03 ; Janji, ya, Pak?

19K 1.8K 730
                                    

Happy Reading!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy Reading!


Rasa sakit di kepalanya mungkin bukan lagi hal yang baru. Apta meringis beberapa kali begitu menyadari satu hal yang sudah menjadi pertanyaannya belakangan ini. Mendadak serpihan-serpihan ingatan tentang Bapak terlintas begitu saja, dan tak disengaja membuat air matanya jatuh tanpa sebab yang jelas.

"Bapak sayang aku, nggak?"

"Ya sayanglah, sayang banget."

"Kalau sama Mas Dewa? Bapak lebih sayang mana?"

"Loh? Kok begitu pertanyaannya? Bapak sayang sama semuanya, sama anak-anak Bapak, sama Ibu, sama Simbah. Nggak ada yang Bapak beda-bedakan, semuanya sama rata."

"Tambahin satu persen lagi sayang nya untuk aku, bisa nggak, Pak?"

Suaranya begitu jelas terputar berkali-kali di telinganya. Apta berusaha mengingat apa lagi setelah itu, dan bagaiamana jawaban Bapak. Namun, nihil. Ingatannya hanya sampai di situ saja.

Sore itu, di teras rumah, Apta duduk di pangkuan Bapak sembari menanyakan banyak hal. Termasuk pertanyaan yang baru saja Apta ingat.

Bapak baru pulang bekerja, dan Apta bisa melihat ramai sekali terdengar percakapan-percakapan antara Ia, Bapak dan Saudara-saudaranya. Hangat.

Apta menangis. Merasa bingung dengan semua yang terjadi belakangan ini. Sebenarnya ada apa? Dan kenapa? Kenapa meskipun sudah cukup jelas bahwa dirinya adalah korban Tsunami, tahu bahwa dirinya hilang dan ditemukan di kota orang, Apta masih belum paham mengapa semua ingatannya harus hilang dan terpotong-potong seolah menjadi sebuah puzzle yang harus ia susun kembali.

Banyak sekali kesalahan yang ia buat ketika menyusun puzzle itu agar menjadi satu kepingan-kepingan ingatan yang sempurna tanpa ada celah kosong.

Beberapa kali Apta salah paham. Bahkan untuk menghilangkan rasa kecewa dan sakit hatinya terhadap sikap Bapak, Apta butuh waktu yang tidak tahu pasti kapan itu akan berakhir.

Sebab ternyata yang lebih dulu ia ingat adalah sikap dan perlakuan kasar Bapak padanya. Kepingan-kepingan puzzle itu berantakan dan membentuk sebuah kesalah pahaman yang sampai detik ini masih Apta pertanyakan. Sebenarnya bagian mana yang harus lebih dulu ia susun? Bahagia? Atau sebaliknya?

"Sebenarnya aku ini apa, sih?" dengan suara serak dan bergetar, Apta menatap pantulan diri pada cermin besar di hadapannya.

"Kamu ini siapa, Ta?" Apta menunjuk-nunjuk pantulan dirinya di dalam cermin lemari.

Hembusan napas panjang terdengar jelas ketika ia tak mendapatkan jawaban apapaun yang bisa menjawab pertanyaannya.

"Mas Dewa.." lelaki itu menurunkan pandangan, kemudian melangkah dan duduk di tepian kasur, "Sepertinya Mas Dewa yang paling dekat sama Aku, ya?"

Laut Pasang, 1994 (SEASON 2)Where stories live. Discover now