04 ; Halusinasi

Mulai dari awal
                                    

Pandangannya lurus pada air yang memanjang tak berujung di depan sana.

"Kamu pulang, ya, Ta.. Bapak tahu kamu ada. Hati Bapak nggak pernah tenang belakangan ini. Bapak kangen.."

Tak lama setelah Bapak mengucapkan kalimat itu, Azan Maghrib pun terdengar berkumandang. Segera Bapak menyeka air matanya yang tiba-tiba saja jatuh, kemudian langsung beranjak menuju Masjid untuk Salat berjama'ah.

Bukan dengan sengaja Bapak tidak pulang, Bapak hanya butuh waktu sebentar untuk menyendiri tanpa harus melihat tatapan tidak mengenakkan yang akan anak-anaknya berikan setiap setelah Bapak berambisi untuk mencari Apta.

Bapak tidak menyalahkan siapapun, Bapak cuma ingin diterima dan di dukung, itu saja.

Dan tidak seperti apa yang Bapak pikirkan, alasan Khalid begitupun Dewangga yang selalu mengingatkan agar jangan terlalu menaruh harapan berlebihan tentang Apta, bukan semata-mata untuk mematahkan semangat Bapak. Sama sekali tidak. Justru mereka melakukan itu semua sebagai bentuk kasih sayangnya pada Bapak. Tetapi mungkin, Bapak masih belum bisa menerimanya.

Malam ini setelah Salat Maghrib di Masjid yang jaraknya lumayan jauh dari Masjid yang biasa Bapak datangi bersama Khalid dan Dewangga, Bapak memutuskan untuk pulang setelah menunggu Azan Isya dan Salat berjama'ah.

Bapak butuh ketenangan yang kebetulan hanya Tuhan saja yang mampu memberiknnya.

Dan dengan Bapak yang baru pulang ke rumah sekitar pukul setengah 8 malam, membuat Khalid dan Dewangga khawatir bukan main. Bapak pulang ke rumah seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal sejak sore tadi, Dewangga sempat mencari-cari Bapak karena pergi dari rumah tanpa bilang-bilang. Namun dengan tampangnya yang datar, Bapak pulang dan malah bertingkah seakan semua baik-baik saja.

Dewangga bahkan sudah bisa menebak kalau Bapak sedang menyembunyikan sesuatu.

***


Hari ini, untuk pertama kalinya Dewangga melihat pemandangan yang sangat-sangat menyakitkan. Dewangga hanya berharap kalau semua ini tidak pernah terjadi. lagi. Sebab melihat Bapak yang tiba-tiba keluar dari kamar dan berlari ke teras rumah sambil memanggil-manggil nama Apta berulang kali, membuat hatinya seperti disayat-sayat.

Bapak berhalusinasi.

"Pak! Bapak!"

Suara Dewangga membuat Khalid yang ada di dapur langsung cepat-cepat ke luar. Lelaki itu berlari dan kemudian mendapati Dewangga yang sedang duduk di kursi bersama Bapak.

"Istighfar, Pak." Sembari mengusap-usap punggung Bapak yang kini sudah mulai tenang, Dewangga lantas menoleh ketika melihat khalid menghampirinya dengan ekpresi wajah khawatir.

"Kenapa, Wa?"

"Bapak, Mas." kemudian matanya kembali menatap Bapak yang kini tengah mengusap wajahnya.

"Ya Allah.. Maafkan Bapak, ya? Bapak kayaknya ngingau." segera, Bapak menjelaskan apa yang baru saja dialaminya.

"Tadi Bapak mimpi kalau Apta pulang. Bapak kira itu beneran, ternyata cuma mimpi. Maafin Bapak sudah bikin kalian panik. Maaf." Bapak langsung mengusap puncak kepala Dewangga yang memang terlihat paling khawatir.

Lantas Bapak menatap Khalid yang masih berdiri sembari menatapnya.

"Maaf, ya, Mas.. Bapak sudah nggak apa-apa, kok, Bapak cuma ngingau saja."

Hembusan napas lega terdengar dari samping. Dewangga menyandarkan tubuhnya ke kursi setelah mendengar jawaban Bapak.

"Dewa kaget banget, Pak. Dewa kira Bapak kenapa-kenapa."

"Pak.." Dewangga kembali duduk, "Bapak jangan kayak gini terus.. Apta sudah nggak ada, Pak. Bapak harus ikhlas."

"Dulu Bapak, kan, yang selalu bilang sama Dewa untuk nggak terus terpuruk dan harus bisa menerima takdir?"

Khalid mengangguk setuju, kemudian langsung mengambil duduk di samping kanan Bapak. Dan Bapak yang mendengar perkataan Dewangga barusan pun, tidak mampu mengucapkan apa-apa selain menunduk dan mengusap kasar wajahnya.

"Pak, Khalid harus apa supaya Bapak nggak kayak gini? Supaya Bapak bisa ikhlas? Supaya Bapak bisa nerima ini semua?"

"Mas!" tanpa sadar nada suara Bapak meninggi, padahal Bapak sama sekali tidak bermasksud melakukan itu.

"Kata siapa Bapak belum ikhlas? Kata siapa Bapak nggak bisa nerima ini semua?"

Bapak masih menunduk, tatapannya lurus ke arah bawah. Yang mana itu membuat Khalid sedikit menyesali ucapannya. Padahal Khalid berani bersumpah, kalau ia sama sekali tidak bermaksud melontarkan kalimat yang bisa saja menyakiti hati Bapak.

"Mas.. Andai Bapak punya cara untuk menceritakan semua yang Bapak rasakan sekarang, Bapak nggak mungkin menyembunyikan semuanya dari Mas, dari Dewangga."

Bapak kemudian mengangkat wajahnya, menatap Khalid dan Dewangga secara bergantian dengan mata yang memerah dan berkaca-kaca.

"Ikatan batin seorang Ayah dan anak laki-lakinya itu sangat kuat. Dan Bapak percaya kalau Apta masih ada."

Dewangga menatap Bapak dengan air mata yang sudah siap jatuh. Ternyata lukanya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Bapak. Sedangkan Khalid tidak bereaksi apapun selain menatap Bapak yang setelah itu kembali melanjutkan ucapannya.

"Mas nggak perlu melakukan apa-apa untuk Bapak. Ini sudah menjadi pilihan Bapak."

"Bapak janji, Mas dan Dewangga nggak akan pernah melihat kejadian seperti ini terulang lagi. Bapak janji.'

"Maaf sudah bikin kalian khawatir."

Dengan senyuman yang tampak sangat menyakitkan di mata Khalid begitupun Dewangga, Bapak mengusap puncak kepala keduanya.

"Bapak nggak berhalusinasi. Bapak cuma mengingau."

Kemudian tangannya mulai menarik bahu Khalid dan Dewangga untuk ia dekap kuat-kuat.

"Kalian nggak perlu khawatir, Bapak baik-baik saja. Akan selalu baik-baik saja."

Jangan lupa spam "next" sebanyak-banyaknya, ya!♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa spam "next" sebanyak-banyaknya, ya!♡

Oh iya, jangan lupa follow akun RP
laut pasang, 1994 di ig :
@aptabayuaji.c
@b.taradewangga
@khal.mahavir
@keluarga_hartono

Dan juga instagramku :
@lilpuduuuu
Karena aku suka share informasi tentang ceritaku di sana!♡

See u di next chapter! ✨️

See u di next chapter! ✨️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Laut Pasang, 1994 (SEASON 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang