• Mimpi (JaeminGiselle) •

84 5 21
                                        

Giselle kabur dari rumah saat hujan deras karena suatu masalah di rumahnya, dia duduk termenung dengan badan basah kuyup di pinggir jalan sebelum akhirnya bertemu dengan seorang pria yang memayungi dirinya.

"Jangan bermain hujan walau itu menyenangkan." Dibalik payung yang menutupi Giselle, dia berbicara.

"Lo nggak tau apa-apa, jadi pergi sekarang!" Giselle berdiri, tatapan mereka bertemu sementara sebelum akhirnya Giselle kembali berlari entah kemana.

"Hujan, lihatlah banyak orang yang kau buat nyaman dan menangis saat kau datang." Dia memandang sejenak gadis tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan kemudian berjalan pergi meninggalkan tempat.

Keesokan harinya, Giselle mendengar berita bahwa akan ada anak baru di sekolahannya, sebenarnya ia tak penasaran, tetapi lantaran mengikuti temannya yang tukang kepo, ia akhirnya tahu. Anak baru tersebut adalah si pria aneh yang tadi malam memayungi dirinya, pria aneh tersebut bersama dengan saudaranya. Namanya Jenan Aditya Bagaskara dan saudaranya bernama Haekal Putra Pratama.

Saat pertemuan kedua mereka di sekolah, Giselle maupun Jenan terus-menerus bertengkar dan bertaruh apalagi saat mengetahui mereka berdua adalah pebalap. Saat malam tiba, mereka akan melakukan balapan hingga waktu berlalu, mereka memutuskan untuk bersahabat.

Mereka bersama-sama setiap saat, bolos bersama, makan bersama, balapan bersama, hujan-hujanan bersama, telat bersama dan kenakalan lain yang juga bersama-sama.

Suatu hari Haekal dan Jenan bersamaan memukul guru untuk membela diri mereka yang akan dianiaya walau akhirnya mereka dikeluarkan dari sekolah. Jenan dan Haekal bingung dan berpikir bahwa di manapun mereka sekolah, mereka akan tetap menjadi nakal dan melakukan banyak hal tanpa aturan apalagi orangtua mereka sibuk bekerja di China dan tak terlalu peduli pada mereka.

Karena hal tersebutlah, orangtua mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mengirim Jenan dan Haekal ke China agar dapat lebih diawasi.

Jenan ingin mengucapkan selamat tinggal pada Giselle, tetapi entah mengapa rasanya begitulah sulit. Hingga suatu hari ia membuat rencana untuk mengajak Giselle balapan dengan taruhan bahwa yang kalah akan pergi dan yang menang akan mendapatkan traktiran.

Detik-detik perpisahan itu, mereka makan di sebuah restoran dengan sedikit candaan, Jenan terus menatap Giselle penuh artian sedangkan Haekal tahu apa maksud dari tatapan tersebut. Jenan telah menyukai Giselle sejak awal pertemuan mereka di sekolah.

"Kita akan pergi," ucap Haekal tanpa sengaja yang membuat Giselle mengerutkan alisnya terbingung. Namun, Jenan segera menyangkal perkataan Haekal sebagai candaan biasa.

Dua hari kemudian saat Giselle pergi ke sekolah, sejak ia datang ia belum melihat keberadaan Jenan dan Haekal, tetapi Giselle berfikir bahwa mereka pasti telat lagi. Namun, hingga pelajaran ketiga mendekati istirahat, mereka tak kunjung datang, Giselle kembali berpikir bahwa mereka sedang bolos sekolah. Namun, ada yang baru Giselle sadari bahwa di absen kelas tidak ada nama Haekal dan Jenan tertera di sana.

Giselle terbingung hingga akhirnya temannya yang lain menjawab bahwa Haekal dan Jenan sudah dikeluarkan dari sekolah. Giselle pun teringat tentang perkataan Haekal waktu terakhir kali mereka bertemu. Ia segera berlari tanpa mempedulikan sekitar bahkan teriakan para guru dan teman-temannya, saat di gerbang sekolah dia di cegat oleh para satpam yang menjaga, tetapi bukan Giselle namanya jika tidak hebat memanjat. Ia menggunakan sepeda miliknya dan terus mengayuh tidak peduli akan lelah, sekarang dipikirannya cuman satu yaitu Jenan dan Jenan hingga dia pun sampai di bandara.

Dia berteriak lantang memanggil nama Jenan dan Haekal tak menghiraukan siapapun di sana, hingga beberapa menit berlalu, Jenan dan Haekal tak kunjung mendatangi asal suaranya. Ia terduduk lemas di kursi tunggu sembari merutuki Jenan dan Haekal tanpa henti.

Kemudian, ada payung merah yang menutupi wajah Giselle yang segera membuatnya sadar bahwa pemilik payung ini sudah pasti milik Jenan Aditya Bagaskara.

"Aku tak jahat, Giselle. Hanya saja kita mungkin akan sulit untuk bersama." Sambil mengulurkan tangannya, dia dengan perlahan membantu Giselle untuk berdiri.

"Kenapa tidak bilang ingin pergi? Kenapa tidak pamit?!" Giselle dengan kesal memukul dada bidang Jenan dan menangis di dalam pelukannya.

"Jenan, aku tak ingin kehilanganmu, apa itu bisa dikabulkan?" Giselle menatap wajah Jenan, tetapi Jenan tak menjawab, ia hanya tersenyum.

"Jawab aku! Dasar bodoh!" Air mata Giselle tak berhenti keluar sedangkan Jenan perlahan mengusap air mata milik Giselle.

"Aku ada di sini bahkan jika aku pergi." Setelah itu tangisan Giselle semakin menjadi dan dadanya sekarang terasa begitu sesak.

"Jenan!!" Haekal memanggil dari kejauhan, tangannya membentuk isyarat untuk bergegas karena pesawat akan segera lepas landas, Jenan pun melepas pelukan Giselle dan perlahan mulai pergi menjauh.

"Jenan, aku suka padamu!" Teriak Giselle membuat Jenan terhenti dan membalikkan badannya sembari tersenyum. Giselle hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah yang memerah.

"Kau benar menyukaiku atau mencintaiku?" Kemudian dengan wajah tersenyum Giselle menjawab. "Kedua-duanya."

Jenan tersenyum kemudian berjalan perlahan dan menarik tengkuk perempuan yang lebih muda darinya hingga menyatukan bibir mereka berdua. Haekal yang melihat kejadian tersebut sungguh bangga terhadap adiknya.






- The End -

•Dream• Where stories live. Discover now