02 ; Bayang-bayang dibelakang

Mulai dari awal
                                    

"Sekolah."

Itu yang pertama keluar dari mulut Apta.

Kemudian setelah beberapa detik diam, lelaki itu kembali bersuara. Apta sedang berusaha mengingat apa saja kegiatan yang selalu ia lakukan dulu setiap jam sepuluh. Ada banyak sekali hal yang biasa ia lakukan bersama saudara-saudaranya.

"Ibu." Dengan suara serak, Apta menoleh kearah Ibu yang sedang duduk di tepian kasurnya.

"Gimana kalau seandainya Bapak, Simbah dan Saudara-saudaraku yang lain nggak ada yang selamat?"

Ibu tersenyum mendengar itu. Dan dengan sangat tiba-tiba saja, Apta merasakan bahunya diusap dari arah belakang. Ibu memutuskan untuk menghampiri Apta di kursi yang berhadapan langsung dengan meja.

"Ya sudah, tunggu apalagi? Cuma ada satu cara untuk cari tahu, kan?" Ibu menatap kertas yang masih Apta pegang.

"Tapi aku masih nggak yakin kalau alamatnya benar, Bu."

"Nggak masalah, yang penting kamu sudah berusaha. Ingat, nggak ada usaha yang berakhir sia-sia."

Hembusan napas terdengar jelas. Apta lantas tersenyum sembari menggenggam tangan Ibu yang masih dismipan di bahunya.

"Tapi nanti antar, ya?" Matanya berbinar. Apta sedang merayu Ibu.

Kekehan langsung terdengar jelas dari mulut perempuan paruh baya itu. Lagian mana mungkin ia akan membiarkan Apta pergi sendirian ke kantor pos untuk mengirimkan surat. Sudah 8 bulan tinggal bersamanya pun, Apta tidak pernah keluar sendirian, apalagi untuk main atau bergaul dengan teman-teman seusianya.

Apta tidak punya teman di sini. Apta sangat menutup diri pada orang selain Ibu dan Mbah Rani.

"Ya pasti, lah. Ibu nggak mungkin biarin kamu pergi sendirian tanpa Ibu."

Yang mana setelah mendengar jawaban itu, Apta ikut tertawa sembari beranjak dari duduknya untuk berbalik badan dan memeluk tubuh Ibu. Sangat erat dan terasa begitu nyaman.

"Aku sayaangggg sekali sama Ibu."

Tidak bohong kalau detik ini juga, Ibu sagat ingin menangis. Melihat sikap Apta yang terkadang manja seperti ini, mengingatkan ia pada Alhmarhum putranya yang kebetulan hanya beda beberapa tahun saja dengan Apta. Selisihnya mungkin 3 Tahun. Putranya lebih muda dari Apta.

"Ibu juga sayanggg sekali sama kamu, Ta."

"Nanti kalau sudah bersama Bapak dan Sudara-saudaramu lagi, jangan lupain Ibu, ya."

Mendadak senyuman Apta tidak terlihat lagi. Lelaki itu melepaskan pelukan perlahan dan langsung menatap mata Ibu yang jelas sekali sedang mati-matian menahan air matanya.

"Aku masih ingin di sini, Bu. Sama Ibu."

"Jangan bahas yang lain dulu."

Bukan kali pertama Ibu mendengar jawaban seperti itu dari mulut Apta. Ibu sangat paham bagaimana perasaan lelaki itu sekarang, sebab Apta sudah menceritakan semuanya pada Ibu. Tentang seluruh ingatan yang dipenuhi oleh sikap kasar Bapak padanya.

"Ta.."

Sembari mengusap bahu Apta yang masih berdiri di hadapannya, Ibu kembali bersuara yang hanya dengan mendengar kalimatnya saja, ajaibnya beberapa ingatan Apta kembali.

"Jangan benci Bapak."

"Ya?" Suara lembut yang keluar dari mulut Ibu membuat Apta mengangguk dengan sendirinya.

Padahal di situ, Apta sedang berusaha mengingat kembali siapa yang pernah mengucapkan kalimat yang sama dengan yang baru saja Ibu ucapkan.

"Bagaimana pun juga itu Bapakmu. Bapak pasti punya sisi baik. Bapak sayang kamu, Ta."

Laut Pasang, 1994 (SEASON 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang