"Gue juga setuju."

Setelah merasa semuanya sudah menyetujui rencana yang akan mereka lakukan besok hari, Daren pun berdiri sambil mengenakan jaket kulit berwarna coklat miliknya.

"Ya udah, kita pulang dulu ke rumah masing-masing. Jangan lupa siapin apa yang mau dibawa besok. Ingat, seperlunya aja. Gue gak mau kita cuman pergi ke pantai tapi udah kayak pindah rumah."
Daren mengingatkan. Sebab biasanya kalau sedang liburan, Kenzie dan Rafka selalu membawa barang yang tidak penting. Itu hanya membuat perjalanan mereka menjadi cukup terganggu.

"Iya, Daren." Jawab semuanya serentak sebelum keluar dari rumah pribadi tersebut dan pulang menuju ke rumah masing-masing.

•••••


Sinar matahari menyinari pandangan Kenzie kala ia membuka mata, hingga manik kucing itu mengedip berulangkali agar terbiasa dengan cahaya yang masuk ke retina. Setelah pandangannya membaik, Kenzie mulai beranjak bangun dari tempat tidur. Kenzie memijit pangkal hidungnya karena pusing, nyawanya belum terkumpul sempurna sebab baru saja bangun. Merasa sudah sedikit membaik, ia pun lalu berjalan kearah kamar mandi yang di kamarnya dengan balutan handuk yang menggantung di bahunya.

Kenzie mandi dan bersiap-siap untuk pergi sesuai dengan yang mereka rencanakan tadi malam. Setelah selesai, Kenzie duduk di kursi depan rumah, menunggu kedatangan keenam sahabat untuk menjemputnya. Dirinya memang mendapat jemputan terakhir karena rumah Kenzie yang lebih dekat dengan pantai.

Sekitar 6 menit menunggu, akhirnya sebuah mobil berwarna putih yang ia tunggu-tunggu dari tadi pun tiba. Itu adalah mobil milik Alvaro.

"WOI! MASUK!" Teriak Renan dari dalam mobil. Kenzie langsung berjalan dengan langkah yang cepat menuju mobil tersebut lalu masuk kedalam.

"Lo bawa apa aja?" tanya Rafka tanpa menoleh kepada Kenzie.

"Gue bawa pisau sama cemilan ringan." jawab Kenzie sambil menaruh barang bawaannya di tempat yang dirasa kosong.

Daren yang sedang fokus melihat jalanan pun mengerutkan keningnya kala mendengar jawaban dari Kenzie, "Pisau? Buat apa, Ken?"

"Oh! buat itu, buah!" Kenzie berujar dengan sedikit rasa gugup, diakhiri dehaman singkat.

"Gue bawa buah," timpal Narel untuk meluruskan pembicaraan saat itu dan hanya dibalas dengan anggukan kecil dari teman-temannya.

****


Sesaat sampai di pantai, mereka langsung menggelar tikar yang cukup untuk diduduki mereka semua. Mereka duduk, mengeluarkan beberapa barang bawaan.

"Gue sama Renan mau cari kerang dulu." Kenzie berdiri sambil membawa sebuah gayung.

"Iya, hati-hati." Alvaro menjawab.
Renan dan Kenzie pun mengangguk, langsung pergi meninggalkan temannya yang lain.

"Gue mau ke toilet." Ujar Narel.

Seno juga ikut berdiri, ia bicara menggunakan suara berat khas miliknya,  "Dan gue mau cari kelapa muda,"
Sekarang yang duduk di tikar itu hanya Rafka, Alvaro dan Daren.

Dua puluh menit berlalu, Rafka yang sudah kebingungan akan kejanggalan Narel yang tak kunjung kembali dari toilet, ia memutuskan untuk menghampiri temannya itu.

"Kok Narel gak balik-balik, ya? Ini udah dua puluh menit. Toilet kan gak jauh dari sini. Gue mau nyari dia dulu." Rafka meninggalkan Daren dan Alvaro yang mengangguk-angguk.

Enam menit setelahnya, dua lelaki yang tengah duduk santai tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan Rafka dari samping toilet. Suara Rafka mengeluarkan gema karena sepinya keadaan pantai pada saat itu.

"KALIAN, KESINI SEMUANYA!" Sontak saja hal itu membuat Alvaro dan Daren menghampiri Rafka ke arah sumber suara yang disusul dengan Seno.

Sesampainya disamping toilet, mereka melihat Narel-sahabatnya-sudah terbujur kaku tak bernyawa dengan luka tusukan di area jantung dan perutnya.

"NAREL!" Alvaro berlutut disebelah Narel, terkejut dengan apa yang ia lihat. Kejadian itu membuat mereka banjir air mata.

Disaat mereka bertanya-tanya siapa pembunuhnya dan mengapa ia melakukan hal ini, Renan dan Kenzie datang dengan terengah-engah. Mulut mereka berdua ternganga kala menyaksikan momen itu.

"Narel? Kenapa dia bisa meninggal? Siapa pembunuhnya?!" Kenzie berteriak sambil menangis.

Daren menoleh kearah Kenzie dengan tatapan tajam dan tangan yang di kepal. "Jangan pura-pura nggak tau, Ken. Gue yakin lo yang membunuh Narel. Lihat, disamping jasadnya ada kerang-kerang yang berhamburan!"

"Kenapa kalian nuduh gue?!" Kenzie tidak terima dirinya dituduh begitu saja hanya karena adanya kerang yang berceceran di samping jasad Narel. Padahal ini wilayah pantai, wajar saja jika ada kerang.

"Lo iri sama Narel yang selalu ngalahin lo kalau ada lomba pramuka. Jadi, lo ngebunuh dia, makanya semalam lo ngasih ide jalan-jalan buat melancarkan aksi." ujar Alvaro yang juga ikut menuduhnya.

"Gue sama Ken baru habis cari kerang dan kami kesini karena denger teriakan Rafka. Jangan nuduh sembarangan gitu. Ada bukti lain, nggak?!"

"Udah, mending kita beres-beres lalu pulang dan selesaikan masalah ini dirumah. Kasian Narel kalau gak cepat diproses pemakamannya." Seno menghapus air matanya saat berkata seperti itu. Seno berjongkok, matanya melirik ke arah Rafka, memberi isyarat untuk membantunya membopong tubuh Narel.

Keenam laki-laki di sana merenungkan kepergian sahabatnya. Ada yang benar-benar menangis dan ada juga yang berpura-pura menangis agar terlihat sama.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang