2. ALBARA BUMI DIAKSARA

322 17 0
                                    

   Sekali menyukai langit, harus
  Terima panas dinginnya cuaca.—Albara Bumi.D
                                         
                                       🪐

"Ada urusan apa lo sama Aleanora?" tanya Kanaka saat Albara sudah sampai di Markas. Selain markas di Jakarta, mereka juga memiliki markas di bandung. Lebih tepatnya warisan Albara yang di buat markas. Mengapa mempunyai warisan di Bandung? Entahlah, yang jelas papanya memberikan kepadanya.

"Gapapa."

"Yakin?" Kanaka tersenyum miring,ia tahu apa yang Albara rasakan. Albara hanya diam, ia memilih fokus dengan gamenya.

Albara menatap nomor Aleanora, setelah ia keluar dari aplikasi game tersebut, memilih membuka WhatsApp. Bagaimana ia bisa dapat? Jawabnya ia meminta pada Kaivan.
                                       
                                           🪐

Aleanora, perempuan penyuka bola. Gadis itu tengah berdiam di balkon kamarnya. Sambil laptop yang ada di depannya. Ia sedang menonton pertandingan  bola kebanggaannya. Julukannya perempuan penyuka bola, jelas lah hobinya menonton bola.

Ia berbeda dari perempuan lain, jika mereka menyukai drama Korea. Maka ia lebih milih menyukai dunia bola, katanya,'drakor memang seru, tapi bola lebih seru.'

"Ra!" panggil Natan, abangnya.

"Apa?"

"Lagi apa?"

"Lo gak liat?" tanyanya dengan malas. Natan hanya menyengir, walaupun ia lelaki, tapi ia lebih suka memasak dari pada bola. Terbalik bukan? Iya lah! Natan yang seharusnya suka bola, sedangkan Aleanora suka memasak.

"Ngapain sih lo suka bola?"

"Terus lo kenapa suka masak?" tanyanya balik tidak mau kalah. "Serah gue lah!"

"Yaudah, begitupun gue!" Emang bener, Abang dan adek tidak pernah akur. Tetap jika mereka susah, saling membantu satu sama lain.

Aleanora meliriknya sinis, lalu kembali menonton pertandingan sepakbola tersebut. "Mau ikut gak?" tanya Natan. Niatanya tadi memasuki kamar adek nya, untuk mengajak jalan.

"Kemana?"

"Jalan," bales Natan. Aleanora terdiam, ia tampak sedang berpikir. "Gak ah," tolaknya.

"Kenapa?"

"Kan gue lagi nonton!" Natan menggeleng heran. Lebih penting bola kah dari pada jalan bersama abang? Emamg bener, perempuan gila bola.
"Ya Allah, lebih penting bola dari pada jalan abang?"

"Hm," jawabnya tanpa mengalihkan pandanganya. Natan pun melengos pergi, kalau sudah begini tidak dapat di ganggu.

Hening.

Ruangan hening saat Natan pergi, hanya suara komentator dalam pertandingan bola itu.

                                        🪐

Lelaki pemilik mata tajam itu terdiam di balkon kamarnya. Ia sesekali terbatuk-batuk,tapi tidak mematikan rokoknya. Rokok adalah ketenangan, baginya. "Al," panggil Putra, papanya.

"Hmm," Albara membalas dengan deheman, tanpa mengalihkan pandanganya.
Papanya tidak kembali berbicara, justru duduk di dekatnya.

"Gimana sama geng kamu?" Putra mengetahui geng motor yang Albara buat,ia tidak melanggar. Justru ia mendukung, karena dulu ia juga pernah menjadi ketua geng motor.

"Aman aja," balesnya lalu mematikan rokoknya.

Jeda diantara mereka.

"Zanitra sama bunda kemana?" tanya Albara memecahkan keheningan diantara mereka.
"Supermarket," bales Putra.

BANDUNG DAN KISAH KITA Where stories live. Discover now