#3

51K 3K 11
                                    

Aku duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap LED besar di depan. Tapi pikiranku tidak pada tayangannya. Kegelisahan menyelimutiku.

Hari ini, laki-laki pengganti Grand, anak Papa Devan yang lain akan datang. Seperti apakah wajahnya? Apakah ia begitu saja menerima tanggung jawab yang bukan seharusnya? Apa yang dia pikirkan tentang aku nanti? Apakah dia bisa menerimaku apa adanya? Apakah ia mau menerima anak yang aku kandung ini dengan lapang dada? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkeliaran di pikiranku. Aku menggigit bibirku dengan gugup.

Kudengar suara Papa Devan di depan. Apakah ia sudah datang?
Dan benar, kulihat Papa berjalan beriringan dengan seorang laki-laki berbadan tegap. Wajahnya mirip dengan Grand, tapi garis wajahnya lebih tegas. Hidungnya mancung, tapi tidak terlalu mancung seperti Grand. Tatapannya seperti elang, tajam! Dan bibirnya... Bibirnya sexy...aku yakin bibir itu tidak pernah bersentuhan dengan rokok ataupun minuman keras. Dadanya lebih bidang dari pada Grand. Kulitnya pun lebih coklat dibandingkan Grand yang putih bersih. Tapi secara keseluruhan, laki-laki ini lebih menarik daripada Grand.

Ah...kenapa aku jadi membandingkannya dengan Grand?

"Nak, kenalkan, dia Clarissa," Papa memperkenalkan aku padanya. Ia tersenyum samar. Aku menunduk, bersandar pada tumpukan bantal sofa.

"Aku Jonathan, panggil saja Jo," ia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri. Ah...jadi namanya Jonathan.

"Clarissa, panggil saja Rissa," aku tersenyum datar menyambut uluran tangannya.

"Hmm... Rissa... Bagaimana kalau aku memanggilmu Claris?" tanyanya meminta ijin.

"Terserah kamu saja," kukedikkan bahuku acuh. Kurasakan ia melirik ke arah perutku, membuatku menunduk tidak nyaman. Meskipun perutku masih nampak datar, tapi tatapannya membuatku risih. Pasti Papa Devan sudah memberitahukan keadaan ku padanya.

"Makan siang sudah siap, mari kita makan sama-sama," ajak Papa, lalu aku dan Jonathan mengikuti Papa Devan ke ruang makan.

Kulihat ia sempat berhenti sesaat sebelum melanjutkan berjalan menuju ke meja makan.

Tidak ada pembicaraan berarti. Keheningan yang selalu menjadi teman saat acara makan bersama kembali hadir.

Selesai dengan acara makan siang itu, Papa mengatakan akan beristirahat di kamarnya. Aku tau, Papa memberi kesempatan padaku dan Jonathan untuk saling kenal satu sama lain. Kami duduk kembali di sofa ruang keluarga.

"Apakah kamu akan tinggal di sini?" tanyaku canggung, membuka obrolan setelah beberapa saat hening.

"Aku belum tau, Cla. Selama tujuh belas tahun ini, aku terbiasa dengan keramaian di panti. Juga terbiasa dengan kasih sayang Mama Rianti. Entahlah. Apakah aku bisa tinggal di rumah sepi dan dingin seperti ini?" Jonathan mengangkat bahu tak acuh.

"Tapi bukankah Papa Devan itu ayah kamu? Dan sepertinya Papa Devan memintamu untuk tinggal di sini dan meneruskan perusahaannya bukan?" aku menautkan alisku. Setelah belasan tahun ia hidup pas-pasan bahkan mungkin berkekurangan, tapi sedikitpun ia tidak menampakkan kegirangannya karena akan mendapatkan limpahan harta dari Papa Devan. Ia cenderung acuh dan enggan menikmati kemewahan yang akan segera di genggamnya.

"Benar. Tapi aku belum mengatakan bahwa aku menyetujuinya. Aku hanya bilang, akan kupertimbangkan dulu. Terus terang, aku tidak tertarik dengan kekayaannya," sahut Jonathan melirikku sekilas. Nada suaranya yang getas menggambarkan kegeraman.

"Sesulit itukah memaafkan ayahmu?" tanyaku lalu aku sadar tidak seharusnya aku bertanya seperti itu.

"Apa yang akan kamu lakukan, jika ayahmu membuangmu, tidak menginginkanmu, dan meninggalkanmu di panti asuhan yang jauh dari kota asalmu, dan kemudian dengan semaunya ia datang setelah tujuh belas tahun hanya karena ia menginginkan peran pengganti untuk pewarisnya yang sudah meninggal?" Jonathan bertanya balik padaku dengan ketus dan tatapannya yang dingin.

Sincerity of LoveWhere stories live. Discover now