Tekad Cio

8.9K 670 1
                                    

Ketika malam hari tiba, Gaudencio terbangun karena ingin buang air. Kondisinya memang sudah membaik, tapi dia masih harus tinggal di rumah sakit beberapa hari setelah dia sadar.

Rencana kepulangan Cio adalah pagi, Supir dan baby sister yang akan menjemputnya. Sama seperti di kehidupan yang lalu, Cio tidak memikirkannya lagi.

Di dalam kamar mandi, Gaudencio memperhatikan wajahnya yang belum dewasa, usianya.sekarang baru saja menginjak 15 tahun.

Tubuhnya terlihat lebih kecil karena memang dia jarang olahraga. Selain itu, tidak ada yang memperhatikannya, selain baby sister yang sudah mengurusnya sejak kecil.

Tubuhnya sedikit berisi terutama pada bagian wajahnya yang belum dewasa, masih terlihat lembut dengan buntalan di pipinya dan bibirnya merah.

“Oke, di kehidupan yang dulu aku selalu diganggu oleh boneka Anabel jelek itu, kali ini aku tidak akan membiarkannya!”

“Akan aku rebut semua yang seharusnya menjadi milikku.”

“Kecuali Papi, Cio tidak peduli.”

Bukannya mau jadi anak durhaka hanya saja dengan sifat ayahnya yang lebih mengunggulkan anak perempuan angkatnya, Cio rasa butuh waktu lama untuk membuat pria tua itu sadar.

Kalau, Anak cewek dan anak cowok itu gak ada bedanya, mereka bisa menggemaskan di mata orang yang tepat. Tunggu dan lihat saja, apa yang akan Cio lakukan sebelum dirinya mulai rutin olahraga dan membentuk tubuhnya.

Pagi harinya, baby sister datang menjemputnya. Dua kakaknya sedang sekolah dan Ibunya tidak dapat meninggalkan rumah karena katanya ayah sialannya itu, tidak ke kantor.

“Tuan muda, mari saya membangun membawa barang-barang anda.” Supir keluarga Ganendra berinisiatif ingin membantu.

*Tidak perlu, Cio bisa melakukannya sendiri.” Cio menolak, barang Cio tidak banyak, kan dia di rumah sakit cuma seminggu mana koma lagi.

Cio memperhatikan seorang Pria yang usianya tidak jauh berbeda dari ayahnya, Paman Tio. Yang mengurus Cio sejak masih kecil, Baby sister-nya.

Di kehidupannya yang dulu, Paman Tio juga ikut bersamanya meninggalkan pintu keluarga Garendra. Mungkin, Paman Tio sudah menangis histeris ketika tahu Cio mati bersama keluarganya.

Paman Tio hidup sendiri, dia tidak memiliki isteri dan anak. Itulah kenapa pria baik hati itu menghabiskan hidupnya untuk merawat Cio, dan menjaga anak majikannya itu.

“Tuan Muda sudah baikan? Apa masih ada yang sakit?” Paman Tio bertanya padanya.

Dia memiliki rasa khawatir di dalam hatinya, satu Minggu yang lalu dia hampir jantungan karena mendengar Cio dilarikan ke rumah sakit.

Cio dengan otak kecilnya, setelah pulang sekolah kabur dari supir lalu dengan nyali kecil, Cio melompat dari jembatan.

Untung saja ada orang baik yang lagi mancing Ikan di bawah jembatan, dia dengan sigap menolong Cio.

“Cio tidak apa-apa paman, maaf sudah membuatmu khawatir.”

“Anak nakal, jangan lakukan hal gila lagi. Mengerti?” Paman Tio mengelus kepala Cio.

“Em, baik paman.”

Ketika mobil sudah tiba di rumah, Cio memperhatikan halaman rumah yang bersih. Tidak seperti dalam ingatannya, yang penuh dengan darah dan mayat bodyguard.

“Paman, Gendong Cio dong. Cio capek jalan,” Cio mengulurkan tangannya dan memasang wajah memohon pada Tio.

Sedikit merasa heran, kenapa anak yang sudah dia asuh sejak kecil tiba-tiba  meminta di gendong? Padahal Cio anak yang mandiri, tidak manja.

“Paman...” panggilan Cio, membuat Tio sadar.

“Baiklah, ayo paman gendong.”

Cio tersenyum lebar sampai menampilkan gigi gingsul dan gigi kelincinya, “Hore...”

Tio hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Cio, dia kemudian menggendong Cio seperti koala.  Dan membawa Cio masuk kedalam rumah, smrnetara supir membawa barang Cio yang ada di mobil.

“Nyonya...”

Karina menoleh ketika mendengar Tio memanggilnya. Dia sedang memasak untuk makan siang keluarga, “Apakah dia tidur?”

“Em, Tuan muda sepertinya sedikit.lelah.”

“Baiklah, kalau begitu bawa dia ke kamarnya untuk istirahat.”

Karina hanya bisa memperhatikan Tio yang dengan bebas bisa menyentuh putra bungsunya, Karina juga sebenarnya mau tapi apa daya Theo selalu melarangnya.

Pria itu akan marah kalau Karina ketahuan mengurus Cio.

“Baik Nyonya...”

Cio terlelap dalam gendongan Tio, bisikan lembut terdengar di telinga Tio; “Mami...”

“Nyonya, lihatlah Putramu dia tetap menyayangimu...”

Karina tersenyum dan menangan air matanya, itu benar Cio adalah Putranya, putra bungsu kesayangannya, “Mami juga sayang Cio...”

Pada pukul 15.00 sore, rumah menjadi begitu ramai karena anak sekolah baru saja pulang. Leon yang paling pertama berlari masuk kedalam mansion, kemudian di susul oleh Michael dan Ara yang ada dalam gendongannya.

Sebenarnya Michael malas, tapi kalau dia gak lakukan, gadis itu akan merengek pada papinya lagi..

“Mami, Adek mana?” Leon bertanya pada maminya yang sedang membaca majalah di ruang santai.

“Di kamar, kamu mandi dulu biar wangi. Terus bawakan makanan, Adek belum makan siang karena sejak tiba dia langsung tidur.”

“Oke, Mami.”

Setelah itu, Leon meninggalkan ruang santai dan langsung pergi. Dia sama sekali tidak melirik seorang pria tua yang dari tadi duduk di samping Mami Karina.

Puk!

Theo di buat terkejut lagi, dia belum selesai berpikir kenapa putra keduanya tidak meliriknya dan sekarang dia jurus menerima buntalan berat dari Putra sulungnya.

Michael melempar tubuh Ara ke pangkuan Papinya, kemudian dia pergi menyusul Leon.

Apa yang barusan terjadi?” pikir Theo.

“Mami... Papi... Hiks, tadi disekolah Ara di ganggu tapi kakak gak mau nolongin adek.”

“Cup...Cup...udah, baby jangan nangis. Nanti cantiknya hilang, nanti Papi marahin mereka...”

Wajah Ara berbinar dengan senang, “Beneran papi?”

“Iya, sayang...”

Karina yang duduk disamping sudah menutup majalahnya dengan kasar. Dia mau muntah tapi gak sopan muntah depan suami, makan hati dia tuh.

Arabella itu anak angkat, gak ada ikatan keluarga, suka manja Sama Theo. Dalam pikirannya Karina seperti melihat seorang gadis muda yang mencoba merayu suaminya!

Dari pada terus-menerus kesal, Karina memilih buat pergi dari sana. Dia menuju ke ruang makan dan menemukan putra-putranya sedang makan.

Lebih tepatnya, si bungsu yang di apit oleh dua kakaknya. Tadi rencananya mau makan di kamar seperti biasa, tapi Cio menolak dan ingin makan di meja makan saja.

“ Apa sih kalian, biasanya juga gak peduli sama Cio udah makan atau belum. Kenapa sekarang tiba-tiba paksa Cio makan?”

Sebagai bungsu yang di abaikan di kehidupannya yang dulu, Cio menjadi kesal. Ada angin apa sampai kelakuan kedua kakaknya agak Laen?

Pusing dia tuh, mereka berdua gak rebirth juga kan?

“Udah adek menurut saja, jangan bantah. Sekarang makan sayurnya, Buka mulut...Aaaa” Leon bicara sambil menyodorkan sesendok capcay ke mulut Cio.

Cio cuma bisa menatap horor sayuran hijau itu!

Cio membuka mulutnya dengan terpaksa tapi saat Capcay itu berhasil masuk, Cio memuntahkannya lagi;

“Hoek...Cio doesn't like Vegetables!”

GaudencioWhere stories live. Discover now