15. Jangan Berkelit Kalau Benci Rumit

Mulai dari awal
                                    

"Wah! Aku punya bakat! Aku! Punya! Bakat! Baru!"

Pikirmu, ini waktunya termehek-mehek untuk terus mengagumi Sayudha? Maaf sekali, tapi Kiyesa juga punya dirinya sendiri. Sayudha telah menerima seabrek kalimat manis yang mungkin sudah terasa hambar ia dengar sebab teramat seringnya diperlakukan begitu. Namun Kiyesa, si anak malang ini, tidak pernah didengar dunia apalagi dihujani validasi.

Jepret kedua ia ambil dengan angkasa sore hari yang jingganya cantik membingkai gubuk tempatnya berteduh sehari-hari. Mulutnya membulat. Kerongkongannya tersendat banyak kalimat sampai-sampai ia kebingungan, mana satu yang harus mengudara lebih dulu. Ujung-ujungnya, yang meraung keras sore itu adalah,

"Gila nggak sih ini namanya?! Aku cuma asal cekrek tapi hasilnya secantik ini? Nggak bisa, nggak bisa kayak gini. Aku harus beli tanah secepatnya dan bangun studio foto. Kalau bisa besok pagi."

Tubuhnya berbalik. Presensi kucing manis yang sedikit terlambat ia hujani atensi, kini menariknya untuk mendekat. Si gadis terkekeh kecil manakala buntalan abu-abu gemuk menggemaskan itu menoleh padanya. Seolah-olah menawarkan diri dan tidak terlintas di kepalanya yang lebih mungil dari telapak tangan Kiyesa, untuk menolak dipotret.

"Diam ya, anak pintar. Kamu berani banget. Manusia aja ada yang fobia kamera tapi kamu nggak takut sama sekali. Oke, tiga, dua, sa..."

Lampu kamera menyorot tepat pada mata si kucing manis. Dia agaknya terkejut, kiranya jepret kamera Kiyesa adalah muasal dari sebuah marabahaya. Itu kenapa kaki-kaki mungilnya membawanya melarikan diri sebelum raksasa ini menerkamnya. Bersamaan dengan tiup angin senja yang sedikit kencang, si kucing manis mendorong gerbang rumahnya. Terbuka pelan sebab si kucing tidak punya kuasa sebesar manusia untuk membuka gerbang hanya dengan telunjuknya.

Pada satu garis lurus, keduanya saling menemukan.

Kiyesa yang masih berjongkok dengan kamera tergenggam di tangannya, mengangkat kepalanya. Hanya saja, entah bagaimana, dia tertarik memotret langit alih-alih Sayudha yang menyapa jelaganya. Pun Sayudha sendiri tidak mengerti kenapa harus ia jeda langkahnya tepat di rumah nomor 7. Terjadi begitu saja dan tanpa alasan, mereka bertemu berkat siasat semesta dan seizin waktu.

"...tu."

Kalimatnya yang sempat mengambang diudara, terselesaikan dengan lirih seiring jarinya yang untuk kali keduanya menjepret Sayudha. Termasuk tingkahnya barusan, tubuhnya seolah-olah bertindak membangkangi perintahnya.

Yang terhormat ibu jari, siapa yang mengizinkanmu menyimpan pemuda manis itu dengan cara yang paling mendebarkan untuk nonanya?

Yang terhormat ibu jari, siapa yang mengizinkanmu menyimpan pemuda manis itu dengan cara yang paling mendebarkan untuk nonanya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Syarat utama menjadi budak adalah tidak tahu malu.

Bukannya Kiyesa tengah menyebut Klaristha—si ibu peri—sebagai tokoh serupa penyihir yang mengubahnya jadi budak tanpa harga diri, tapi Kiyesa secara tidak langsung merasa bahwa Klaristha adalah majikannya untuk saat ini. Dia terlalu bermurah hati membuat Hujan Bulan Juni menginap dipetak kamar yang sama dengannya untuk beberapa hari. Besar sekali jasanya menurut Kiyesa.

Meet Me At The WindowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang