01 ; Tokoh yang dirindukan

Start from the beginning
                                    

Tetapi ternyata, justru malah kenyataan pahit yang harus ia terima. Keluarganya hanya terisisa tiga.

Sekarang Tono tidak bisa mendengar cerita atau curhatan dari bibir Windu dan Mas Apta. Tidak akan bisa. Sama sekali.

Suara bising yang setiap hari terdengar dari dalam rumah, tidak pernah terdengar lagi. Semuanya kesepian. Tidak ada bahagia yang terasa nyata.

"Aku juga sudah ikhlas, Mas.. Bahkan jauh sebelum Mas, aku sudah lebih dulu merelakan semuanya."

Dewangga hanya bisa tersenyum. Ucapannya sama sekali tidak bohong. Kali ini, Dewangga benar-benar sudah ikhlas. Apapun yang terjadi pada Apta, Dewangga akan berusaha berlapang dada.

"Wih! Hebat. Apa rahasianya?"

"Rahasia apa?"

"Rahasia supaya bisa mengikhlaskan semuanya segampang itu?"

Mendengar pertanyaan Dewangga, Tono langsung menjawabnya tanpa keraguan.

"Sebenarnya nggak ada proses melupakan yang mudah, semuanya butuh waktu. Tapi kalau kita terus terpuruk dan selalu menyalahkan Tuhan. Memang apa hasil yang bisa kita dapat? Selain rasa sakit yang terus tumbuh akibat isi pikiran dan hati kita sendiri?"

Tono begitu sungguh-sungguh memberikan wejangan pada Dewangga, yang kini masih membuka matanya lebar-lebar setelah mendengar jawaban Tono yang seakan sengaja diucapkan untuk menyentil hatinya.

"Semuanya balik lagi, Mas yang memegang kendali diri sendiri."

Dewangga masih mematung dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat.

"Kamu dapat dari mana, sih, kalimat-kalimat kayak gitu?"

"Loh? Aku kan memang begini. Makanya sesekali Mas juga harus curhat sama aku kayak yang sering dilakukan sama Mas Apta dan Windu dulu."

Dewangga mengangguk-anggukkan kepalanya sembari sesekali mengusap kepala Hartono yang masih berada di pangkuan.

"Kalau terlahir sekali lagi dan ditakdirkan menjadi manusia, pasti cita-citamu jadi dokter jiwa, ya?"

"Iya, asalkan Mas yang jadi pasien sakit jiwa nya."

Pagi ini, sudah tidak terhitung berapa kali Dewangga tertawa. Ternyata yang Tono bilang ada betulnya juga. Untuk apa terus terpuruk dan menyalahkan Tuhan, selain tidak mendapatkan hasil apa-apa, Dewangga juga takut gila.

Gila karena perasaan kosong yang ternyata walupun sudah Dewangga buang jauh-jauh dan mengisinya dengan berbagai macam kegiatan, tetap sulit dihilangkan.

Ucapan Tono memang ada benarnya. Tetapi untuk menjalankan itu semua, sepertinya Dewangga harus lebih berusaha lagi.

"Lagi pula, Mas cuma tinggal mengingat kalau Mas Apta, Mas Nadi dan semuanya akan selalu hidup di hati kita. Mereka ada. Mereka dekat."

Benar. Semua yang Tono ucapkan, adalah yang sering sekali Dewangga dengar dari mulut Apta.

Dulu, saat Dewangga mengatakan bahwa dia merindukan Ibu, Apta selalu menjawab menggunakan kalimat yang sama dengan yang baru saja Tono ucapkan.

"Begitu, ya?"

Dewangga sebetulnya juga sedang berusaha mati-matian agar tidak menjatuhkan air matanya sekarang. Sebab tiba-tiba saja bayang-bayang Apta, dan adik-adiknya yang lain muncul di hadapannya.

Ramainya halaman rumah ketika sore hari benar-benar suasana yang sangat Dewangga sukai dan sangat Dewangga rindukan untuk saat ini.

Jika Tuhan mengizinkan semuanya bisa diulang kembali, Dewangga akan memilih untuk mengulang kenangan disaat Ibu, Bapak, Simbah dan adik-adiknya masih ada, Masih bisa ia pandangi sacara nyata.

Laut Pasang, 1994 (SEASON 2)Where stories live. Discover now