Dua Puluh Empat

7.1K 463 31
                                    

My Brother→Dua Puluh Empat

***

#Vanya

“Nya, gue yakin maksud dia bukan dalam konteks kakak-adik.”

Aku mendengus kesal sambil menghempaskan diri di bangku kelas. Suasana kelas tampak tak terlalu ramai karena ujian kenaikan kelas telah berlalu dan biasanya murid lain sangat amat malas untuk sekedar datang ke sekolah, bukan salah mereka juga karena paling hanya free class.

Andira duduk di bangku depanku. Meskipun dia bukan murid di kelas ini, dia kan lumayan mengenal seluruh murid di kelas ini karena dekat denganku.

“Udahlah, Dir. Mendingan, kita keluar. Cari angin.” Usulku. Aku bangkit berdiri dan menarik tangan sahabatku itu. Baru saja kami sampai di depan pintu kelas, Daffa baru datang.

“Eh, pagi-pagi udah berduaan aja,” katanya sambil menyeringai.

Aku memutar kedua bola mataku. “Berisik!” balasku lalu berjalan melewatinya dengan tangan menarik tangan Andira.

Mendung sedang menghampiri sekolah kami. Udara di luar sini ternyata lumayan berangin. Aku memperhatikan pemdangan di depanku dengan kedua tangan memegang tembok pembatas. Andira berdiri di sampingku.

“Nya, Nya!” katanya sambil menarik-narik seragamku. Aku menoleh dengan alis terangkat. Andira menunjuk dua orang laki-laki yang sedang mengobrol di tengah koridor dekat tangga. Mereka berdua tidak mengenakan seragam. Hatiku mencelos ketika memperhatikan salah satu laki-laki yang sedang tertawa rendah itu.

Farel.

Mataku memperhatikannya. Tidak ada perubahan yang signifikan darinya. Kecuali tingginya mungkin sudah bertambah beberapa senti belakangan. Model rambutnya masih sama. Selera pakaiannya juga masih sama. Tawanya yang sudah tidak pernah kulihat selama beberapa bulan terakhir juga masih sama. Tapi apa perasaannya ketika melihatku, apakah masih sama? Meskipun maksudku dalam hal kakak-adik.

Padahal dalam hati, aku ingin lebih dari itu.

“Nya? Halo? Vanya!” suara Andira membangunkanku dari lamunan. Aku menggeleng-geleng dan menoleh ke arahnya. Senyuman menggodanya terukir di bibir.

“Oh, diamlah!” kataku sambil mengalihkan pandangan untuk melihat beberapa murid yang sedang memanikan permainan basket di lapangan. Jantungku entah mengapa terasa detakannya yang lebih cepat dari biasanya.

“Oh, Vanya. Kita berdua tau kalau lo sa—“

“Jangan dilanjutin, Dira.”

“Oke-oke. Tapi, untuk apa mereka berdua ke sini? Mereka udah libur dan bahkan lulus, ‘kan?”

Aku tidak menggubrisnya. Pikiranku sibuk melakukan reka ulang kejadian di pagi hari berbulan-bulan yang lalu setelah Farel mengatakan bahwa ia akan pindah dari rumah.

Hari pasti sudah siang ketika aku bangun keesokan harinya karena tirai di kamarku sudah disibak, membuat jalan bagi sinar matahari untuk mengintip. Aku bangkit untuk duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa. Dalam kepalaku terulang kejadian tadi malam yang membuat perutku terasa mulas.

Aku mengalihkan pandangan ke arah jam. Sepuluh empat lima. Pasti Ayah dan Farel sudah sarapan sejak tadi pagi di bawah dan aku terlambat sarapan.
Ah, sudahlah. Lagipula entah mengapa perutku mulas ketika teringat sesuatu yang berkaitan dengan Farel.

Tanganku meraba-raba untuk mengambil ponsel ketika aku merasakan sesuatu seperti kertas. Aku menoleh dan mendapat sebuah kertas putih yang dilipat sehingga menutupi sesuatu di dalam lipatannya.

My BrotherTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon