8. Katanya mati rasa?

400 62 27
                                    

Mata yang dulu menjadi medan magnet untuk ku terus melihat padanya kini berubah menjadi mata yang paling ku takuti untuk ku temui

Gulf POV

Dadaku sesak dengan menjadi-jadi. Bahkan aku meminta Mon untuk menjeda jadwal ku atau aku hanya akan terlihat kacau di depan pasien.

Aku selalu berupaya untuk sama sekali tidak peduli dengan kemunculannya lagi. Meskipun dia hanya diam tapi itu cukup menyakiti ku. Melihat sorot matanya yang sayu, aku menemukan luka ku disana. Mata itu, seolah dia tak berdaya, tapi mata itu yang terakhir kali ku lihat hari itu. Mata yang terus memintaku mempercayainya bahwa kami hanyalah sebuah kesalahan yang harus segera diakhiri.

Aku membencinya sejak hari itu. Sangat membencinya sampai mbuat tenggorokanku seperti tercekik setiap memikirkannya. Dengan mudahnya dia bersama orang baru dan jatuh cinta. Aku yang bodoh sampai tak pernah menyadari dia tidak lebih dari seorang maniak yang akan dengan mudah jatuh cinta pada orang baru.

Sedangkan denganku? Alih-alih memulai hubungan yang baru. Aku sudah mati rasa asal kamu tahu! Ini sangat tidak adil untuk ku. Seharusnya aku masih bebas jatuh cinta dan dicintai. Tapi siluetmu yang terus muncul di otak ku mengacaukan segalanya. Kemudian kamu semakin nyata ketika kamu tiba-tiba kembali.

Aku sangat ingin membunuhmu!!

Kreekk

Botol air mineral di tangan kanan ku berbunyi saat aku semakin erat menggenggamnya.

Namun berkat suara ini aku berhenti memikirkan hal gila itu.

Cukup. Aku tidak bisa membuang waktu lagi. Dia mengacaukan segalanya!

Aku meraih gagang telfon dan menekan extension meja kerja Mon.

["Kha, Dokter,"] sambut Mon.

"Kamu bisa melanjutkannya,"

["Kha,"]

Aku menarik nafasku panjang, mengangkat kedua tanganku ke udara untuk mengatur tubuhku yang seluruhnya tiba-tiba terasa kaku.

"Gulf belum selesai?" Aku mendengar suara Ben di luar sana.

"Belum Dokter Ben. Masih ada beberapa pasien lagi," jawab Mon pada Ben.

Otomatis aku melihat pada jam tanganku. Jam 12 siang? Apakah selama itu aku membuat stabil perasaanku?

Aku rasa tidak. Sepertinya waktuku habis karena orang brengsek itu kesetenan disini tadi.

Sebentar. Benar, orang itu mendadak berubah mengerikan lalu kembali bersikap biasa. Seperti ada kecemasan yang mencekiknya. Dia bipolar disorder. Serius? Apakah aku benar-benar harus menanganinya? Ckk, sial!

Aku meraih ponsel dan mengirim pesan pada Ben agar dia pergi makan siang bersama yang lain. Aku tidak ingin membuatnya menunggu lama.

Pesan terkirim dan bersamaan Mon masuk bersama seorang pasien perempuan. Oh rupanya Rose, pasien ini masih dalam pengawasanku. Dia perempuan muda berusia belasan yang hampir mengakhiri hidupnya setelah memutuskan berpisah dari pacarnya seorang anak pejabat kaya raya. Pertama datang beberapa bulan lalu dia sangat trauma karena mendapat teror dan ancaman akan keselamatannya dan keluarganya. Tak hanya itu video panasnya tersebar di media sosial membuatnya semakin terpuruk dan takut dengan orang lain. Seorang Dosen membawa Rose ke rumah sakit ini dan memintaku menyelamatkan Rose yang depresi parah saat itu.

Sekarang Rose terlihat lebih cerah. Aku tidak mengatakan aku berhasil membantu Rose, itu semua karena Rose memiliki semangat yang bagus untuk bisa memaafkan dirinya sendiri dan masa lalunya.

BACK TO YOU Where stories live. Discover now