3

210 70 5
                                    


Arif memasuki sebuah rumah makan mewah, ia diundang oleh Dito untuk suatu hal yang tak jelas, hanya undangan yang ia terima lewat telepon. Sedemikian pentingnya dia sampai diundang ke sebuah rumah makan mewah. Di sebuah tempat yang nyaman, duduk di sana seorang laki-laki dengan tinggi kisaran 180 dan berat badan yang proporsional, kulit putih, rambut tertata rapi, menggunakan kemeja putih dengan lengan pendek dan kancing paling atas yang dibuka hingga terlihat sekilas kalung yang ia pakai entah kalung kesehatan ataukah kalung berbahan emas putih. Berpadu dengan blue jeans dan sepatu santai yang semakin membuat penampilannya jauh dengan Arif yang lusuh karena baru selesai bekerja.

Tinggi mereka hampir sama bahkan lebih tinggi Arif, terlihat saat bersalaman hanya kulit tembaga Arif yang sangat membedakan keduanya selain penampilan yang pasti sudah terlihat jelas berbeda jauh.

"Silakan duduk Pak Arif."

"Terima kasih Pak, maaf saya tidak bisa berbasa-basi, ada permasalahan apa ya Pak hingga Bapak memanggil saya? Saya yakin ini tak ada hubungannya dengan perusahaan."

Terdengar suara tawa renyah Dito. Tak lama makanan datang.

"Silakan sambil di makan Pak Arif, saya yakin Pak Arif belum makan malam kan?"

"Iya Pak, terima kasih, saya memang lapar."

Dito tersenyum lebar, ia biarkan Arif menghabiskan makannya, ia pun menemani Arif dengan makanan pembuka, sementara di meja sudah tertata beberapa makanan yang sepertinya tak akan lama akan segera berpindah ke perut Arif.

"Bapak kok makan sedikit sekali? Bapak pasti menjaga penampilan, kalau saya mau makan seberapa banyak ya namanya kuli nggak akan gemuk banget Pak, maklum kerja keras bagai kuda."

"Habiskan dulu Pak Arif nanti kita lanjutkan pembicaraan kita."

.
.
.

"Kami tak berharap Akbar kembali, ibu bapakmu sudah cukup dibuat malu, janjinya pada kami hanya enam bulan dia akan kerja di ibu kota setelah itu akan kembali padamu, eh ini malah sampai kamu hampir lahiran, siapa yang tahu apa yang dia lakukan di sana? Jangan-jangan juga sudah nikah, mana kita tahu kan? Kalo dia laki-laki bertanggung jawab setidaknya kirimlah uang sama kamu, apa dia kira kamu dan bayi yang dia titipkan dirahimmu tidak butuh makan?"

Ibu Aryani, Sutina, terus ngomel dan mengoceh tak henti sambil melipat jemuran yang sudah kering.

"Masih untung kamu dapat laki-laki pengganti yang baik, baik pada bapak dan ibumu, ngasih uang ke ibu untuk berobat bapakmu, coba laki-laki lain? Termasuk laki-laki yang kamu cinta sampai kamu rela memberikan segalanya, mana mau dia peduli pada kami? Sudah tidak usah kamu urus perceraian kamu dengan Nak Arif, aku tak yakin Akbar akan datang, dia hanya akan berjanji dan berjanji, dasar laki-laki tak becus, bapakmu stroke juga karena mikir kamu, malu, punya anak perempuan kok tidak bisa menjaga diri. Ingat jangan diurus perceraian kamu!"

"Tapi Bu, Mas Akbar akan datang dan dia meminta sarat, aku cerai dulu sama Mas Arif baru dia akan pulang ke rumah ini." Suara Aryani terdengar memelas dan menahan tangis.

"Apa yang mau kamu tunggu dan harap dari laki-laki bajingan itu! Hah! Kalau dia bertanggung jawab dia tidak akan meminta macam-macam, dia akan datang ke sini, ke rumah ini, lihat anaknya yang semakin besar di perutmu! Kamu ini ya bodoh, kok percaya pada laki-laki tak waras itu, suru ke sini dia! Suru menemui ibu! Sudah bikin bapakmu stroke kamu ini masih saja nggak bisa berpikir jernih, tergila-gila pada laki-laki gila!"

Suara Sutina semakin meninggi lalu meninggalkan Aryani menuju kamar suaminya yang terdengar memanggilnya dengan suara tak jelas.

.
.
.

"Saya sudah menyangka, pasti Bapak memanggil saya karena Wulan."

Dito mengangguk. Ia menatap Arif sambil tersenyum.

"Pak Arif tahu banyak tentang Bu Wulan, iya kan?"

"Iya, kami cukup lama dalam satu tim, dia senior saya, cerdas, teguh pendirian, loyal pada perusahaan dan yang pasti dia wanita hebat yang punya prinsip hidup. Sekali dia tak mau pada Pak Andar, seperti apapun usaha laki-laki itu dia tetap tidak mau, hingga akhirnya laki-laki itu mati mengenaskan. Dan saat ini kita, saya dan Bapak sama-sama suka pada wanita yang sama, iya kan Pak?"

Dito lagi-lagi hanya tersenyum dengan lebar.

"Dia berkali-kali mengatakan pada saya jika dia tak akan menikah lagi, karena berurusan dengan laki-laki hanya akan membuat hidup dia sengsara, dia tak mau itu lagi Pak, nah ini yang ingin saya buktikan jika saya tak akan membuat hidupnya ribet lagi, tapi masalahnya urusan hidup kita sudah cukup ribet Pak, saya dengan istri yang tak saya kehendaki karena ternyata sudah hamil dengan laki-laki lain, dan Bapak yang meski sudah bercerai tapi urusan anak kan Bapak masih saja ada sengketa sama mantan istri Bapak kan? Malah kayaknya istri Bapak pingin balikan lagi sama Bapak. Nah ini yang akan membuat kita jadi laki-laki merana dan ditolak Wulan mentah-mentah."

"Bu Wulan tahu semua tentang saya?" Wajah Dito terlihat menatap Arif tanpa senyum.

"Pak, segala macam gosip jelek akan cepat beredar tanpa kita minta, sama kayak Bapak tahu permasalahan hidup Wulan, ya seperti itu juga Wulan tahu tentang Bapak, makanya kita, Bapak dan saya harus bersaing dengan sehat karena yang kita inginkan wanita yang sama. Bapak harus adil, jangan main kekuasaan Bapak misal saya dimutasi ke mana gitu agar jauh dari Wulan nah itu tidak boleh Pak. Mari kita bersalaman agar kita menaati rambu-rambu persaingan dengan sehat, dan salah satu dari kita harus sabar dan tabah saat Wulan menjatuhkan pilihan atau bahkan kita sama-sama tak terpilih."

Dan Dito terkekeh mendengar ucapan Arif, keduanya bersalaman sambil melanjutkan obrolan.

🌺🌺🌺

1 Oktober 2023 (05.32)

Mencari Ujung Jalan (Sudah Terbit)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon