Perintah Om Diyat yang menyuruhku jangan datang bersama teman cewek ternyata bukan tanpa alasan, hal itu karena dia memberikan kami sekarung beras dan satu kantong belanjaan oleh-oleh Garut yang tentu saja dodol tidak pernah absen. Kalau tadi aku pergi bareng si Hana bisa-bisa aku menerima tawaran si Rian untuk bonceng tiga, tak peduli nanti akan diteriaki "cabe-cabean!" oleh para bocah, yang penting aku sampai kosan.

"Kalau boleh tahu, kenapa lo suka marah terus ke si Rian, Sti? Ke si Malik juga, ke si Wahyu kayaknya enggak sering. Kenapa?"

Sial. Akbar tiba-tiba bertanya begitu menghunus hening di antara kami, sembari berjalan aku memikirkan jawaban yang semoga tidak membuatku malu sendiri. Tengsin kalau sampai Akbar tahu aku suka padanya, lagipula mana bisa kita marah-marah ke orang yang kita suka. Ditatap beberapa detik saja hati rasanya porak-poranda.

"Gak tahu ya, gue kesel aja gitu kalau denger mereka ngomong. Kayak setiap kata dan pergerakan mereka bikin gue terganggu. Si Rian selalu nyebelin di tempat kerja, si Malik tingkahnya bikin gue susah masuk surga. Menurut lo gue aneh gak, Bar?"

Entahlah, meski sedang dipancing membicarakan orang yang bikin aku kesal saja aku tidak bisa menghilangkan senyum kalau sedang bicara dengan Akbar. Aku senang ada orang yang penasaran, itu artinya dia memperhatikan, dan aku senang diperhatikan Akbar.

"Enggaklah. Lo berhak mau berekspresi kayak gimana pun selama punya alasan." Ada jeda beberapa saat sebelum dia berhenti melangkah dan memusatkan arah pandangnya padaku. "Tapi, kok kayaknya lo gak pernah marah-marah ke gue?"

Tahan. Jangan sampai aku kelihatan salah tingkah. Untung jalanan menuju kosan tidak begitu terang jadi semoga pipi yang mulai terasa panas ini tidak terlihat kemerahan.

"Mana mungkin gue marah sama orang yang udah banyak bantuin orang lain. Kehadiran lo di Kosan Ceria bikin gue ngerasa kayak tadinya ada di ruangan sesak terus lo dateng buka pintu, bikin banyak udara masuk, terus lo juga bikin ruangan itu nyaman buat ditempatin. Bikin gue betah ada di sana. Selama lo gabung jadi warga kosan, banyak perubahan baik yang terjadi ke kita, Bar. Kalau gak ada lo, mungkin si Ica udah habis kali kita jambak-jambakin. Mungkin si Hana enggak bakal bisa tegar menerima mantan sama nyokapnya. Si Malik gak bakalan punya temen yang bisa bantu ngasih solusi setiap keluhannya. Dan si Wahyu ... mungkin dia bisa terus diteror pinjol ilegal atau bahkan dikeluarin dari kampus."

Akbar berdecih dengan bibir terbuka nyaris tersenyum. Aku hampir mempertanyakan perkataanku sendiri karena reaksinya hanya sebatas itu, tapi kemudian ada momen aku menyadari kalau Akbar juga tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Gue seberdampak baik itu, kah?"

"Iya. Gak nyadar? Orang baik emang suka enggak sadar kalau dirinya sendiri baik."

"Tapi gue kayaknya bukan orang baik, Sti."

Kenapa? Kenapa kalimat yang Akbar ucapkan dengan sedikit senyum justru matanya tampak memiliki banyak kesedihan, matanya menunjukkan ketidakselarasan. Akbar tidak biasanya menunjukkan mata itu, mata malaikat yang selalu dipandangkan pada orang-orang yang kesusahan dan membantu memberikan pertolongan itu justru kini seperti memerlukan pertolongan.

"Kalau begitu gue bakal jadi orang pertama yang yakin kalau lo orang baik." Aku tidak ingin mata itu berlangsung lama, aku ingin melihat mata akbar yang bercahaya seperti biasanya, jadi aku –kami—melanjutkan berjalan. "Orangtua lo pasti bangga deh punya anak kayak lo, Bar. Berguna buat orang lain. Pantes buat dibanggain." Aku sedikit menekankan kalimat akhir dengan menggerakkan gigi.

Gue mana pernah dibanggain sama orangtua kayak orang-orang.

"Semoga, ya," jawabnya sembari memandang langit malam. "Semoga di universe yang lain, setiap anak dibanggakan orangtuanya."

Mendengar ucapan Akbar aku jadi ikut membayangkan. Aku di dunia yang lain sedang melakukan apa. Apa dia juga diusir dari rumah. Dipisahkan dari keluarganya sendiri. Tinggal di kosan. Apa aku yang lain bertemu dengan Akbar yang lain juga ya, kalau iya itu satu-satunya hal yang wajib disyukuri seperti apa yang kulakukan akhir-akhir ini. Apa ... apa aku yang lain juga seorang karyawan warung kopi ya, meski pekerjaan itu menyenangkan tapi aku berharap aku yang lain dapat mewujudkan mimpi kecilnya. Bisa sekolah di sekolah yang dia mau. Bisa memiliki banyak teman. Memiliki banyak uang untuk membeli segala hal yang dia inginkan. Memakai pakaian lucu yang aku selalu tidak bisa dapatkan. Memiliki hubungan asmara yang baik, dicintai selayaknya belahan hati.

Dan ... semoga di dunia yang lain, semua anak dibanggakan orangtuanya.

Malam ini hujan sudah benar-benar berhenti, tapi Akbar bilang dia kelilipan karena sudah mulai gerimis lagi. Sudah kutadahkan telapak tangan, tapi tidak ada satu air pun yang jatuh. Tetapi Akbar tetap kekeh bahwa sudah mulai gerimis lagi. Dan kini dia berjalan mendahului.

Mungkin hujannya bukan di langit ini, tapi di langit yang lain. Mungkin hujannya bukan dijatuhkan awan, tapi dijatuhkan bola. Bola mata. Mungkin, hujannya tidak di bumi, tapi di pipi.

Tapi Akbar anak yang membanggakan.
Aku bangga padanya.
Kenapa dia menitikan air mata?

•••
NEXT>>
•••

1 kata untuk Akbar?

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now