| 20. Sakit Hati |

284 20 5
                                    

               Tidak bisa dipungkiri, Jiyeon tetap saja kepikiran masalah Eunwoo. Apalagi Soojung terus saja mewanti-wanti dirinya bahwa Eunwoo pasti akan kembali ke Seoul. Entah kapan, tentu saja hal itu membuat Jiyeon dilanda ketakutan. Takut, hidupnya akan jauh lebih rumit sebab saat ini dia telah menyandang status sebagai Nyonya Jeon. Dia membawa nama besar keluarga Jeon pada dirinya, itu adalah beban besar. Jiyeon tidak mau sampai keluarga Jeon ikut terkena masalah akibat dirinya nanti—terutama kakek. Lamunan Jiyeon buyar ketika ponselnya mendapatkan pesan baru.
@Soojungie
Eunwoo akan kembali!
Apa kubilang

@Jiyeon2__
Apa maksudmu?
@Soojungie
Lihat saja feed terbarunya

Jiyeon menggigit bibir bawahnya resah, dengan perasaan cemas dia membuka instagram guna melihat postingan terbaru. Eunwoo memposting tulisan ‘Back to you!’ dengan background hitam. Mendadak Jiyeon kalut, apakah benar Eunwoo akan kembali ke Seoul?
Asyik dengan pikirannya sendiri, Jiyeon tidak menyadari kedatangan Jungkook. Lantas pria itu mencubit pipi sang istri yang mulai chubby, menariknya satu arah.
"Aduh!" Jiyeon mengelus pipinya menatap Jungkook kesal, "Kapan kau pulang?"
"Baru saja, dan istriku melamun."
"Maaf."
"Apa sih yang kau pikirkan akhir-akhir ini?"
Jiyeon menggeleng, "Hanya soal pekerjaan kok."
"Pekerjaan tidak akan selesai jika hanya dipikirkan tanpa bertindak."
"Iya, aku mengerti." Jiyeon melirik paper bag yang Jungkook bawa, "Apa itu?"
"Ah ini, tolong bantu aku pilih yang bagus untuk Jieun sebagai hadiah pernikahan." Jungkook mengeluarkan isi paper bag dan Jiyeon terkejut dibuatnya.
"Kau memberi Jieun lingerie?"
"Iya, tempo hari dia meminta pendapatku mengenai lingerie yang cocok untuknya. Makanya aku berinisiatif membeli ini untuknya." Entah kenapa perasaan Jiyeon mendadak suram, sedekat apa hubungan Jungkook dan Jieun sampai-sampai soal hal privasi Jieun pun meminta pendapat Jungkook yang notabene seorang pria. Hati Jiyeon mendadak diliputi api cemburu.
"Kenapa hanya diam? Bisakah kau coba semua? Aku mau liat yang paling sexy untuk Jieun."
Jiyeon sangat kesal, "Kau pikir aku model pakaian dalam huh?! Aku tidak mau mencobanya!"
"Hei—hanya mencoba, kau tidak mau menolongku hmm? Kau kan wanita jadi tahu mana yang lebih bagus." Jungkook benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa dia menyuruh istrinya mencoba lingerie untuk gadis lain.
"Aku tidak mau Jungkook! Jangan memaksaku!"
"Kenapa kau marah? Kau tidak sedang cemburu kan?"
"Cemburu? Dalam mimpimu!"
Jungkook tertawa kecil, "Kalau tidak cemburu, tidak masalah mencoba salah satu yang kau suka bukan?"
Mata Jiyeon menajam, rasanya dia ingin menjambak Jungkook. "Aku tidak mau, memalukan memakai lingerie seperti itu di depan seorang pria!"
"Pria ini suamimu, aku bahkan sudah melihat kau tanpa busana. Apa masalahnya?"
Wajah Jiyeon memerah karena malu, "Kau menyebalkan Jungkook!"
"Terima kasih pujiannya."
Jiyeon malas berdebat, jadi dia mengambil salah satu lingerie asal. Setelah itu menuju walk in closet untuk memakainya, Jungkook terbahak puas sekali mengerjai Jiyeon. Tidak berapa lama, sang istri pun keluar dengan malu-malu.
Lingerie berwarna merah yang sangat pas di tubuh Jiyeon, menonjolkan semua sisi keindahan yang ada pada gadis itu. Jungkook meneguk salivanya susah payah, libidonya seketika meningkat. Okay, waktu itu dia hanya membayangkan Jiyeon memakai lingerie kini dia dapat melihat secara nyata.
"Aku tidak akan mencoba yang lain, ini sangat memalukan!"
Jungkook tersenyum, "Semuanya akan bagus padamu, aku yakin itu."
Dahi Jiyeon berkerut, "Kau suka?" Tanya Jungkook.
"Hah?"
"Kau suka yang merah? Aku juga."
"Setahuku Jieun suka pink,"
"Aku tidak peduli Jieun suka apa, yang kupedulian kau suka atau tidak?"
"Apa maksudmu?" Heran Jiyeon tidak mengerti maksud pria di hadapannya.
"Aku beli ini untukmu, untukku kepuasanku juga sih."
"Katamu untuk Jieun!"
"Aku hanya bercanda, mana mungkin aku memberi hadiah lingerie untuknya. Aku masih waras." Jiyeon tersenyum senang mendengar pernyataan Jungkook, dia merasa lega.
"Kau kan memang agak gila, mungkin saja."
Kali ini Jungkook yang kesal, maka dia menggendong tubuh Jiyeon secara tiba-tiba. "Jungkook apa-apaan?! Turunkan aku!"
"Kau bilang aku gila kan? Maka akan kutunjukkan kegilaan seorang Jeon Jungkook." Jungkook membawa tubuh Jiyeon memasuki kamar mandi.
"Jungkook jangan! Lepaskan aku! Hei—Jungkook!"
***
Pernikahan Jieun dan Jimin berjalan lancar, keduanya baru saja selesai mengikrarkan janji suci pernikahan mereka. Kini pasangan itu telah resmi menjadi sepasang suami-istri yang sah di mata Tuhan dan hukum negara. Tampak jelas wajah Jieun diliputi rasa bahagia yang membuncah sebab berhasil memiliki cinta pertama dan terakhirnya. Jungkook ikut bahagia, meski sisa-sisa perasaan itu masih ada namun hatinya telah merelakan Jieun untuk Jimin. Kali ini dia benar-benar akan membuang perasaannya, lagipula dia telah memiliki Jiyeon yang kini hampir memenuhi relung hatinya. Bukan tidak mungkin sebentar lagi Jungkook akan benar-benar mencintai Jiyeon—istrinya.
Sebenarnya Jiyeon merasa tidak nyaman ketika menghadiri pernikahan JiJi couple, bukannya dia tidak senang. Tentu saja Jiyeon sangat bahagia untuk kedua mempelai. Masalahnya, dia dipaksa kembali pada trauma masa lalu sebab gereja tempat Jimin dan Jieun melangsungkan pernikahan merupakan gereja yang sama dimana dulu Jiyeon dicampakkan dengan kejam. Melawan kejamnya kenangan, akhirnya Jiyeon berhasil melewati rasa sesak itu setelah Jungkook menggenggam tangannya. Perasaannya pun berangsur baik. Gadis itu bersyukur Jungkook tanpa sadar telah menjadi titik aman baginya.
"Suamimu memang tampan, tidak usah dipandang terus." Tegur Jungkook menyadari Jiyeon terus menatapnya dengan sangat intens.
"Kau memang lumayan tampan hari ini, aku akui," balas Jiyeon tersenyum.
"Lumayan?"
"Iya."
"Matamu pasti bermasalah, tidak ada kata lumayan bagi seorang Jungkook. Yang ada perfect tahu."
Jiyeon mendesah jengah, "Di atas langit masih ada langit, jangan terlalu berbangga diri."
"Aku hanya bicara soal fakta, Jiyeon." Jungkook kemudian menyapa salah satu tamu, "Permisi Nona, aku ini termasuk dalam kategori lumayan tampan atau tampan sempurna?" Gadis yang ditanya tampak tersipu malu, kemudian dia tersenyum manis sekali cari perhatian.
"Tentu saja tampan sempurna," ujarnya.
"Kau dengar itu?" Jungkook tersenyum bangga sementara Jiyeon mendesah jengah, benar-benar kekanak-kanakan seorang Jeon Jungkook.
Setelah rangkaian upacara pernikahan selesai, keduanya pergi untuk menyapa pengantin baru. "Selamat untuk pernikahan kalian, semoga langgeng." Jungkook memeluk Jimin dan Jieun secara bergantian.
"Terima kasih, Jungkook/Kookie." Balas keduanya bersama-sama.
"Selamat ya, aku harap kalian bahagia." Jiyeon tersenyum tulus, matanya sempat bertemu dengan Jimin beberapa detik dan dia tahu pria itu masih belum sepenuhnya melupakan dirinya. Namun, dia berharap Jimin telah merelakan semuanya dan bahagia bersama Jieun.
"Terima kasih, Jiyeon." Suara Jimin bergetar, senyumannya pun dipaksakan. Jungkook begitu nyalang memperhatikan Jimin dan Jiyeon, waspada menjaga sang istri. Jieun bergerak meraih tangan Jiyeon, menggenggamnya erat.
"Aku harap kita semua bahagia, Jiyeon." Jiyeon tersenyum sebelum memeluk Jieun. Mereka bercengkerama hanya sebentar sebab pasangan pengantin itu harus menyapa tamu lainnya. Sepeninggal keduanya, tiba-tiba Naeun muncul di hadapan Jiyeon dan Jungkook dengan senyuman menyebalkan khas miliknya.
"Wah, Jiyeon. Aku akui kau adalah gadis yang sangat hebat."
Jiyeon merotasi matanya, apalagi yang akan Naeun lakukan padanya? Tidak pernah bosan menyudutkannya setiap ada kesempatan.
"Kau sangat terlambat baru mengakui itu sekarang, Naeun."
Naeun tersenyum sinis, "Ya, pasti butuh perjuangan keras bisa menginjakkan kaki di tempat ini. Bukankah—tempat ini menyimpan luka mendalam? Eunwoo meninggalkan pengantin malangnya di sini, kau sangat menyedihkan waktu itu."
Jiyeon mengepalkan tangannya kuat, Jungkook menyadari jika sang istri sedang sekuat tenaga menahan emosinya. "Nona Son Naeun, selama ini aku diam saja setiap kali kau merendahkan istriku. Aku diam bukan berarti tidak peduli, aku ingin melihat kapan kau akan berhenti. Tapi, nyatanya kau tidak pernah berhenti." Jiyeon menatap Jungkook dalam, penasaran apa yang akan suaminya itu lakukan. Dalam hati dia bersyukur Jungkook membelanya.
"Aku hanya bicara fakta, Tuan Jeon." Naeun masih begitu angkuh dengan egonya.
"Fakta atau bukan, tujuanmu hanya ingin merendahkan Jiyeon. Kau membenci istriku sejak di bangku sekolah, kau merasa begitu iri hati dan dengki." Naeun ingin menyela namun Jungkook tidak memberikan kesempatan, "Kali ini aku tidak akan tinggal diam. Tidak ada yang bisa menyakiti Jiyeon lagi, sedikit pun." Jungkook meraih ponselnya menghubungi orang kepercayaannya sembari menatap tajam kepada Naeun. "Apa kita memiliki kerja sama atau apapun itu dengan Lee's Entertainment. Jika ada batalkan semua!"
Naeun terkejut ketika Jungkook menyebut perusahaan milik ayahnya, dia mulai ketar-ketir. "Ini hanya peringatan kecil, aku bisa dengan mudah menghancurkan bisnis keluargamu, ataupun kariermu dengan sangat mudah. Jadi, jangan coba-coba menyakiti istriku lagi."
Sungguh Naeun tidak bisa berkutik sekarang, dia tahu pengaruh Jungkook tidak main-main. Jadi dia memutuskan pergi dari hadapan pasangan suami-istri paling memesona tersebut. "Kau tidak perlu segitunya pada Naeun."
"Wanita ular begitu harus diberi pelajaran, kau harus andalkan suamimu." Jiyeon merasa terharu, dia pun memeluk Jungkook lembut.
"Terima kasih ya…."
Jungkook membalas pelukan Jiyeon erat, dia tersenyum. "Hmm…" Jieun melihat kemesraan keduanya dengan pandangan yang sulit diartikan.

***

Setelah dari acara pernikahan, Jungkook mengajak Jiyeon ke salah satu bar favoritnya. Dia mengerti betul jika perasaan Jiyeon masih kalut setelah bertemu Naeun tadi. Terbukti, gadis itu kini sudah menghabiskan empat gelas wine sejak mereka tiba di tempat itu.
"Naeun pasti membuatmu sangat tidak nyaman, kau terlihat sangat kacau," gumam Jungkook, dia pun menegak wine miliknya yang hampir tandas.
"Ini bukan tentang Naeun, lebih dari itu Jungkook."
"Tentang pria brengsek yang meninggalkanmu?"
Jiyeon kembali meminta gelasnya diisi lalu meminumnya tanpa sisa, "Aku tidak mengerti kenapa rasa sakitnya masih ada hingga saat ini. Kupikir pergi ke tempat yang sama, aku akan baik-baik saja. Nyatanya, aku masih terpuruk dalam luka."
Jungkook menarik kursi yang Jiyeon duduki agar mendekat padanya, lalu dia menatap serius pada sang istri. "Kau menderita, karena kau belum mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu. Kau masih menyimpan rasa kecewa di hatimu, cobalah untuk merelakan yang sudah terjadi, memaafkannya dan melupakan apapun tentangnya."
Jiyeon menggeleng, "Berkata memang mudah tapi melakukan tidak semudah membayangkan. Kau tidak tahu rasanya."
"Aku memang tidak pernah merasakan apa yang kau rasakan Jiyeon, tapi aku tahu betul rasanya patah hati dan kecewa. Seperti yang kau katakan sulit melupakan tapi jika mengikhlaskan maka kau akan merasa jauh lebih baik. Aku sudah membuktikan, berkat seseorang sekarang aku baik-baik saja."
Jiyeon tersenyum remeh, "Ternyata kau pernah patah hati juga, kupikir hanya bisa mematahkan hati."
"Apa maksudmu? Aku juga pria normal yang pernah menyukai seseorang."
Jiyeon menganggukkan kepalanya berkali-kali, "Ya, ya. Memangnya kapan aku pernah bilang kau alien?" Gadis itu pun terbahak.
"Aku sedang serius tahu."
"Aku jadi penasaran, gadis seperti apa yang membuatmu patah hati. Pasti dia gadis yang sangat luar biasa."
"Ya, begitulah. Seleraku kan highclass."
"Tck—sombong!" Jungkook hanya tertawa, "Emm—apa aku juga  highclass? Mengingat kau memilihku menjadi istrimu."
"Tidak sama sekali."
Jiyeon berdecak kesal, "Lalu kenapa kau mengajakku menikah?"
"Kau bukan sekedar highclass Jiyeon, kau itu tingkat dewi."
Jiyeon merona, "Bulshit!" Tawa Jungkook meledak, dia suka melihat rona merah muda itu di pipi gadisnya.
"Aku sedang mencoba merayumu, hargailah."
"Tidak cocok untukmu, tolong tetap menyebalkan saja."
Jungkook meraih tangan Jiyeon, menggenggamnya erat. "Aku serius Jiyeon, kau harus mengikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu. Buang kebencian itu, tidak ada gunanya."
"Bagaimana caranya Jungkook?"
"Ayo ikut aku!" Jungkook menarik tangan Jiyeon meninggalkan bar setelah meletakkan beberapa lembar won di atas meja. Pria itu membawa Jiyeon ke pantai yang sepi.
"Kenapa kita kesini?" Heran Jiyeon.
"Aku ingin membantumu meluapkan semuanya, sekarang teriak sekencang-kencangnya. Maki Eunwoo sepuasnya!"
"Hah?! Aku bukan orang gila."
"Siapa yang bilang kau gila?"
"Kenapa aku harus teriak."
"Lakukan saja, kau akan tahu perubahannya setelah melakukannya. Lepaskan semua kemarahan dan rasa kecewamu di sini."
Jiyeon menatap lurus ke depan, ke arah bibir pantai dengan ombak yang bergulung pelan. Gadis itu melangkah maju beberapa langkah, "CHA EUNWOO SIALAN! BEDEBAH! SETAN JAHANAM! KURANG AJAR! PSIKOPAT! KUDA JELEK! AKU MEMBENCIMU! KAU PIKIR AKU AKAN TERUS TERJEBAK DENGANMU HUH?! KAU SALAH BRENGSEK! AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA! AKU AKAN HIDUP DENGAN BAIK! AKU ANGGAP KAU HANYA MIMPI BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DIINGAT! AKU PASTIKAN AKAN MENGHAPUSMU DARI MEMORIKU! KAU BUKAN APA-APA BAGIKU! KAU TIDAK BERARTI APA-APA UNTUKKU! KAU TIDAK BERHAK MEMBUATKU TERUS MENDERITA! KAU HANYA KUTU BUSUK TIDAK BERGUNA! FUCK YOU! ARRRGGGHHH!" Jungkook menutup telinganya ketika Jiyeon berteriak kencang, suaranya seakan ingin menghancurkan dunia.
Setelah lelah berteriak, Jiyeon terduduk di atas pasir. Barulah Jungkook mendekatinya, duduk di sebelah istri cantiknya. "Bagaimana? Kau merasa lebih baik?"
Jiyeon mengangguk, "Kau benar, rasanya separuh bebanku lenyap."
"Lakukan di depan orangnya langsung jika ada kesempatan, semua bebanmu akan sirna."
"Begitukah?"
"Hmm—lain kali saat bertemu Eunwoo jangan menangis, tapi hajar saja dia!" Jiyeon terdiam lama, sampai akhirnya dia terbahak. "Kenapa kau tertawa huh?! Aku bahkan tidak membuat lelucon apapun!"
"Kau—itu ekspresimu sangat lucu. Apa itu saran dari seseorang paling berpengaruh di kota ini huh?" Jiyeon kembali terbahak, Jungkook tidak benar-benar kesal dia justru senang sang istri bisa tertawa lepas lagi. Itu tandanya, dia sudah baik-baik saja.
"Tampaknya kesenanganmu adalah merendahkan suami."
"Ya ampun, jangan diambil hati." Jiyeon menangkup wajah Jungkook, tindakan yang selalu bisa membuat Jungkook berdebar. "Dengarkan baik-baik, ini pertama kalinya aku benar-benar memujimu. Kau itu tampan, meski berhati dingin sebenarnya kau sosok hangat dan penuh kasih sayang. Aku yakin semua orang yang dekat denganmu akan merasa nyaman." Jiyeon tersenyum tulus, hal yang membuat Jungkook hilang kendali adalah senyuman tercantik di dunia milik sang istri.
"Jadi—apa kau merasa nyaman bersamaku?" Jiyeon terkejut sendiri dengan pertanyaan dari pria di hadapannya.
"Emm—ya, tentu saja aku merasa nyaman." Keduanya bertatapan lama, mengunci pandangan satu sama lain.
Sejujurnya hati Jungkook merasa tidak nyaman melihat bagaimana pengaruh Cha Eunwoo bagi Jiyeon, ada bagian hati yang terluka melihat gadis tersayangnya masih menderita karena pria lain. "Apa dulu kau sangat mencintai Eunwoo?"
Lagi-lagi Jiyeon terkejut atas pertanyaan Jungkook, "Kenapa bertanya?"
"Hanya ingin tahu, melihat bagaimana kau menderita pastilah kau begitu mencintai dulu. Iya kan?"
Jiyeon mengangguk dengan tangis yang hampir pecah, "Aku mencintainya dengan seluruh hatiku, duniaku hanya ada Eunwoo, harapanku adalah Eunwoo. Saat dia meninggalkanku aku rasanya mati, kupikir aku akan terpuruk selamanya."
Jungkook merasa hatinya sakit, rasanya begitu cemburu mendengar pengakuan tersebut dari bibir mungil yang kini menjadi miliknya. "Bagaimana dengan sekarang? Apa kau masih mencintainya?"
Jiyeon menggeleng, "Cinta untuknya sudah lama mati, mungkin hatiku juga sudah mati jadi tidak bisa jatuh cinta lagi."
"Bagaimana denganku?"
"Heh?"
"Apa kau tidak merasakan apapun hingga saat ini?"
Wajah Jiyeon merona pertanda dia malu, jantungnya mendadak berdebar kencang. "A—aku merasa nyaman itu saja." Mana mungkin Jiyeon jujur bahwa Jungkook telah merebut hatinya. Pria itu bisa besar kepala.
"Nyaman adalah gejala awal jatuh cinta."
"Kata siapa?!"
"Kataku barusan!" Jiyeon benar-benar salah tingkah dan gugup, apalagi mata Jungkook tak lepas memandangnya sejak tadi. "Ayo kita buktikan satu sama lain, siapa di antara kita yang mulai jatuh cinta."
"Bagaimana caranya?"
Jungkook meraih tangan Jiyeon dan meletakkan di dada sebelah kirinya, begitu pun dengan pria itu yang meletakkan telapak tangannya di dada kiri sang istri. "Yang berdebar paling kencang, dialah yang berpotensi jatuh cinta."
"O—okay." Belum apa-apa, Jiyeon sudah gugup. "Lalu apalagi?"
"Kita hanya perlu saling tatap satu sama lain, lalu bayangkan semua hal yang telah kita lewati."
"Baiklah."
Pasangan suami-istri itu memulai permainan mereka, mata bertemu mata, kepala memutar kenangan yang sudah terlewati selama kurang lebih sebulan pernikahan mereka. Jantung keduanya tiba-tiba berdetak tak beraturan, makin lama makin cepat. Hingga akhirnya Jiyeon menyerah, tumbukan di telapak tangannya begitu mendesak sama saja dengan yang terjadi di dadanya.
"Jungkook—kau berdebar kencang sekali." Ungkap Jiyeon setelah mengakhiri permainan mereka.
"Kau juga, Jiyeon." Keheningan terjadi setelahnya sebab sama-sama canggung satu sama lain. Jadi apa artinya ini? Keduanya sama-sama merasakan mulai jatuh cinta satu sama lain?! Ah—rasanya terlalu cepat mengambil kesimpulan hanya karena sebuah debaran. "Jiyeon—entah aku sudah jatuh cinta padamu atau tidak, yang jelas aku sudah terbiasa dengan  kehadiranmu di hidupku. Saat ini, aku tidak mau jauh darimu, aku ingin selalu bersamamu. Kau membuatku kacau, kau membuatku senang, campur aduk. Itulah yang kurasakan."
Bagaimana mungkin perasaannya dengan Jungkook bisa sama? Jiyeon pun merasakan hal yang sama, ada Jungkook bersamanya sudah cukup baginya.
"Hei—katakan sesuatu, rasanya aneh kau tidak merespon apapun." Jiyeon tidak tahu harus berkata apa, lidahnya keluh sebab kepala dan hatinya terlalu campur aduk saat ini. "Kau memang—” Kalimat Jungkook terputus sebab Jiyeon menciumnya sangat dalam, pria itu cukup terkejut akan serangan tiba-tiba tersebut namun detik berikutnya dia larut dan membalas tautan dari istrinya. Penyatuan bibir itu terjadi cukup lama, bahkan keduanya mengabaikan hujan yang turun dengan derasnya membasahi bumi.

***

Jieun merasa sangat senang sebab malam itu dia akan memiliki Jimin seutuhnya, cinta pertamanya yang akhirnya menjadi suami sahnya. Ya, gadis itu begitu antusias menghabiskan malam pertamanya dengan Jimin, meski sudah bertunangan cukup lama namun dia dan Jimin belum pernah melakukan hubungan intim maka ini akan menjadi pengalaman pertamanya. Jieun memilih lingerie terbaik yang dia beli beberapa waktu yang lalu berharap Jimin akan jatuh pada pesonanya, intinya gadis itu melakukan yang terbaik di malam pengantinnya.
Setelah berganti pakaian dengan lingerie berwarna pink, Jieun memakai jubah tidurnya kemudian berdandan sedikit agar terlihat sempurna dimata suami.
Jimin pun telah berganti pakaian, tubuh dan pikirannya amat sangat lelah namun dia telah bertekad menjalani kehidupan dengan normal kembali bersama Jieun. Meski belum melupakan Jiyeon sepenuhnya, setidaknya hatinya telah mampu merelakan gadis itu.
Jieun memasuki kamarnya, gadis yang telah resmi menjadi istrinya itu tampak begitu memesona dan manis. Jimin akui Jieun adalah gadis yang sangat menarik, visualnya pun memukau meskipun tidak secantik Jiyeon.
"Apa kau lelah?" Tanya gadis itu.
"Ya, lumayan."
"Lalu—apa kita harus menunda malam pengantin kita?"
Jimin menggelang, "Tidak harus sampai seperti itu, Jieun."
Jieun tersenyum manis, dilepaskan jubah tidur yang menutupi tubuhnya. Jimin mendadak gugup ketika melihat sang istri hanya berbalut lingerie tipis. Dia pria normal tentu saja libidonya meningkat seketika. Suasana makin panas ketika Jieun duduk di perutnya, memang posisi Jimin sebelumnya telah berbaring di atas ranjang. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Hmm?" Suara Jimin serak, dia sedang menahan hasratnya.
"Kau harus jawab jujur."
"Iya."
"Apa kau membenciku?"
Jimin terdiam, matanya terkunci pada sosok di depannya. "Apa aku punya alasan untuk membencimu?"
"Aku mengejarmu sejak di bangku sekolah, aku membuatmu bertunangan denganku, bahkan sekarang kita menikah."
"Itu bukanlah alasan untuk membencimu."
"Jadi kau tidak membenciku?"
"Tidak."
"Kalau begitu apa kau mencintaiku?" Jimin kembali terdiam lama, berat sekali menjawab sebab dia tidak tahu harus menjawab apa. Jimin menyayangi Jieun, tapi belum sampai sejauh itu untuk mencintai. Terlebih setelah kehadiran Jiyeon lagi di hidupnya, rasanya hatinya masih dipenuhi oleh Jiyeon. "Tidak usah dijawab, aku juga tidak mau dengar apapun saat ini. Kau tidak membenciku saja itu sudah lebih dari cukup."
"Maafkan aku…"
"Kenapa minta maaf, kita seperti ini kan sejak dulu. Tapi—boleh aku meminta sesuatu padamu? Anggap saja hadiah pernikahan."
Jimin mengangguk, "Tentu saja."
"Mulai sekarang, tolong lihat aku saja." Keduanya bertatapan lama, hasrat makin membuncah.
"Baiklah…." Tepat setelah Jimin menyelesaikan kalimatnya, ciuman intens pun terjadi di antara dua sejoli itu. Melampiaskan hasrat satu sama lain, hingga penyatuan yang begitu indah itu akhirnya terjadi. Suasana makin panas didukung suara hujan yang malam itu mengguyur Seoul. Tidak bisa dipungkiri Jieun merasa amat sangat bahagia, rasanya dia baru saja menginjak surga. Namun sayangnya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, sebab Jimin menghancurkan semuanya dalam sekejap.
"Ah—Jiyeon…."
Entah sehancur apa hati Jieun saat ini, sakitnya sampai membuatnya tidak berdaya. Bisa-bisanya sang suami menyebut nama gadis lain ketika mencapai kenikmatan surgawi bersamanya. Hati gadis mana yang tidak terluka?
"A—apa yang barusan kau katakan?" Gumam Jieun merasa sesak yang amat sangat, suaranya bahkan sampai bergetar. Jimin mengutuk mulutnya yang begitu laknat, bagaimana bisa dia salah menyebut nama saat mencapai puncak bersama sang istri.
"Aku menyebut namamu." Jimin berharap Jieun percaya alasannya, meski rasanya mustahil sebab mata gadis itu kini memerah dan berair.
"Kau pikir aku bodoh? Kau kira aku tuli huh?! Telingaku masih bisa membedakan meski nama kami mirip—lagipula Eun dan Yeon jauh sekali perbedaannya!"
"Jieun aku—” Tamparan keras di pipi menghentikan kalimat Jimin.
"Dasar brengsek! Bastard!" Jieun memukuli dada bidang Jimin, mencakar dengan kuku tajamnya sebelum bangkit dari atas pria itu, melepaskan diri dari penyatuan yang baru saja terjadi. Gadis itu memakai jubahnya lalu berlari ke kamar mandi. Jimin segera menyusul tidak peduli dengan kondisinya yang masih naked namun sang istri mengunci pintu kamar mandi dan menangis pilu di balik pintu. Jieun merasa begitu hancur hingga tidak ada lagi yang tersisa, ternyata hati Jimin masih belum menjadi miliknya.
"Hiks… jahat!"
Jimin menggedor pintu, merasa amat sangat menyesal. "Jieun! Tolong buka pintunya biar kujelaskan padamu! Aku tidak bermaksud—sungguh!"
Jieun menutup telinganya, "Pria munafik! Hiks…"

[M] Acquiesce | JJK√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang