49

961 52 11
                                    

Larine terbangun dengan perut yang melilit sakit. Sangat sakit. Ia berlari ke kamar mandi dan menyiram kedua kakinya dengan air dingin.

Walau cuaca sedikit lembab ia merasa tubuhnya kedinginan luar biasa. Perlahan ia melihat ke bawah dan ada beberapa tetes darah mengalir di kakinya. Dengan cepat ia melepas pakaian dalamnya dan menemukan bahwa ia memang sedang mendapatkan tamu bulanannya .

Ini adalah masalah besar untuknya. Sejak remaja, ia selalu kesulitan saat menstruasi. Perutnya akan melilit sakit bahkan hingga pinggangnya selama beberapa hari. Itulah sebabnya ia harus minum beberapa pil pereda nyeri dengan resep dokter.

Dengan memegangi perutnya ia berjalan ke pintu dan menggedor.

"Tolong buka pintunya. Aku ...Aku tidak baik-baik saja. Tolong! Hanya sekali ini!".

Jerit Larine dengan seluruh tenaganya. Ia betul-betul memohon belas kasihan orang di luar pintu. Namun pria penjaga itu sama sekali tidak peduli. Ia pikir Larine sengaja melakukan trik untuk lari dari sana.

Entah sudah berapa lama dan tidak ada hasil sama sekali. Ia kemudian beringsut dan kembali ke ranjang. Ia tidak tahu apakah ini adalah malam atau siang. Ia tak pernah melihat sinar matahari.

Larine memutuskan untuk mandi dan mencuci dress yang Ia gunakan. Kemudian mengambil sprei dan melilitkan itu di tubuhnya. Perutnya kembali melilit sakit. Ia butuh air panas.

Tak ada makanan atau pun roti seperti biasanya. Ia kembali menangisi nasib sial yang menimpa dirinya.

Matanya terus menatap ke arah pintu namun tidak ada apapun yang muncul di bawah daun pintu. Ia terpaksa pergi ke kran kamar mandi dan minum sedikit air dari sana.

Rasa pening membuatnya semakin menderita. Ia akan pingsan sekarang. Ia sangat lapar ditambah lagi dengan perutnya yang terus sakit karena begitu banyak gumpalan darah yang keluar. Ia bersandar di kepala ranjang untuk menopang tubuhnya. Hingga kegelapan itu datang.

Dalam tidurnya ia bermimpi tentang Sena dan Carl. Mereka terus memanggil namanya dengan wajah penuh senyuman. Dalam keadaan setengah sadar Larine terbangun dan turun dari ranjang. Ia melangkah menuju kamar mandi dan masuk ke dalam bak yang penuh berisi air. Ia tersenyum dan membenamkan dirinya.

Seketika air di bak itu berubah merah karena bercampur darah. Larine yang tidak sadar terpejam di dalam bak. Bukan tidur karena mengantuk. Ia tertidur karena kesakitan dan rasa putus asa yang luar biasa. Dalam hatinya ia berharap bahwa tangan malaikat maut akan segera menjemputnya sekarang.

Dua pengawal yang bersamanya semalam berada di club. Mereka mabuk dan menghabiskan waktu dengan perempuan bayaran di sana. Mereka sama sekali tidak ingat tentang Larine karena memang Tuan besar tidak menelepon sama sekali.

***
Frank baru saja terbangun karena alarm berbunyi. Ia segera bergegas menuju kamar tidur. Ia berpikir untuk pergi ke kantor agar menghindar dari Elena setelah apa yang terjadi semalam.

Namun ia terkejut saat membuka pintu. Elena tidak ada. Ia pergi ke kamar mandi tapi istrinya itu juga tidak ada di sana. Hari masih pagi dan Frank cemas. Elena tidak pernah bangun pagi hari.

Mungkin ia pulang ke mansion.

Pikir Frank. Ia memutuskan untuk tidur sebentar lagi. Ia engambil telepon rumah dan menelepon Theodor untuk membawa sarapan dan juga ponsel baru untuknya.

"Sebaiknya Anda memulihkan diri beberapa hari lagi. Tuan Mayer membantuku mengurus beberapa hal".

Kata Theodor begitu tiba di Central. Ia menyiapkan sarapan untuk Frank.

"Ayah?".

Theodor mengangguk.

"Bukan hanya di perusahaan milikmu tapi juga di perusahaan keluarga Mayer. Bahkan aku dengar dari beberapa petinggi perusahaan bahwa Nyonya akan bekerja sebagai wakil direktur".

Kening Frank berkerut tapi ia belum menemukan alasan yang tepat untuk apa yang dilakukan Tuan Mayer. Setelah sarapan ia memasang sim Card di ponsel yang baru dan memeriksa tiap pemberitahuan yang masuk. Ia masih berharap bahwa di antara deretan notifikasi itu ada nama Larine di sana.

Frank mendesah kecewa sambil memakai jasnya. Keduanya berangkat ke kantor.

Begitu tiba di sana ia terkejut melihat ruang tambahan di dekat kubikel Theodor.

"Apa ini?".

"Aku rasa...ini ruangan Wakil Direktur".

Jawab Theodor sambil menunjuk sebuah papan nama yang terbuat dari kaca bertuliskan Wakil Direktur.

"Gila!".

Desis Frank lalu menghempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya. Ia mulai memeriksa tumpukan dokumen sambil terus melihat ke pintu bahwa Elena akan muncul sekarang. Ia butuh penjelasan tentang ini semua.

Hari sudah siang namun Elena tidak juga muncul. Frank akhirnya memutuskan untuk menelepon istrinya. Panggilan itu masuk tapi tidak dijawab. Ia melakukannya berkali-kali sampai kemarahan datang. Ia pergi ke kantor ayah mertuanya.

"Kau datang?".

Sapa Tuan Mayer dengan tenang seperti biasanya. Frank mencoba mengendalikan dirinya. Ia duduk dan memijit pelipisnya.

"Kalau kau masih sakit, kau boleh beristirahat".

"Ayah...".

"Apa ada yang ingin kau katakan?".

Frank menggigit bibir dalamnya. Ia kenal betul sifat Tuan Mayer.

"Kenapa Elena harus bekerja di kantorku? Ayah tahu aku sama sekali tidak suka".

Tuan Mayer terkekeh. Ia datang dan duduk di hadapan Frank.

"Kenapa? Bukankah kalian suami istri? Lagi pula selama ini kau terlalu sibuk hingga tak punya waktu untuk keluargamu. Ayah hanya ingin kalian berdua selalu bersama. Apa kau keberatan? Elena lulusan terbaik dari Yale. Kau tak usah ragu".

Frank ingin protes namun ia tahu keputusan mertuanya adalah sesuatu yang mutlak. Ia tak akan bisa mengubahnya.

"Baiklah. Aku harus pamit sekarang. Maaf telah membuat ayah sibuk".

Frank berbalik menuju pintu namun sebelum membuka pintu ia berbalik.

"Elena tidak masuk kantor hari ini".

"Kau suaminya dan kau pasti tahu dimana dirinya".

Balas Tuan Mayer datar. Frank merasa janggal dengan intonasi suara Tuan Mayer.

Apa Elena telah menceritakan apa yang terjadi tadi malam?

Frank berjalan menuju lift di ujung lorong.

Tuan Mayer masih berdiri di jendela besar. Matanya berkaca-kaca  saat melihat foto pernikahan Frank dan Elena.

"Kau telah melewati batas Frank. Kau menyakiti putriku. Kau menyakiti aku!".

Ponselnya berdering dan ia segera menjawabnya.

"Tuan... wanita ini bunuh diri! Ia membenamkan dirinya dalam bak!".

"Bagaimana bisa terjadi? Kirimkan fotonya sekarang!".

"Kami...kami takut menyentuhnya!".

"Kalian akan membayarnya sialan!".

Tuan Mayer segera menelepon anak buahnya yang lain untuk pergi ke tempat penyekapan Larine. Ia sedikit gelisah.

Bagaimana jika Larine benar-benar mati?

Tuan Mayer bergegas keluar dari kantornya. Ia langsung menuju hanggar. Ia telah meminta anak buahnya untuk menyiapkan penerbangan ke Inggris. Ia harus memastikan kondisi Larine dengan matanya sendiri.

Semoga ini bukan kesialan...


➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️

SECOND HOME (TAMAT)Where stories live. Discover now