Chapter 2

12 0 0
                                    

Chapter 2

“Aku pulang!”

Pemuda dengan penampilan yang sangat kotor dengan tubuh yang dipenuhi abu hitam masuk kedalam tenda yang dibangun dipinggir hutan diantara pepohonan.

“Kakak selamat datang!”

Enam orang anak-anak berbagai usia menghampiri pemuda itu dengan ceria. Anak yang paling besar setinggi dada si pemuda menghampiri dan membawakan tas yang terlampir dibahunya.

“Tunggu, jangan mendekat, terlalu banyak debu dibadanku”, kata pemuda itu saat anak-anak yang masih sangat kecil menghampirinya.

“Mandilah dulu aku akan menyiapkan makanan untuk yang lain”, kata anak yang paling besar pada si pemuda.

“Oh! Terima kasih Creed”

“Semuanya! Hari ini kalian mendapat jatah roti, satu orang satu!”, kata pemuda itu dengan semangat.

“Terima kasih, kakak!”, anak-anak ikut bersemangat dan menghampiri Creed untuk melihat roti yang dibawa kakaknya.

Pemuda itu keluar dari tenda dan berjalan menuju sungai yang berada didekat situ. Disungai yang masih cukup dingin pemuda itu membuka pakaiannya dan duduk diatas batu. Pemuda itu membasuh tubuhnya yang kurus namun tetap terlihat garis otot melengkapi tubuhnya. Setelah membasuh tubuhnya pemuda itu membasuh kepalanya, warna kehitaman dirambutnya menghilang seiring air mengalir berganti dengan warna keperakan yang memantulkan cahaya matahari. Pemuda itu menyisir poni yang sejak tadi menutupi matanya kebelakang dengan jemarinya dan menunjukkan warna violet yang memandang hutan dikejauhan.

“Hibana, kau lupa membawa tinta”, kata Creed yang menghampiri dari belakang.

“Oh iya! Terima kasih Creed”

Setelah selesai mandi dan berpakaian Hibana melumuri tangannya dengan tinta hitam dan mengusap rambutnya untuk menutupi warna perak yang ia miliki. Hibana juga mengusapkan sedikit tinta pada wajah dan tangannya yang pucat untuk menutupi warna asli kulitnya.

“Hibana, kenapa kau selalu menutupi rambutmu dengan tinta?”, tanya Creed saat mereka berdua berjalan kembali ke tenda.

“Hm… aku merasa warna yang aku miliki akan membawaku pada kesialan”, jawab Hibana dengan senyum canggung.

“Kesialan?”, Creed yang masih belum memiliki banyak pengalaman hidup dibuat bingung oleh Hibana.

“Creed dengarkan aku, dan aku juga berharap kamu mengajari yang lain”

“Didunia ini ada yang namanya pedagang budak, walau belum pernah ke kota ini tapi mereka itu ada. Kebanyakan dari pedagang budak adalah penjahat, mereka akan menangkap anak-anak yatim piatu yang bisa mereka jual. Dan hal utama yang menjadi kriterianya adalah sesuatu yang langka atau sesuatu yang indah. Warna rambut dan warna mata yang kumiliki adalah sesuatu yang langka, karena itu aku harus menyembunyikannya sebaik mungkin. Setelah ditangkap dan dijual tidak jelas nasib apa yang menunggu kedepannya tapi kebanyakan dari para budak akan menderita dan tak sedikit juga yang mati karenanya”, jelas Hibana.

Creed mengangguk mengerti dengan wajah yang membiru karena cerita Hibana. Hibana yang melihat Creed ketakuatan tersenyum senang dan mengacak-acak rambut Creed yang berwarna hitam.

“Tenang saja! Selama kakakmu ada disini, aku akan melindungi kalian”, kata Hibana dengan cengiran yang lebar.

Di dalam tenda Hibana dan adik-adiknya berkumpul untuk makan bersama, alat makan dari kayu sederhana yang dipahat sendiri dengan panci satu-satunya yang berada diatas api unggun. Dengan senang mereka semua menikmati makanan mereka, walau hanya dengan menu sederhana, satu buah roti dengan sup sayuran yang bening.

Silver Spark Just Want to Live PeacefullyDove le storie prendono vita. Scoprilo ora