Mobil Nala berhenti di depan gerbang besar apartemen baruku. Aku baru pindah hari ini. Karena apartemen yang lama sudah diketahui banyak wartawan dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Makanya aku pindah. Meski apartemen ini tidak terlalu mewah dibanding yang sebelumnya, bahkan aku yakin di sini tidak akan ada artis dan wartawan yang kutemui. Letaknya agak di pinggiran kota. Nggak masalah apartemen biasa saja yang penting aku bisa tidur nyenyak, istirahat nyaman, tanpa buruan kamera wartawan atau fans yang berisik.

"Betul, nggak mau aku antar sampai dalam?"

"Nggak usah, kamu duluan aja."

Entah kenapa aku ngerasa bahagia banget hari ini, mungkin pertanda bagus. Seperti misalnya akan ketemu Rama hari ini.

Aku berjalan memasuki bagian depan gedung apartemen, seorang resepsionis memberi senyumannya padaku. Aku sudah meminta pada pengelola gedung untuk tidak membocorkan kalau aku tinggal di sini demi kenyamanan. Jadi aku masuk dengan kacamata hitam dan topi. Mirip buronan sih, tapi ini demi kebaikanku juga. Bahkan untuk jaga-jaga Nala sudah membuat surat perjanjian pada pihak apartemen untuk tidak membocorkan tempat tinggalku sekarang pada publik.

Saat hendak menekan tombol lift, secara bersamaan ada tangan lain juga yang ingin menekan tombol lift. Aku sempat kaget saat sadar tangan itu terasa besar dan kekar saat menyentuh ujung jariku. Aku harus sedikit mengangkat kepalaku, karena laki-laki di sebelahku cukup tinggi. Pakaiannya sangat kasual, kaos oblong biru dongker dan celana jeans hitam pudar.

"Maaf. Kamu mau naik juga?" Aku mencoba akrab dengan sedikit basa-basi ke sesama penghuni gedung apartemen yang sama.

Tapi dia tidak menjawab apa-apa. Wajahnya tampak cuek. Mungkin dia tidak mengenalku karena aku memakai kacamata hitam dan topi. Tapi tetap saja aku kesal dicuekin begitu. Apa dia nggak tahu kalau hampir semua laki-laki di negeri ini ingin aku jadi pacarku? Menyebalkan!

Kami masuk lift yang sama, bahkan dia masuk duluan. Bukankah harusnya dia menyilakan aku untuk masuk duluan? Memang laki-laki serba berantakan yang tidak tahu sopan santun. Ini memang bukan apartemen mewah jadi wajar saja ada laki-laki urakan di sini. Laki-laki itu pasti akan menyesal saat tahu siapa gadis yang dia cuekin saat ini. Tanpa sadar aku terus menatapnya yang berdiri di sebalahku sambil terus mengutuk dalam hati.

Dia sempat membalas tatapanku beberapa saat, tapi tidak memberi respon sedikit pun. Yang lebih menyebalkan lagi dia malah menyalakan sebatang rokok di dalam lift. Astaga, benar-benar tidak tahu aturan! Aku buru-buru mengambil masker dari tas dan memakainya. Dia menatapku dengan tatapan sinis. Aku membuka kaca mata hitamku tapi sepertinya tidak memberi efek apa pun. Dia seperti berasal dari negeri antah berantah dan tidak mengenaliku. Jahatnya, dia malah meniupkan asap rokoknya tepat ke wajahku, hingga aku terbatuk-batuk, tepat beberapa detik sebelum pintu lift terbuka.

Ternyata kami turun di lantai yang sama, lantai 11. Aku ingin memarahinya, tapi di apartemen ini memang tidak ada larangan untuk merokok karena gedung didesain dengan banyak ventilasi udara. Dia berjalan dengan santainya, tangan kirinya dimasukan dalam saku celana dan tangan kanannya memegang rokok. Aku bersumpah bahwa Rama tidak mungkin seberantakan itu!

"Kenapa kamu ngikutin aku terus?" Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Aku berjalan kira-kira dua langkah di belakangnya, dan saat dia berhenti hampir saja aku menabrak punggungnya. Untung saja refleksku cepat menghentikan langkahku juga.

Dia berbalik, menatapku.

Setengah melotot kesal aku balas menatapnya. "Siapa yang ngikutin kamu?"

"Ya kamu, siapa lagi?"

"Hei! Aku mau ke apartemenku. Nih lihat, aku tinggal di apartemen no 1156."

"Oh ya? Aku di 1155."

"Sudah jelas kan, aku nggak ngikutin kamu!"

"Oke. Tapi aneh juga artis setenar kamu mau tinggal di apartemen biasa begini."

Aku mendengus kesal, "Bukan urusanmu!"

"Haha... oke. Aku masuk duluan. Ngomong-ngomong ini pertemuan kita yang kedua ya? Sepertinya setelah ini kita bakal lebih sering ketemu lagi, tetangga sebelah."

"Hih! Siapa sudi ketemu lagi sama orang kasar berantakan aneh dan jelek kayak kamu!" Entah dia mendengar atau tidak teriakanku barusan, karena dia langsung masuk ke dalam apartemennya dan menutup pintunya dengan kasar.

Hm... sebenarnya dia cukup ganteng sih meski kulitnya sedikit gelap. Matanya tajam, alis yang cukup tebal dan tegas, hidungnya mungil tapi mancung, hm... bibirnya juga.... Lho! Aku ini mikir apa? Aku buru-buru membuka pintu apartemen dan masuk ke dalam.

Tapi, tunggu! Tadi dia bilang pertemuan kedua? Apa sebelumnya kami pernah bertemu? Ah, apa dia cowok berjaket hitam yang tadi pagi membantuku membawa kardus barang-barangku ke sini? Bukankah laki-laki itu bilang apartemennya di sebelah apartemenku. Tapi kenapa beda sekali. Ah, tidak! Pasti bukan! Cowok yang tadi pagi itu orangnya ganteng, rapi dan wangi, nggak kayak dia.

- bersambung -

Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang