Enam

7.5K 441 12
                                    

My Brother → Enam

***

#Vanya

Farel masih belum jera juga sama segala kelakuanku yang padahal sudah kubuat semenjengkelkan mungkin. Yah, meski tidak perlu dibuat-buat, aku sadar kalau aku itu menjengkelkan, kok. Aku cukup sadar diri. Tapi cowok satu itu kayaknya bukan tipe cowok yang gampang nyerah. Dan itu bener-bener ngebuat aku harus putar otak buat membuat Farel berasa di neraka. Jujur saja, itu susah.

Sudah kulakukan berbagai cara untuk ngebuat Farel pindah dari rumah ini. Atau dia sendiri yang akan bilang Ayah untuk pindah dengan cara aku membuatnya menderita di rumah. Sayangnya, cowok itu biasa-biasa aja. Terkesan cuek malah. Meski dia selalu membalas serangan-serangan yang selalu aku luncurkan, yang berarti aku juga kena serangan dari kakak angkat nyebelin macam dia.

Dan aku hampir aja nyerah. Tapi, enggak ada kata nyerah dalam kamus Vanya, kecuali kalau sama guru dan orangtua, sih.

Saat ini, aku tengah berpikir mengenai rencana kedepan untuk meluncurkan serangan baru. Farel sudah membuatku berteriak sampai mengunci diri di dalam kamar sampai malam karena memasukan seekor cicak ke dalam makan siangku dua hari lalu. Untung saja aku belum memakannya, kalau iya ... ihh!

Aku merebahkan diri di atas kasur. Memandang langit-langit kamar sebentar. Masih memikirkan ide baru untuk memberi serangan baru kepada musuh. Hari ini Sabtu. Dan Farel pasti sedang bermain basket di lapangan dekat rumah bersama temannya.

TINGG!

Sebuah lampu terang muncul keluar dari kepalaku, kalau di komik-komik, sih, iya. Tidak-tidak. Pokoknya, aku punya ide. Ide yang bisa membuat Farel kembali telat masuk sekolah. Atau bahkan, nggak masuk sekolah selama sehari.

Aku tertawa jahat. Biar saja kakak tiri jahat itu merasakan serangan baru dari Vanya.

---

Aku berjalan berjingkat-jingkat pelan. berusaha tidak menimbulkan suara. Kutengok ke kanan-kiri. Memastikan semuanya aman. Lalu, kudekatkan telingaku ke arah pintu kamar.

Hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.

Aku kembali memastikan sekitar. Setelah kuyakin hanya ada aku seorang di rumah ini-Bi Arsih sedang ke pasar dan Pak Tono sedang mengambil cuti satu minggu-aku memutar kenop pintu kamar tersebut perlahan. Berusaha meminimalisir sedikit bunyinya.

Tapi sesuatu mengganggu pikiranku. Aku tahu-sangat-kalau aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam sana. Maksudku, kami sudah membuat perjanjian. Dan ini berlaku untuk kedua belah pihak. Dia tidak pernah memasuki kamarku, kurasa.

Ah, masa bodo lah! Toh, kalau dia tidak akan tahu. Aku akan membuat alibi sempurna kalau ditanya. Segera kuusir pemikiran tersebut.

Ternyata pintu tidak dikunci. Setelah terdengar bunyi klek khas pintu, aku mendorong pintu itu membuka kemudian menutupnya kembali.

Kamar itu sangat berbeda dengan kamar yang pernah kulihat sebelum cowok itu menempatinya. Dan aku sangat tidak percaya kalau kamar ini adalah kamar milik kakak tiri terkutuk a.k.a. Farel itu.

Dinding-dindingnya diberi cat berwarna biru tua sedangkan langit-langit kamarnya berwarna hitam. Di bagian kiri kamar, tempat tidur ada di sudutnya. Meja belajarnya berada di samping tempat tidur dan juga lemari pakaian. Beberapa foto terpajang rapih di atas rak kaca di dinding. Di bagian kanannya, sebuah tv di pasang dengan meja kecil di bawahnya, yang kulihat isinya play station milik Farel. Sebuah gitar tergantung di sudutnya. Karpet coklat menghampar di tengah kamar. Sebuah seragam sma menggantung di dinding. Bola futsal berada di kolong tempat tidur,sedangkan kulihat bola basket berada di dekat pintu kaca yang menghubungkan antara kamarnya dengan balkon di belakang kamar. Dinding di bagian sana pun terbuat dari kaca, seperti yang ada di kamar milikku.

My BrotherTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon