46

988 38 7
                                    

Elena baru akan merebahkan diri di ranjang saat ponselnya berdering. Dengan malas ia bangun dan mengambil ponsel di meja rias. Ia melihat nama Derek di sana.

"Larine menghilang!".

"Apa maksudmu?".

Derek menceritakan apa yang terjadi tadi siang saat ia keluar untuk membeli makan siang.

"Dan kau baru memberitahu aku?".

"Aku masih mencarinya namun ia seperti lenyap ditelan bumi. Ini aneh".

"Jika Frank tahu ini akan menjadi masalah besar. Semua ini karena tindakan bodohmu! Andai saja kau tidak menculiknya ini tidak akan terjadi! Aku... aku tidak mau tahu. Apapun yang terjadi cepat temukan dia...".

"Bukankah ini baik untukmu? Rumah tanggamu akan aman tanpa wanita itu. Untuk apa mencarinya? Coba pikirkan baik-baik!".

Ucapan Derek membuat otak Elena tiba-tiba sadar akan sesuatu. Sebuah senyum kemenangan terbit di ujung bibirnya. Bukankah perkataan Derek benar? Tapi bagaimana jika Frank menggila?

"Terserah padamu. Tapi jika ke depan Frank menemukan sesuatu, aku tidak mau terlibat. Aku akan tutup pembicaraan ini. Dan...jangan hubungi aku lagi kecuali jika ada kabar tentang Larine ".

"Baik Nyonya Jensen. Jangan lupa transferan. Atau traktir aku".

Elena memutus sambungan telepon dan meremas ponselnya kuat-kuat.

Apa aku harus senang?

Ia duduk di ranjang dan menimbang apakah ia harus memberitahu ayahnya atau tidak. Mengingat pertemuan terakhir mereka, ia tahu seberapa besar kasih sayang ayahnya untuk Larine.

Di tempat terpisah...

Larine baru saja membuka matanya. Penutup matanya sudah tidak ada. Ia menggerakkan tangannya dan ia heran karena kedua tangannya tidak terikat.

Matanya menatap ke sekeliling dan mendapati dirinya di dalam kamar. Walau tidak terlalu luas tapi ruangan ini bersih dan terawat. Tidak seperti ruang penyekapan sebelumnya.

"Hallo?".

Larine mencoba bicara namun kerongkongannya tercekat. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Ini adalah efek bius. Namun ia tidak tahu.

"Apa ada orang di sini?".

Masih sepi. Dengan sedikit keberanian ia bangun dan menurunkan kedua kakinya di lantai. Kemudian berdiri dan berjalan ke pintu. Saat tangan mencapai handle pintu , itu terkunci.

"Tolong buka pintunya! Seseorang tolong buka pintunya!".

Teriak Larine beberapa kali hingga ia putus asa dan terduduk di lantai. Ia memandang gaun yang ia kenakan. Itu masih baju yang sama saat ia berangkat dari Paris.

"Tolong aku...aku hanya ingin pulang...".

Larine menangis dalam ketakutan. Ia benci pada dirinya sendiri karena tidak ingat apapun. Ia hanya bisa mengingat aroma parfum dari dua pria yang membawanya. Larine berdiri dan pergi ke jendela. Ia berusaha membuka jendela namun tidak bisa.

Tiba-tiba saja perutnya kram. Larine meringis sambil memegang perutnya.

Tidak! Jangan sekarang!

Protes Larine dalam hati. Ia ingat bahwa bulan ini ia belum menstruasi. Kepalanya menggeleng kuat.

Sebuah ketukan di pintu membuatnya terkejut setengah mati. Kemudian ia melihat sebuah bungkusan didorong dari bawah daun pintu. Dari aromanya Larine tahu itu adalah roti.

SECOND HOME (TAMAT)Where stories live. Discover now