• Jump •

1 1 30
                                        

"Suasananya sejuk sekali ya." Lia menoleh melihat sosok laki-laki berdiri menatap dirinya.

"Sedang melakukan apa disini?" Laki-laki tersebut mendekat hingga tepat di depan tubuh Lia yang sedang terduduk.

"Melihat pemandangan dari atas rooftop saja, memang tidak boleh?"

"Siapa bilang tidak? Hanya saja saya ragu alasan kamu hanya itu." Lelaki tersebut duduk di samping Lia, memandang wajah Lia dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

"Hanya bosan berada di rumah sakit, sakit terus sembuhnya tidak tahu kapan," ujar Lia sembari menghela nafas.

Lelaki tersebut diam membuat Lia kebingungan, "namamu siapa?"

"Juna, penderita penyakit diabetes akut." Lia mengangguk paham, Juna sama sepertinya namun dalam penyakit yang beda.

Lia mengidap penyakit tumor otak sejak beberapa tahun yang lalu, "sejak kapan?"

"Sejak kecil, turunan dari Ibu."

Dan sunyi, hanya ada hembusan angin sejuk yang membawa mereka tenggelam pada pemikiran masing-masing.

"Jangan bunuh diri." Juna secara tiba-tiba memegang erat tangan Lia, matanya memancarkan rasa takut akan kehilangan.

"Kenapa?"

"Tidak baik, itu akan membuat orang yang kamu sayang menderita. Ibu saya seperti itu meninggalkan saya seolah saya bisa tanpa dia." Lia menatap mata Juna, penuh rasa sedih dan duka.

Lia melepaskan tangan Juna yang memegang erat tangannya, menepuk pundak Juna dan tersenyum menyakinkan bahwa Juna begitu hebat.

"Saya sempat berpikir seperti itu, karena daripada terus-menerus sakit kenapa tidak sekalian mati saja," ujar Lia, matanya mulai berkaca-kaca namun berusaha untuk tak menangis.

"Kamu bilang bila kita bunuh diri itu akan menjadi derita bagi orang yang kita sayangi bukan? Saya bingung memangnya siapa yang menyayangi saya?" Tak kuat, Lia tak kuat menahan air mata. Tubuhnya direngkuh untuk bersandar di bahu Juna.

"Dulu, kakak ada memberi saya kasih sayang setelah ayah dan bunda memutuskan untuk berpisah dan melepas tanggung jawab pada kita tetapi setelah kecelakaan 5 tahun lalu tidak ada yang menyayangi saya," jelas Lia, tangisnya sudah pecah, dadanya terasa sakit saat menjelaskan.

Juna mengelus surai rambutnya, berusaha menenangkan orang asing yang ia temui.

"You are great, we are great. Please don't decide to end your life no matter how hard your problems are." Juna mengelus punggung Lia, Lia mengeratkan pelukannya, Lia rindu dipeluk.

Dan disanalah kisah mereka dimulai, menjadi teman dan sahabat yang saling mengerti. Tak membiarkan satu sama lain kesepian bahkan sedih, bersama-sama, mereka akan selalu bersama-sama dimanapun juga.

"Juna!!" Teriakan Lia tak dihiraukan, Juna melompat tak mempedulikan siapapun lagi.

Lia berlari dan terduduk sembari melihat Juna yang sudah mati di bawah penuh darah.

"Pembohong." Air mata Lia jatuh dengan segera kakinya pergi melangkah dari rooftop menuju tempat Juna jatuh.

"Juna ...." Lirihnya mendekati mayat Juna, memangku tubuh yang sudah penuh dengan darah, memeluk tubuh tersebut dengan tangis yang sudah pecah.

"Kamu yang bilang untuk jangan mengakhiri hidup tetapi kenapa malah kamu yang melakukannya? Pembohong sekali."

Dan sudah matilah jiwa sekaligus raga milik Juna Prawira, Lia masih berada di pemakaman saat semua orang sudah pergi meninggalkannya. Lia memeluk nisan tersebut erat-erat, ia masih tak percaya Juna melakukannya.

"Kita selalu bersama-sama, Jun. Izinkan aku untuk mengikutimu."

Di atas jembatan, pagi buta Lia berdiri menatap derasnya air sungai. Matanya berseri-seri, senyumannya terlihat.

"Juna, sampai jumpa." Lia melompat dari jembatan menuju derasnya aliran sungai, membiarkan tubuhnya jatuh menimpa bebatuan.

Kini sudah hilang segala rasa sakit yang mereka rasakan dan terima begitu lama, Lia Ayudia dinyatakan meninggal dunia tepat sehari setelah Juna Prawira dimakamkan.


'Mereka bersama-sama dan selalu sama. Rasa sakit dan kematian, melompat untuk mencari ketenangan dan mati agar tak merasakan kesakitan. Selamat jalan, Juna Prawira dan Lia Ayudia.'

- The End -

•Dream• Where stories live. Discover now