Sembilan

6.8K 425 14
                                    

My Brother → Sembilan

***

#Vanya

Hari berlalu dengan begitu cepat. Tanpa disadari sekalipun. Bahkan, Ujian Nasional yang sudah ditunggu-tunggu sudah berlalu. Teman satu angkatanku tinggal menunggu hasilnya.

Tapi sepertinya tidak ada yang benar-benar memikirkannya.

Maksudku, lihat murid di kelasku sekarang. Kami sedang ada free class. Dan semuanya benar-benar melakukan hal yang biasa mereka lakukan saat free class. Mereka seperti "Yang penting, UN udah selesai.", kurasa hanya aku yang paranoid.

"Udahlah, Nya. Gue yakin kita semua lulus. Nggak usah paranoid gitu, lah." Deta tiba-tiba mengampiriku, berusaha menghiburku.

"Yah, gue bukan mikirin itu, sih." Balasku ragu.

Deta mengerutkan kening. "Terus, kenapa kayaknya lo kayak takut begitu?"

Aku berusaha bersikap santai. "Yah, gue takut kalau hasil ujian gue nggak bagus," dan gue nggak diterima di sekolah sebelah, tambahku dalam hati.

Deta malah tertawa. "Ya ampun, Nya. Lo salah satu cewek paling pinter di sini. Gue yakin hasilnya memuaskan, kok." Ujarnya sambil menepuk-nepuk punggungku. Kemudian, Deta menanyakan apakah aku ingin ikut ke kantin, yang kugelengkan kepala sebagai jawabannya.

Well, sebenarnya bukan masalah hasil ujian itu. Maksudku, SMA di gedung sebelah merupakan sekolah swasta. Biasanya, uang yang memegang kendali. Tapi aku ingin tetap mendapatkan hasil yang memuaskanku dan bisa membanggakan Bunda di atas sana.

Lalu, apa masalahnya?

Entahlah. Aku rasanya tidak percaya diri kalau aku bisa masuk sma itu. Mungkin aku takut kalau aku tidak bisa diterima di sana. Padahal gedungnya hanya dibatasi oleh pagar berkawat. Terlalu paranoid, begitu kata Deta.

---

#Farel

Temen-temen gue mau jemput gue. Perpisahan. 07.15.
Ngumpet. Pergi dari rumah. Lakuin kalo mau perjanjian aman.
- V

Gue menarik post-it itu dari pintu. Melongokkan kepala kekiri-kanan. Tidak ada tanda-tanda Vanya.

Gue menoleh ke arah jam dinding di kamar, tujuh lewat lima. Masih sepuluh menit lagi.

Ini pertama kalinya Vanya nunjukin dirinya—walau lewat tulisan—sejak kejadian itu. Yah, sebenarnya dia bisa langsung ngomong ke gue.

Lagian, apa dia masih benar-benar peduli sama perjanjian itu?

Yah, sebenarnya gue udah maafin dia soal pigura itu. Tapi, kalau soal dia yang seenaknya masuk ke kamar gue, biarkan dia yang minta maaf.

Bilang kalau gue berlebihan, gue tahu. Karna gue bukan tipe orang yanh gampang memaafkan orang.

Lupakan soal kejadian itu, udah berulang kali gue memikirkan hal itu dan sementara ini, jawaban yang menurut gue cukup mendekati adalah,

Gue nggak mau ada yang tahu tentang kehidupan pribadi gue.

Setelah menutup pintu, gue berjalan menuruni tangga menuju dapur. Bi Arsih sedang menyiapkan sarapan lebih banyak dari biasanya. Gue sadar kalau ternyata Vanya tengah duduk di meja makan seorang diri.

Pandangan kami bertemu. Ini juga pertama kalinya kami berpandangan sejak berminggu-minggu lalu.

Dan juga pertama kalinya kami bisa sarapan bersama sejak hal itu terjadi.

My BrotherTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon