13. Meminta Pisah Atap

1.1K 33 0
                                    

Ketika Riandi pergi dan tubuhnya tak terlihat, Hanin menghembuskan napas panjang. Ia yakin, setelah ini ia pasti akan kesulitan untuk tidur. Ternyata benar saja, sudah 1 jam lamanya mencoba untuk mencoba memejamkan mata, hasilnya sama saja. Dia tidak bisa tidur.

Hanin memegang bibirnya yang sempat Riandi kecup tadi. Suasana rumah sangat sepi, mungkin Riandi dan Nadine sudah berangkat, keduanya asik menghabiskan waktu berdua.

Hanin hanya mampu berdiam diri, sembari menatap langit-langit kamarnya.

Ia meremas seprai sekuat tenaga, menyalurkan rasa sakit yang mendera hatinya. Hanin meringis, kala merasa nyilu di bagian perutnya.

Sebenarnya ada apa dengan perut Hanin? Mengapa rasa nyilu itu selalu terasa?

"Sakit...sebenarnya aku punya penyaki apa? Mengapa perutku selalu sakit? Ini bukan sakit karena jahitan, rasa nyilu ini adalah rasa sakit lain."

Dengan tangan yang gemetar, Hanin mengambil obat di nakas. Sesuai obat yang di resepkan Nadine, itu adalah obat pereda agar rasa nyeri pada perut Hanin berkurang.

Setelah di minum, Hanin menyandarkan kepalanya di kepala ranjang dengan wajah di basahi peluh keringat.

"Apa aku harus mengakhiri hubungan ini saja dan membiarkan Mas Rian bahagia dengan istri barunya?"

Sadar apa yang sedang ia ucapkan salah, Hanin merutuki dirinya.

Sementara itu di pusat perbelanjaan, Riandi dan Nadine sedang berjalan beriringan mengelilingi sekitaran Mall. Entah apa yang akan di beli oleh Nadine, sedari tadi mereka hany berkeliling saja.

Tentu Riandi kesal, ia ingin segera pulang karena pikirannya tidak tenang, karena terus memikirkan Hanin. Harusnya ia tidak meninggalkan Hanin di kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja.

Apalagi di rumah tidak ada siapa-siapa, kecuali satpam yang sedang menjaga.

"Sebenarnya apa yang akan kamu beli? Kenapa sedari tadi kita terus berkeliling saja,  Nadine?" tanya Riandi.

Nadine yang merasa senang, senyumnya jadi luntur. Menghabiskan waktu berdua bersama Riandi adalah hal yang Nadine tunggu-tunggu, hari ini Nadine merasa senang karena Riandi menuruti keinginannya.

"Nggak tau, Mas. Mau lihat-lihat dulu aja. Kamu kenapa sih? Kelihatan resah banget dari tadi." Nadine bertanya selidik.

Raga Riandi bersama dengannya, tapi pikiran Riandi entah dimana. Dari perjalanan saja Riandi diam saja, sesekali menimpali. Itu pun Nadine yang membuka topik pembicaraan. Padahal saat di rumah, Riandi mau-mau saja jalan dengannya.

"Aku khawatir dengan Hanin, aku tidak tenang meninggalkan dia sendirian di rumah." Sudah Nadine duga, jika diamnya Riandi ternyata sedang memikirkan Hanin.

Nadine bertanya-tanya, kenapa Riandi secinta itu pada Hanin yang jelas-jelas tidak bisa memberikan keturunan? Lagian sekarang Nadine juga istrinya. Nadine merasa Riandi selalu saja memprioritaskan Hanin di bandingkan dengan dirinya.

Wajar Nadine cemburu, jika Riandi terus saja memprioritaskan Hanin. Kecil kemungkinan bagi dirinya untuk merebut hati Riandi kembali.

Tapi tidak apa, Nadine akan berusaha agar Riandi jatuh cinta lagi padanya.

"Nggak usah berlebihan deh, Mas. Kamu lihat sendiri 'kan kalau Hanin tidur lagi? Aku nggak suka ya kamu bahas-bahas dia terus. Aku juga istri kamu, Mas!" gerutu Nadine.

Riandi mendelik, setiap kali membahas Hanin, selalu saja begitu respon Nadine.

"Hanin juga istriku, kamu nggak berhak mengaturku. Jika bukan karena Oma, aku lebih memilih Hanin dari pada kamu." Dada Nadine bergemuruh. Sakit rasanya.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Место, где живут истории. Откройте их для себя