pikir kamu rindu rumah ini."

"Saya minta tolong Tsabiya, biarkan saya lakukan yang sepatutnya saya lakukan untuk kamu."

"Menurut kamu, apa yang sepatutnya kamu lakukan ke aku?" tanya Tsabiya dingin tanpa emosi.

"Memastikan keadaan kamu selalu baik." sahut Mikael yakin.

Tsabiya melepaskan diri dari Mikael yang memegang kedua bahunya dari tadi.

"Keadaan yang baik termasuk kondisi perasaan yang tenang dan bahagia di dalamnya. Kamu gagal untuk itu!" Serangan Tsabiya tak mampu dilawan oleh Mikael. Perempuan itu sedang meluapkan isi hatinya yang terlalu lama mengendap. Ternyata, Mikael tidak paham apa-apa tentang istrinya. Tsabiya kesepian dengan ada atau tidaknya Mikael di hidupnya. Keberadaan Mikael tidak merubah apapun, malah semakin rumit saja.

Tsabiya mengambil kertas dan pulpen tadi di tangan Mikael, ia tulis sesuatu di sana hingga kertas kecil itu penuh lalu dikembalikan ke Mikael.

"Aku ga pengen banyak kecuali sehat dan bisa melahirkan dengan lancar dan selamat. Satu lagi, yang kutulis itu." Tsabiya pergi begitu saja membiarkan Mikael membaca tulisannya. Persetan laki-laki itu bingung atau tertawa, Tsabiya tidak peduli.

aku mau bahagia, sama seseorang atau sendirian, aku cuma mau bahagia.

***

Tsabiya masih tidak percaya dengan apa yang ia alami. Satu jam yang lalu Mikael mengajaknya keluar untuk makan mie ayam di dekat perempatan jalan desa. Biasa Mikael diajak pasti ogah-ogahan ketika di Jakarta. Namun di sini, Mikael yang berinisiatif mengajak keluar ketika malam hari pula.

Mie di mangkok Mikael tinggal sedikit sementara milik Tsabiya masih banyak. Perempuan itu sibuk memandang Mikael yang makan dengan lahap.

"Kenapa diam? ada yang sakit?" Mikael menyentuh tangan Tsabiya yang diletakkan di atas meja. Tsabiya menanggapi dengan menggeleng lalu lanjut menyendok mie ke mulutnya.

"Kedinginan, ya?" Tsabiya menggeleng lagi.

"Tsabiya, ayo kita balik ke Jakarta secepatnya." Mikael membuka percakapan, matanya menatap dalam.

"Kamu aja." Helaan napas terdengar dari Mikael setelah jawaban istrinya yang masih menolak.

"Saya mau kamu melahirkan di Jakarta."

"Nanti aku pikirin." ujarnya enggan membahas masalah persalinan dengan Mikael.

"El, Ayo pulang."

"Sudah, makannya?" Tsabiya mengangguk.

"Nanti aku mau beli es krim ya!" Bak anak kecil, mata Tsabiya berbinar menyebut es krim. Mikael masih berpikir untuk mengizinkan atau tidak.

"Ga boleh ya? pelit!" Bibir Tsabiya mencebik. Ia sebaiknya beli es krim diam-diam tanpa mengajak Mikael kalo tahu begini.

Mikael melirik Tsabiya sebentar lalu membayar mie ayam yang barusan mereka makan. Tsabiya meninggalkan Mikael dan ke motor lebih dulu. Kepalanya Mendongak menatap langit. Langit terlihat sepi tanpa ada bintang malam ini.

"Kamu mau es krim rasa apa, Biya?" Tsabiya kaget bukan main ketika Mikael berbisik di telinganya, belum selesai kekagetan itu kini ditambah dengan perlakuan Mikael yang memakaikan jaketnya di tubuh Tsabiya.

"Biya?" Mikael mengangguk.

"Ayo naik!" perintahnya yang langsung dituruti Tsabiya dengan perasaan tak karuan.

Biya? itu panggilan manja?

Di jok belakang, Tsabiya diam-diam tersipu. Tangannya semakin erat memeluk pinggang Mikael. Sudah sejak lama ia jatuh cinta pada Mikael tapi kenapa setiap sikap kejutan dari Mikael, Tsabiya selalu merasakan debaran yang hebat sama seperti sebelumnya.

Diam-diam juga, Mikael menatap Tsabiya lewat spion. Laki-laki itu tersenyum kecil, senyum kecil yang tidak disadari Tsabiya, bahkan Mikael sendiri tidak sadar ia akhirnya tersenyum seperti itu lagi setelah bertahun-tahun berada dalam perasaan hampa.

***

Akhirnya update!!!!
jangan lupa vote comment!😍

TsabiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang