37 - TIAP MASALAH PUNYA JALAN KELUAR

Start from the beginning
                                    

"Jadi sebenernya lu masih suka sama dia kan?"

"Kayaknya, tapi...." Si Malik langsung menoleh, memberikan ekspresi mencurigakan seolah aku akan melakukan hal yang tidak dia sukai. "Awas lu ya bilang-bilang dia kalau-kalau dia ke sini lagi."

"JANGAN!" tiba-tiba saja aku berteriak meski tadinya ingin kulakukan dalam hati.

Hampir saja si Malik mencurigaiku, sebenarnya dia mencurigaiku setelah itu, tapi dia mencurigaiku menyukainya. Ingin kuberikan tamparan di pipi sebelah kiri supaya kepalanya seimbang karena sepertinya tamparan pertama di pipi sebelah kanan tadi membaut otaknya bergeser. Namun, tidak kulakukan karena tidak mau dia mencurigai bahwa aku menyukai Akbar, sebab aku akan sangat salah tingkah kalau tuduhannya benar.

Setelah itu aku sedikit menyerempet menanyakan tentang bagaimana hubungan Akbar dengan si Asa si paling charger laptop. Mengejutkannya ternyata mereka baru bertemu dua kali, saat mengantarkan si Malik untuk membawa Akbar ke rumah sakit, dan pada malam itu.

Seharusnya si Malik bercerita sampai situ saja karena sedikit membuatku tenang berarti bisa dibilang mereka tidak ada hubungan apa-apa, tetapi cowok sialan itu malah melanjutkan kalimatnya yang membuatku darah tinggi.

"Tapi si Akbar sama Laksani walau baru pertama kali ketemu udah ngobrol yang menurut gue mereka nyambung. Sebelum gue nganterin si Akbar ke rumah sakit, gue pergi ke wc dulu buat ngompol, lu pikir aja gue dah minum banyak terus kena dinginnye ac kafe, pokoknya udah di ujung puncak kehidupan mau keluar masa kudu ditahan. Pas balik-balik mereka lagi ngobrol yang lebih tepatnya si Asa berusaha hibur supaya si Akbar gak pingsan."

Aku menjerit saat itu juga, tapi kali ini betulan dalam hati yang sialnya tidak dapat kutahan sampai harus berlari ke kamar mandi dan berteriak dalam ember berisikan air di sana.

"Sti, lu udah di ujung gerbang kehidupan juga kah? Maksud gue mau ngompol. Unik juga, ngompol bisa bikin menular."

***

Di samping aku yang berusaha meyakinkan diri bahwa Akbar saat ini tidak sedang menyukai siapa pun, Akbar juga berusaha mengajak si Wahyu untuk bicara yang semakin hari sikapnya semakin di luar nalar. Cowok itu tidak lagi ikut kumpul-kumpul dan lebih memilih berdiam diri, tidak ikut makan bersama, juga tidak mengobrol. Bahkan, menurut si Malik si Wahyu kini lebih sering berada di kosan dan tidak pergi ke kampus.

Beberapa kali aku melihat kesempatan Akbar mengajak cowok itu bicara, tapi diabaikan. Tidak tahu juga kenapa dia kekeh untuk bicara dengan si Wahyu, padahal cukup abaikan saja kalau tidak ada sambutan baik, tapi bagi Akbar seperti ada beban moral yang membuat penghuni Kosan Ceria harus akur dan memiliki tempat cerita. Akhirnya, setelah satu minggu aku melihat usaha Akbar tidak sia-sia. Si Wahyu mau diajak bicara.

Saat itu kami sedang berkumpul, membahas perihal kelanjutan hubungan mantan pacar si Hana dan mamanya. Cewek itu memilih akan hadir di pernikahan mereka dengan permintaan mengajak penghuni Kosan Ceria untuk ikut hadir, supaya kalau nanti ada apa-apa bisa meminta bantuan kami langsung. Ajakan itu kontan kami setujui, hanya satu orang yang tidak pasti, si Wahyu.

Tak lama pintu kamar si Wahyu seperti dilempar sesuatu. Kami yang ada di sana langsung mengecek, terlebih Akbar yang langsung menggerakkan tubuhnya dan membuka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. Sebuah ponsel dengan layar retak berada di lantai, sedangkan pemiliknya menunduk di tempat tidur dengan menjambak rambut. Si Wahyu tampak kacau sekali.

"Lu kenapa sih, Nyet?" tanya si Malik sembari mengambil ponsel temannya itu. "Ada masalah? Ada masalah sama kita-kita atau gimana? Eh, kita semua udah coba ngajakin lu buat kumpul bareng, tapi apa yang lu lakuin? Lempar-lempar barang, banting pintu tanpa sebab. Apa masalah lu sih?"

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now