13. Mufakat

70 3 0
                                    

Ruang kerja Herdion memang di dalam kamarnya. Lebih tepat lagi harus menyeberangi isi dalam kamar. Kini Aresha telah bersama pemiliknya di ruang kerja yang menghadap laut lepas di bawah sana. Kamarnya menghadap sisi belakang rumah.

Ternyata, kamar Herdion berada di atas kamar Aresha dengan tangga tersembunyi di balik dapur. Entah kenapa, sebagaian kamar di rumah ini di desain mengelilingi ruang dapur. Lalu, di mana kamar Taufiq?

"Aresha, kamu tidak ingin duduk?" Herdion menegur setelah agak lama Aresha hanya mengamati dan berdiri. Sedang kursi di depan meja lelaki itu diabaikan.

"Aku sudah duduk," ucap Aresha. Lelaki di depannya tidak lantas bicara setelah dirinya duduk sekian detik dari tadi.

"Baiklah, akan kumulai bincang denganmu, Aresha," ucap Herdion tanpa memandang lawan bicaranya.

"Soal Taufiq yang sempat berkelakuan meresahkan denganmu, aku sebagai abangnya minta maaf dan menyayangkan. Juga mewakili keluargaku, minta maaf yang besar padamu," ucap Herdion yang kali ini sambil menatap Aresha sesekali.

"Seharusnya tidak masalah, karena sebenarnya Taufiq adalah bocah. Tapi ...." Aresha tampak segan untuk meneruskan bicaranya.

"Jangan khawatir, Aresha. Aku paham apa yang kamu rasakan. Sudah kulihat rekaman kamera pengawas di teras. Taufiq memang sedang masa pubertas," sahut Herdion menjelaskan tanpa canggung dan segan.

Dipandangnya wajah cantik yang beberapa detik lalu masih sengit dan tajam, kini tampak cerah berbinar. Gadis itu merasa lega dan mungkin merasa telah mendapat pembelaan yang benar. Herdion merasakan jiwa kekanakan pada sikap Aresha sangat jujur dan ekspresif. 

"Jadi, Anda percaya dengan ucapanku? Aku tidak mengada-ada. Keluargamu harus mengarahkan dengan ekstra tingkah laku dan sikap adikmu, Taufiq. Bisa saja aku memukulnya atau menganiayanya sebab panik. Untung aku masih merasa kasihan. Aku tidak tahu apa yang berlaku andai orang lain yang diusik olehnya."

Herdion memandang penuturan Aresha yang sopan dengan saksama. Merasa perempuan muda itu cukup berwawasan dan pintar. Tentu saja, mana mungkin seorang arsitek handal seperti Jack mengambil wanita pekerja yang sembarangan. Apalagi menjadikannya kekasih. Herdion tersenyum masam tanpa sadar.

"Kenapa, apa pendapatku terdengar ngawur olehmu? Kenapa menertawaiku?" tanya Aresha tiba-tiba menegur. Seperti tersinggung dengan cara lelaki itu tersenyum.

"Oh, tidak, Aresha. Bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku justru salut dengan caramu berpikir dan berperasaan. Terima kasih, kamu sudah ikut bersimpati pada adikku," ucap Herdion dengan sedikit terkejut. Aresha cukup jeli membaca ekspresinya. Meski tuduhan gadis itu tidak benar.

"Aresha, apa yang Hisam bicarakan padamu di taman petang tadi?" Lelaki itu berusaha mengarahakan bincang ke topik lain.

"Dia berniat membayarku untuk baby Venus saat diambil alih keluarganya selama dua minggu," sahut Aresha cepat. Seolah gembira dengan tawaran Hisam padanya.

"Kamu sudah tahu hal itu?" tanya Herdion seolah menyelidik.

"Iya, Pak Hisam telah mengatakan tentang itu padaku," jawab Aresha. 
 
"Bagaimana bisa dia berani menawar untuk membayarmu, sedang kamu sudah bekerja denganku?" Herdion terlihat tidak suk.

"Namun, bukankah aku sudah tidak lagi mengurus Venus? Bukankah aku akan segera dikembalikan ke Nagoya? Jadi, aku menceritakan hal ini pada Pak Hisam. Apa aku keterlaluan. Aku hanya menganggapnya teman yang mengerti keadaanku di sini," ucap Aresha dengan pasrah.

"Aku berubah pikiran, Aresha. Kamu sudah ada tanda tangan kontrak denganku. Setidaknya dua minggu. Katakan pada Hisam bahwa keputusanku berubah mendadak."

Herdion meralat aturan pada Aresha dengan serius. Gadis itu memandang terkejut. 

"Maksudmu?" Mata jernih Aresha pun melebar. Menatap Herdion yang sedang mengetukkan pensil di meja kerjanya. Sebab terbuat dari granit, bunyi totokannya pun tajam dan nyaring.

"Kamu teruslah menemani Venus dan aku yang membayarmu. Meskipun Venus sedang bersama keluarga Hisam pun, aku yang membayarmu, bukan Hisam," terang Herdion tegas.

Aresha menelan ludah dengan susah, ini adalah model kerja yang dia harap. Utuh bersama Venus tanpa putus. Bukan hanya setengah bulan seperti yang dibincang dengan Hisam. Namun, Aresha merasa jika lelaki angkuh yang duduk itu memiliki maksud lain.

"Pak Herdion, apa tujuanmu merubah keputusan?" Aresha merasa dirinya pun berhak tahu alasannya.

"Aku tidak ingin terlihat tidak membahagiakan Venus saat di pengadilan, jika keluarga Hisam masih terus ingin naik banding. Kurasa hanya bersamamulah keponakanku akan merasa gembira." Herdion menghela nafas tampak gusar.

"Kenpa harus melalui jalur hukum? Kasihan sekali Venus. Kalian seperti dua keluarga yang bersitegang. Kenapa tidak bincang baik-baik secara keluarga saja? Kelak Venus yang akan menentukan sendiri walinya, kan?" Aresha berbicara dengan semangat. Apa yang diharapkan, lelaki itu sudah mengatakan.

"Aku akan mencoba bincang dengan mereka, juga mamaku sendiri. Mama pun pernah ingin menguasai Venus sendirian, kurasa pihak besannya jadi tidak terima," ucap Herdion tampak kesal.

"Anda pun, dengan membayarku penuh. Apa bukan dianggap akan menguasai Venus?" Aresha mengingatkan hal itu. Herdian duduk tegak dan menghela nafas.

"Mungkin, tetapi aku tidak berniat demikian. Ini hanya sudah biasa kulakukan. Kurasa mereka akan paham setelah kujelaskan." 

Herdion menyimpan pensil. Mengeluarkan ponsel pintar dan kembali menulis sesuatu di sana. Tidak lama, kemudian disodorkan pada Aresha.

"Kontrak baru, bertanda tanganlah, Aresha," ucap Herdion mengarahkan.

Aresha segera mengambilnya, dibaca dengan saksama. Wajahnya berkerut sesaat. Dipandangnya lelaki si pemilik benda itu dengan heran.

"Kenapa jadi berbunyi dengan waktu tidak terbatas? Memang aku ini barang? Anda pikir aku tidak memiliki masa depan? Aku sangat keberatan," protes Aresha kesal. Ponsel canggih diletak kasar di depan pemiliknya.

"Koreksilah," pinta Aresha ketus. Herdion mengambilnya dan memandang dengan menaikkan alis tebalnya.

"Dikoreksi bagaiamana?" Herdion terkesan malas menyikapi.

"Sebelumnya dua minggu, jika jadi satu bulan sih oke saja. Asal bukan waktu tidak terbatas seperti itu. Memangnya tidak merasa bosan? Aku ini gadis lajang, ingin menikah juga. Tidak sepertimu," ucap Aresha seperti kehabisan nafas tanpa jeda. Herdion bahkan sampai tertegun menyimak bicaranya.

"Apa pekerjaan ini sangat berat?" tanya Herdion kemudian.

"Tidak berat, aku sayang dengan Venus. Tapi, tolong tetap berilah aku kebebasan. Itu hakku," ucap Aresha meminta.

"Bagaimana jika diubah dengan sepakat bersama?" Herdion pun tampak tidak ingin berdebat. Seperti yang disangka, wajah cantik itu kembali berbinar dan mengangguk.

"Sepeti itu terdengar bijak," sahut Aresha seperti menyindir. Lelaki itu abai dan terus merevisi isi kontrak kerja buatannya. Kemudian kembali disodorkan pada Aresha. 

"Lekaslah, aku sangat lelah." Lelaki itu berkata dengan suara stereonya yang berat. 

"Tolong jangan bayar aku dulu. Itu akan membuatku pongah dan malas untuk bekerja maksimal," pinta Aresha dengan jari menoreh cepat di ponsel.

"Aku lebih suka menabung daripada terlupa, Aresha. Kuharap dirimu paham," sahut lelaki itu sambil mengambil ponsel dari tangan Aresha.

Gadis itu membungkam. Mendebatnya kembali juga merasa tak berguna. Berpikir tidak salah jika Herdion membayarnya sekaligus di muka. Bahkan itu adalah keunggulan tersendiri bagi Herdion yang jarang. Yang kebanyakan, seorang atasan akan membayar pekerjanya justru dengan cara menunggak.
🕸🕸🍓🕸🕸





















 








Beloved Babysitter Where stories live. Discover now