Bab 1 : Tiba Di Kalimantan

1.3K 73 6
                                    

Penghujung Juli, 2019.

Ini bukanlah kali pertama aku menginjakan kaki di Kalimantan. Sebelumnya aku sudah pernah sekali ke Balikpapan dan dua kali ke Pontianak. Namun, aku tak pernah ke pedalaman. Sebelumnya hanya di kota saja, bertemu klien dari pemerintah daerah setempat. Tentu saja untuk urusan bisnis, karena perusahaan tempatku bekerja menang tender sebagai pemasok alat berat untuk keperluan proyek mereka.

Namun, kali ini aku harus ke daerah pedalaman demi urusan pribadi. Aku tidak berangkat sendiri. Aku berangkat bersama Pak Wardoyo dan Bu Lastri. Mereka adalah orang tua dari tunanganku, Retno, yang menghilang lima tahun lalu.

Beberapa hari yang lalu kami menerima kabar bahwa Retno ada di pedalaman Kalimantan, setelah menghilang tanpa sebab selama bertahun-tahun. Tentu saja, titik terang keberadaannya membuat kami bersemangat untuk kembali mencarinya. Entah apa yang ia lakukan di tanah orang, kami tidak tahu. Yang jelas, kedatangan kami jauh-jauh dari Jawa Tengah adalah untuk menjemputnya.

Sewaktu menginjakan kaki di bandara Samsudin Noor, Banjarmasin, aku diliputi rasa cemas. Begitu juga dengan orang tuanya Retno. Ada sedikit gugup dan juga rasa penasaran, karena kami akan menempuh perjalanan selama 14 jam melewati hutan belantara. Apalagi, tujuan kami adalah daerah pedalaman yang kudengar masih kental dengan adat-istiadat maupun budaya suku Dayak.

Beberapa tahun lalu, sewaktu pertama kali menjejakkan kaki di Pontianak, bayangan tentang Kalimantan yang hanya hutan belantara dan hal mistis langsung sirna. Ternyata kota-kota di Kalimantan tak jauh berbeda dengan di Jawa, hanya saja lebih lengang. Bahkan, kotanya lebih rapi tanpa kemacetan yang membuat sumpek. Di sini, lalu lalang mobil Fortuner atau Pajero adalah pemandangan biasa. Sepertinya, hampir semua orang Kalimantan mengendarai jenis mobil mewah itu.

"Sudah siap?" tanya Galih, kawan lamaku.

"Sebentar, tunggu pak Wardoyo. Sepertinya ada yang diurus dengan pihak security bandara," jawabku seraya menyambut jabat tangan Galih.
Aku mengernyitkan dahi, melihat ada bekas luka bakar di punggung tangannya. Belum sempat kutanyakan, Galih sudah nyerocos duluan.
"Ada sedikit kecelakaan di tempat kerja. Ada alat yang korslet lalu terbakar. Tanganku sempat sempat dijilat api. Untung gak kenapa-kenapa."

Sejurus kemudian, orang yang kami tunggu akhirnya datang membawa tas jinjing berisi tas dan pakaian.
"Ada apa, pak? Bawa barang terlarang?" seloroh Galih dengan maksud bercanda.

"Biasalah...bagi-bagi rejeki," balas pak Wardoyo seraya tersenyum.

Galih lantas membantuku memasukkan barang bawaan ke bagasi mobil. Terdapat beberapa tas punggung dan koper berisi pakaian serta barang keperluan baik milikku, maupun milik calon mertuaku. Aku tidak banyak membawa pakaian, karena rencana perjalanan hanya dua atau tiga hari. Setelah bertemu Retno, kami akan segera kembali pulang ke Jawa secepatnya.

Aku duduk di samping Galih, sedangkan orang tuanya Retno duduk di jok tengah. Wajah mereka tampak gelisah, sudah tak sabar untuk selekasnya bertemu anaknya. Orang tua manapun, pastilah memendam rindu setelah sekian tahun tidak mengetahui keberadaan si buah hati. Mobil kemudian bergerak meninggalkan area bandara lalu melewati ruas jalan kota Banjarmasin yang lumayan padat.

Jam di ponselku menunjukkan pukul 11.05 wita, lebih cepat satu jam dari arloji yang kukenakan. Arloji yang diberikan Retno sebagai hadiah ulang tahunku. Tak kusangka, arloji itu adalah kenangan terakhir darinya sebelum hilang tanpa jejak.

"Kita makan dulu, ya. Di arah keluar kota ada itik gambut. Rasanya gurih. Bebek khas Kalimantan," seloroh Galih membuka basa-basi.

Aku mengangguk setuju, begitu pula kedua calon mertuaku. Kami memang harus mengisi perut sebelum menempuh perjalanan panjang melintasi jalan trans Kalimantan. Sepanjang jalan, Galih terus bicara kesana kemari tentang pekerjaannya yang sekarang. Tentang pahit getir perjuangannya mencari pekerjaan yang layak. Setiap ditanya tentang Retno, ia selalu mengalihkan topik pembicaraan.

Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman KalimantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang