Warga Baru (?)

151 11 2
                                    

Magrib baru selesai ketika tiga orang pemuda desa datang ke rumah Tsabiya. Mereka mengajak Mikael untuk ikut membantu mendirikan tenda untuk acara pernikahan anak Pak RT yang akan diselenggarakan lusa. Kedatangan para pemuda itu karena pesan dari Pak Aryo untuk mengajak Mikael berbaur karena dianggap warga baru meskipun tidak berdomisili untuk waktu yang lama di desa itu.

Mikael tidak banyak merespon kecuali mengiyakan untuk menyusul setelah berganti pakaian. Tsabiya baru ingat bahwa ia juga telah diundang oleh Buk RT ketika membeli sayur di gerobak beberapa hari lalu. Di acara itulah keduanya berada setelah Tsabiya memaksa untuk ikut. Tsabiya berbincang dengan ibu-ibu yang sedang bercengkrama sambil menyiapkan keperluan acara, tidak lupa, ada Fatima yang senantiasa mendampingi Tsabiya.

Dari kejauhan, Tsabiya curi-curi pandang melirik Mikael yang sedang memasang besi-besi tiang tenda dengan yang lain. Mikael nampak aneh dengan aktivitasnya sendiri karena masih pertama kali. Laki-laki itu beberapa kali terlihat memegang tengkuknya tidak nyaman, barangkali kelelahan.

"Almarhum Pak Ardaad pasti senang di sana, ya, Mbak Tsabiya. Mbak Tsabiya dapat suami yang baik, ganteng, rajin juga." Seorang tetangga berceletuk gemas sambil mencolek bahu Tsabiya.

"Dulu waktu ada maulid di masjid, dia juga bantu banyak, sedekahin banyak makanan pula, ga nyangka ya, anak muda yang sering kajian bareng Pak Aryo dan Almarhum Pak Ardaad rupanya calon menantunya waktu itu." Tetangga yang lain ikut menambahkan. Tsabiya mengernyit penasaran.

"Iya dulu waktu anak ibu yang bungsu hidungnya berdarah karena jatuh di tangga masjid abis solat magrib karena kejar-kejaran sama anak-anak lain, sama suami Mbak Tsabiya dibawa ke UGD puskesmas, padahal kata Pak Aryo waktu itu suami Mbak Tsabiya mau berangkat pulang ke Jakarta karena kajian mingguan sudah selesai." Tsabiya membalas dengan senyum. Iya kah? apa Tsabiya saja yang tidak tau Mikael sering ke desanya sebelum menikahinya?

"Saya juga ingat dulu bu ibu,  waktu almarhum ayah saya hilang karena suka jalan-jalan sendiri karena beliau sudah pikun dan ga tau jalan pulang ke rumah, orang se-desa nyariin, ada suami Mbak Tsabiya juga ikutan nyariin sampe ketemu, habis itu dia baru balik ke Jakarta pukul 11 malam. Baik banget orangnya."

"Kapan kejadiannya?" Tanya Tsabiya kepo.

"Loh, Pak Ardaad ga ngasih tau, Mbak? Kejadiannya dulu waktu Mbak masih kuliah, Maklum sih Mbak kalo ga tau dan gak dikasih tau, Mbak kan kuliah, pulang ke rumah cuma akhir pekan, pasti banyak ngobrolin hal yang lebih penting." Tsabiya sedikit setuju dengan pernyataan itu. Ia dulu memang kuliah di tempat yang lumayan jauh dari rumah sehingga harus ngekos dan pulang sabtu minggu menjenguk ayahnya.

Fatima melirik dirinya, sahabatnya juga penasaran karena tidak tau banyak. Padahal kan Fatima selalu ada di desa itu, kenapa pula ia tidak tau kejadian itu.

"Mbak, dikasih kopi atau teh gitu suaminya, ada tuh di atas meja, keliatannya capek itu." Memang Mikael terlihat lelah, cuma Tsabiya agak mager menghampiri Mikael sebenarnya. Apa daya saran ibu-ibu tidak bisa ditolak.

"El, ada kopi."

"Terima kasih." Mikael menoleh kaget, ia sedang berdiri bengong menatap tenda yang sudah berdiri sempurna.

"Kita pulang sebentar lagi, tunggu sebentar saya minum kopi dan pamitan ke Pak RT."

"Ga usah buru-buru, aku masih belum ngantuk, El." Tak ada gubrisan dari Mikael ke Tsabiya melainkan Mikael meminum sedikit kopinya, pamitan dengan para pemuda desa, kemudian menemui Pak RT di teras rumah lalu mengajak Tsabiya pulang.

"Kayak akrab banget sama Pak RT." ujarnya iseng ke Mikael. Keduanya pulang jalan kaki.

"Biasa saja."

"Kamu sering ke sini ya?" Tsabiya masih kesal tapi kepo.

TsabiyaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora