11. Punggung Herdion

62 4 0
                                    

Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.
Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke  belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja.

"Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.

Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana.

"Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.

Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.

Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan luar biasa. Bukan tidak tahu, paham sekali jika bocah itu kemungkinan dalam masa pubertas remaja lelaki. Itulah hal utama yang membuat Aresha sangat was-was.

"Argh ...!" Aresha menjerit tertahan. Kaki yang membawanya menuju pintu penghubung kolam, membuat dirinya menubruk seseorang. Dengan cepat disadari adalah Herdiaon. 

"Maaf, Pak Syahfiq. Tolong ...!" Aresha berkata sambil menjauhkan diri dari badan besar itu. 

"Mama Venus ...!" Aresha kembali panik saat Taufiq telah muncul bersama suaranya.    

Sebab takut, Aresha tidak sadar beringsut di belakang Herdion dan menggayut pundaknya dari balik punggung. Jantungnya melaju sangat kencang.

"Taufiq, kamu sedang apa?" Herdion menegur adiknya yang sibuk ingin mendekati Aresha. Namun, terhalang oleh badan besarnya yang berdiri siaga mengikuti gerak Taufiq.

"Pellukan tama Mamah Penus ...," ujar Taufiq terdengar bimbang. Mungkin merasa segan dengan abang tertuanya.

"Ini mamanya Venus, Taufiq. Kamu tidak boleh mengganggunya. Kita punya mama sendiri, bukankah mama kita sudah pulang denganmu? Mana dia?" Herdion berbicara lembut dan abai pada Aresha yang terus mencengkeram pundaknya. Meskipun paham jika gadis di belakangnya sedang benar-benar merasa takut.

"Mamah mandi, Abbang ...," sahut Taufiq dengan gontai. Suaranya rendah dan tidak sekeras biasanya. Bocah itu menunduk, lalu berbalik meninggalkan Herdion, merelakan Aresha yang masih bersembunyi di balik badan besar sang abang.

"Pak Herdion, maafkan aku. Aku serba salah dengan Taufiq. Aku tidak bisa melawan, takut jika emosinya terpancing. Seperti itu saja aku sudah kewalahan. Aku takut jika Taufiq membenciku," ucap Aresha agak tersendat. Herdion mendengar suaranya yang gemetar.

"Aku paham, Aresha. Baru kusadari jika kelakuan adikku agak lain belakangan ini," ucap Herdion datar. Aresha telah bergeser dan tidak lagi memegangi pundaknya. 

"Apakah Taufiq sudah berkhitan?" Tiba-tiba Aresha bertanya dengan canggung dan wajah cantiknya pun tampak pias. Seketika Syahfiq paham akan maksud dan pikiran Aresha.

"Kamu pikir adikku berniat cabbull padamu?" Herdion bertanya lugas tanpa nada dengan memandang lekat Aresha.

"Kupikir dia sudah agak lama dikhitan. Benar? Taufiq sedang mendapat pubertas, Pak Herdion!" Aresha berbicara dengan keras. Meski lelaki itu tidak menyanggah, tiba-tiba jadi kesal sebab Herdion seperti menutupi.

"Apa kamu tidak asal bicara?" Herdion berbicara tenang meski logika lelakinya sedang berputar.

"Aku ... aku tidak tahu bagaimana menjelaskan detail padamu. Tapi ... kurasa rumah megah ini tidak kekurangan kamera pengawas di mana-mana. Tolong lihatlah dari sana apa yang Taufiq lakukan padaku. Dia bukanlah bocah lagi, seseorang harus mengajari etika biologis pada adikmu, Pak Herdion!" Aresha berbicara bersemangat. Ucapannya jadi lancar dan sedikit sengit. Ide akan adanya CCTV seperti dewa penolong  baginya. Ibarat penyemangt dan pendukung untuknya.

"Andai memang seperti itu, apa yang sedang kamu inginkan, Aresha?" Herdion mulai memahami kepanikan gadis itu.

"Bukan andai lagi, ini benar, Pak Herdion! Kurasa Anda sudah tidak butuh tenaga dan jasaku lagi. Venus pun sudah ada yang mengurusi. Bagaimana jika aku pergi lebih cepat saja dari sini? Aku juga bisa mengembalikan sisa uang yang terlanjur kuterima," ucap Aresha, tidak ada keraguan di nada dan wajahnya. Mungkin sangat tidak suka pada Kelakuan Taufiq yang mengejutkan.

"Tidak bisa sesukamu, Aresha. Akan kuselidiki. Jika Taufiq memang cukup meresahkan. Pergilah tanpa mengembalikan uang sepeserpun padaku," ucap Herdion dengan tegas.
Lelaki itu bergerak, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamar pribadinya. Aresha pun sama sekali tidak tahu di mana kamarnya. Yang dia hapal, Herdion sangat suka bersantai di tepi kolam tanpa pernah melihatnya berenang satu kalipun.

Aresha kembali was-was saat mendengar langkah kaki mendekat. Berpikir kemungkinan adalah Taufiq, membuatnya waspada dan bersiaga dengan panik. Namun, hatinya sangat lega saat mendapati orang lain sedang melangkah mendekat.

"Aresha!" Orang yang datang menghampiri dan berseru memanggil itu adalah Hisam. Sedang tersenyum cerah setelah berdiri di hadapannya.

"Pak Hisam, Anda datang? Apa rentet acara doa sudah selesai?" Aresha tidak dapat lagi menyimpan cerah wajahnya. Rasanya sungguh lega dengan adanya lelaki itu di tempat asing yang sama.

"Aresha, apa kedatanganku membuatmu gembira? Mana Venus?" Hisam pun tersenyum lebar dan merasa sangat gembira. Namun, wajah yang sekian detik lalu berbinar, kini tampak mendung di sana.

"Kenapa, Aresha? Ada apa?" Hisam terheran dengan kesedihan yang membayang di wajah cantik itu.

"Pak Hisam, boleh aku membicarakan sesuatu denganmu?" tanya Aresha dengan pandangan sendu pada Hisam. Lelaki itu berkerut dahi, lalu mengangguk.

"Kita bicara di taman saja, Aresha," ucap Hisam dengan pandangan mengajak. Kemudian bejalan menuju arah luar di taman. 

Mereka duduk di bangku taman saat senja. Mungkin sebentar lagi pun tiba maghrib. Hisam meminta pada Aresha untuk segera mulai bicara. Tidak ingin tertabrak alun adzan.

"Bagaimana jika bekerja denganku saja setelah ini, Aresha? Aku yang akan membayarmu. Soal gaji, aku tunduk denganmu. Sebesar Bang Syahfiq membayarmu," ucap Hisam tiba-tiba. Mereka baru saling diam sejenak setelah Aresha selesai berbicara.

"Maksudmu, Pak Hisam?" Aresha menautkan alis indah itu merapat. 

"Kamu jagalah Venus baik-baik dengan tindakan yang sesungguhnya. Keluargaku berniat mengambil hak asuh Venus secara hukum. Kuharap bantuanmu, Aresha," ucap Hisam sungguh-sungguh.

"Tapi, aku bukan lagi pendamping Venus. Mungkin besok pun aku akan pulang, Pak Hisam," ralat Aresha sebenarnya. Teringat akan tindakan Taufiq, hal itu tidak dikatakannya pada Hisam.

"Jangan khawatir. Kami sudah bersepakat, Venus akan dua minggu di sini, kemudian dua minggu di keluargaku. Saat pada kami itulah, tolong bawa Venus. Kamu paham kan, Aresha?"

Aresha tentu saja tidak kesusahan untuk mengerti apa yang diinginkan Hisam Ardan. Terdengarnya menarik sekali, hanya dua minggu bekerja santai dan setelahnya bisa bersenang-senang dengan uang upah yang tetap saja lumayan meski hanya setengahnya.

Namun, mengingat wajah Venus, rasanya sangatlah tidak tega. Pasti bayi itu akan seperti dipermainkan. Dua minggu bersama, dua minggu lagi tidak berjumpa. Bisa jadi bukan Venus saja, mungkin dirinyalah yang tersiksa. Sedang sekarang saja sudah rindu merana rasanya. Kecuali, jika Herdion pun juga dua minggu menyewanya!
🕸🕸🍓🕸🕸

Kakak readers yang baik, harap dukung author dengan subscrive, follow, koment dan like, yaa..
Tinggalkan jejek selalu, 🙏😘











Beloved Babysitter Where stories live. Discover now