Aku menghampiri Maya setelah menutup pintu kamar dengan sepelan mungkin.

"Kenapa, Jo?" Maya menautkan alisnya menatapku.

"Tidak apa. Istriku sedang tidur di dalam. Kuharap ia tidak terganggu," kataku lalu kembali fokus pada wanita di hadapanku.

"Maaf," ujar Maya lirih.

"It's okay, May," aku menatapnya dalam. Wanita ini tampak gelisah. Ia meremas ujung gaunnya, sesekali mengusap air matanya yang terus saja menetes.

Kugenggam jemarinya memberinya kekuatan.
"Kenapa kamu berkeras tidak ingin kembali pada Han?" tanyaku hati-hati.

"Aku tidak sanggup, Jo. Han berubah sekarang. Dia tidak lagi percaya padaku. Aku tidak bisa hidup bersamanya lagi, Jo. Ia bahkan pernah menamparku dua kali!" Maya nampak tersengal. Sorot matanya terlihat terluka.

"Pasti ada alasan, kenapa Han melakukannya. Benar kan, May?" tanyaku menyelidik.
Aku mengenal Han meskipun tidak dekat. Dia mahasiswa yang cerdas, cenderung kutu buku. Setahuku Han itu orang yang bertanggung jawab. Pernikahannya dengan Maya adalah mutlak perjodohan. Kedua orang tua masing-masing sudah menjodohkan mereka sejak mereka kecil.

Kulihat Maya makin menunduk.
"Aku hanya ingin bersosialisasi, Jo. Aku bukan tipe ibu rumah tangga yang terbiasa diam di rumah menunggu suami pulang. Aku juga ingin berkumpul dengab teman-temanku. Katakan padaku, Jo. Apa aku salah memiliki keinginan itu?" Maya menatapku sejenak, lalu menunduk lagi.

"Pasti bukan hanya karena itu, May," kataku tajam. Pasti ada sesuatu yang lebih dari pada itu.

"Han melihatku berdua dengan mantan kekasih temanku yang ternyata menyukaiku," gumamnya lesu.

"Lalu?" kejarku melihat Maya menghela nafas berat.

"Han melihat laki-laki itu menciumku," Maya mulai menangis lagi.

Nah kan? Benar instingku. Han tidak akan melakukan hal-hal yang diluar batas seandainya tidak ada yang membuat emosinya meledak.

"Apa yang dilakukan Han?" tanyaku akhirnya setelah tangis Maya reda.

"Ia memukul laki-laki itu, dan menyeretku pulang. Lalu... Ia menamparku dan mengatakan bahwa aku sudah mengkhianatinya," Maya menghapus air mata di pipinya.

"Itu benar bukan?" gumamku pelan.

"Aku tidak menawarkan diriku untuk dicium laki-laki lain, Jo. Aku masih waras dengan berusaha untuk tetap setia pada Han. Semua itu diluar kehendakku!" ledaknya dengan marah.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, May?" aku masih tidak percaya pada apa yang terjadi padanya.

"Aku gak tau, Jo. Kalau saja dulu aku berani mempertahankanmu, pasti nasibku tidak akan seperti ini," Maya masih terus terisak.

"Please, May. Semua sudah berubah sekarang. Aku sudah bukan Jonathan yang dulu lagi," aku tau, ia masih sangat berharap aku menunggunya. Beberapa hari yang lalu ia sudah mengatakannya padaku. Apalagi saat kehidupan rumah tangganya sedang kacau seperti sekarang ini.

"Tidak Jo! Kamu tetap Jonathanku yang dulu. Jangan berubah terhadapku, Jo," Maya menyentak. Aku tergeragap khawatir jika Cla terganggu tidurnya. Ya, kehamilannya ini membuatnya sering kelelahan.

"Sssstt... Pelankan suaramu, May. Istriku sedang tidur di dalam," aku mengingatkan Maya untuk menjaga nada suaranya yang mungkin akan membangunkan Cla.

"Apakah kamu mencintai istrimu, Jo?" tubuhku menegang. Aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadap Cla. Yang aku tau, aku begitu mengkhawatirkannya ketika ia merasakan mual dan seringkali muntah. Bukan hanya pada pagi hari, tapi juga saat malam hari. Semua makanan yang masuk ke perutnya, dimuntahkannya dalam hitungan menit. Akan tetapi, makanan yang ia inginkan di tengah malam, membuatku sedikit lega, karena itu akan bertahan hingga pagi. Aku juga mengkhawatirkan Cla saat ia tidak mengeluh apapun padaku. Aku takut ia menahan keinginannya karena tidak ingin menyusahkanku. Padahal aku tidak pernah menyatakan keberatanku saat ia menginginkan sesuatu.
Apa ini yang disebut cinta? Aku belum bisa memastikannya.

Sincerity of LoveWhere stories live. Discover now