1

245 22 3
                                    


Episode 1.


Aletha Denandra,

7 Januari, Universitas M

Setiap langkahku terasa begitu berat, seakan-akan mempertegas kesendirianku yang kian dalam. Udara lembab berusaha menusuk kulit seolah ingin mengingatkan hati dan ingin bermain-main dengan perasaan yang telah lama terluka.

Kalimantan...

Ya! Di sinilah aku saat ini.

Jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, dan menyisih ke salah satu kota dekat Ibu Kota baru negeri ini.

Aku masih begitu ingat bagaimana angin Kalimantan pertama kali menyapaku di depan gerbang Universitas M yang megah berdiri kokoh seolah ingin menyombongkan diri bagaimana ia telah melahirkan begitu banyak cendikiawan untuk tanah ini.

Aku bahkan masih mengingat bagaimana aspal lembab itu pertama kali kutapaki dan pepohonan sekeliling kampus seolah menari menyapa kedatanganku.

Kupikir hari itu menjadi hari membosankan yang biasa aku lewati selama enam tahun terakhir.

Namun aku salah, semesta seolah telah mengetahui bahwa hari itu berbeda.

Udara lembab, meski langit begitu biru tak tersentuh mendung.

Pagi itu aku menatap langit, memastikan bahwa Tuhan telah membuat langit Kalimantan sama persis seperti langit di kota-kota yang selama ini telah kusinggahi.

"Aku mencintaimu!" gumamku pada langit biru.

Aku memastikan bahwa mobil yang kubawa telah terkunci, dengan menatap kaca mobil yang gelap aku bercermin, menatap wajahku sendiri, dan tersenyum sendiri seolah membisikkan pada jiwa yang bersembunyi di dalam raga untuk sekali lagi bersiap untuk bermain drama.

Dramaturgi!

Jika kalian memperdalam studi komunikasi, maka istilah ini tak akan asing.

Sebuah teori yang menjelaskan bahwa manusia akan berperilaku berbeda sesuai tempat dan waktu di mana ia berada.

Namun, bagiku ini bukanlah sekedar teori textbook yang bertengger di buku tebal dengan 400 halaman. Bagiku dramaturgi adalah bagian hidupku sejak lahir.

Sekalipun aku pernah menjadi seorang yang tak perlu bermain drama, namun itu hanya bertahan beberapa waktu, bersama seseorang yang sosoknya tak pernah hilang dari benakku.

Seseorang yang telah membuatku hidup dan mati di saat yang bersamaan.

Inilah diriku.

Aletha Denandra.

Tangan kananku mengepal, setiap kali aku merapalkan nama lengkapku, muncul gejolak perasaan yang tak pernah bisa kudeskripsikan.

Aletha Denandra...

Bagi sebagian orang, itu adalah nama dari seorang putri sulung keluarga Denandra.

Aletha Denandra...

Bagi sebagian lainnya, itu adalah nama seorang wanita berusia 29 tahun yang tak pernah berniat menuntaskan kesendiriannya,

Aletha Denandra...

Bagiku, nama itu pernah diucapkan dengan begitu yakinnya dan ada kepercayaan di balik setiap suara yang menyebutkan nama itu.

Suara yang begitu lama tak pernah kudengar lagi itu, tak pernah hilang dari memoriku, bahkan kini rasanya suara itu selalu menggema di ingatanku.

Aku melangkah melalui lorong-lorong kampus yang ramai dengan aura penuh semangat, aku juga ingin mengejar semangat itu. Sapaan hangat kulemparkan kepada wajah-wajah asing di sepanjang lorong. Entah sejak kapan, setiap pertemuan dengan orang baru adalah kesempatan untuk melupakan rasa sakit dan kerinduan akan sesuatu yang telah lama kulepaskan.

Meminta Restu TuhanWhere stories live. Discover now