41

861 52 2
                                    

Suasana pagi di mansion Tuan Mayer terlihat sama seperti hari-hari biasanya. Kini semua orang telah berkumpul di ruang makan untuk sarapan.

Elena yang paling terakhir datang dengan dasi di tangannya. Mattew yang pertama melihat itu lalu matanya berbinar saat melirik ayahnya.

"Apa aku melewatkan sesuatu?".

Mata Mattew melirik dasi di tangan Elena kemudian menyikut perut Shawn yang duduk di sampingnya. Frank sama sekali tidak bereaksi.

"Biasanya bibi Dorette yang menyiapkan semua keperluan ayah. Tapi aku senang melihat ibu yang melakukannya sekarang".

Dengan cepat Shawn menginjak kaki Mattew di kolong meja. Itu karena wajah Elena yang memerah.

"Berhenti bicara di meja makan anak-anak ".

Suara bariton Tuan Mayer membuat Mattew dan Shawn hanya bisa mengangkat bahu tanda bingung. Kakeknya tidak pernah seperti itu.

"Apa kau akan pergi bekerja?".

Tanya Tuan Mayer pada Frank. Kepala Frank mengangguk. Ia masih mengunyah roti di mulutnya jadi ia tidak bersuara.

Tak ada lagi pembicaraan hingga sarapan selesai. Frank berpamitan untuk pergi ke kantor. Elena mengantarnya ke halaman masih dengan dasi di tangannya.

"Dasimu".

Elena mengulurkan dasi itu pada Frank namun pria itu justru menunjuk kerah bajunya. Artinya ia meminta Elena untuk memasang dasi itu. Ekor mata Frank bisa melihat Tuan Mayer sedang memperhatikan mereka dari balkon.

Dengan ragu Elena melingkarkan dasi di leher Frank. Ini pertama kalinya ia melakukan itu karena memang selama menikah Dorette lebih banyak mengurusi keperluan Frank. Dan itu tidak pernah jadi masalah sebelumnya.

Frank menahan napas saat kepala Elena berada tepat di bawah dagunya.

"Apa sudah selesai?".

Tanya Frank lagi karena tangan Elena tidak bergerak lagi.

"Aku ... aku tidak bisa membuat simpulnya ".

Frank meraih tangan Elena dari lehernya lalu menurunkan itu bersama dasi yang masih menggantung.

"Kalau begitu aku tidak akan memakai dasi hari ini".

"Tapi Frank...".

"Itu hanya sebuah dasi El...".

Hanya itu dan Frank membuka pintu mobil dan masuk. Elena masih terpaku di tempatnya bahkan hingga mobil menghilang di gerbang. Ia meremas dasi di tangannya sambil tersenyum pahit.

Hanya hal kecil ini...dan Aku tidak bisa melakukannya...

"Itu hanya sebuah dasi sayang...".

Suara Tuan Mayer membuat Elena terkejut lalu berbalik dan melihat ayahnya tersenyum.

"Apa yang harus aku lakukan ayah?".

"Seandainya ibumu masih hidup saat kau tumbuh dewasa, mungkin ia akan mengajarimu banyak hal. Maafkan ayah Elena".

Elena langsung memeluk ayahnya dan berusaha menghilangkan gundah di hatinya. Ia tidak ingin menangis hanya karena dasi.

"Mulai sekarang aku akan menjadi putri ayah dan ibu untuk anak-anakku. Jangan meminta maaf untuk apapun. Ayah sudah membesarkan aku dengan sempurna".

"Apa maksudmu?".

Elena mengurai pelukan mereka dan menatap ayahnya.

"Hiduplah dengan baik seperti hari-hari kemarin. Aku dan Frank baik-baik saja. Cinta bisa membuat kami berdua melewati ini".

Cinta?

Elena berjalan lebih dahulu dan pergi ke kamarnya. Ia masih menatap dasi itu di tangannya. Ia mengambil ponsel dan  menelepon Dorette.

"Bersihkan kamar utama dan ganti semua perabotan. Aku ingin suasana yang lebih segar. Sore nanti aku kembali ke Naerum".

Pukul sebelas siang Elena mengemudi menuju kantor Frank. Ia membawa paper bag berisi makan siang. Saat lift membawanya tiba di lantai teratas gedung ini ia melihat Frank keluar dari ruang kerjanya bersama Theodor.

"Nyonya...".

Sapa Theodor yang membuat Frank mengangkat kepalanya. Elena menghentikan langkahnya untuk maju.

"Tunggu aku di lobi".

Frank memberi perintah kepada Theodor. Kemudian ia berbalik dan masuk ke ruang kerjanya. Ia melepas kancing jasnya dan duduk di sofa yang biasa dipakai menerima tamu. Elena masuk dan duduk di hadapannya sambil meletakkan paper bag di meja.

"Apa kau sibuk? Aku...Aku membawa makan siang sebagai permintaan maaf soal ...dasi itu".

Elena hampir menelan kata-kata terakhirnya. Seumur hidup ia tidak pernah minta maaf pada siapapun kecuali ayahnya. Dan ekspresi Frank menunjukan itu. Terkejut.

Lalu tanpa bicara apapun Frank membuka paper bag itu dan mengambil makanan lalu makan tanpa suara. Elena meraih botol jus dan membuka tutupnya. Ia berusaha beberapa kali namun tetap saja itu sulit.

Frank meletakkan kotak makanan dan mengambil botol dari tangan Elena dan membukanya dengan mudah. Itu menambah rasa malu Elena.

"Apa kau sudah makan?".

Elena berusaha tersenyum walau sebenarnya ia ingin menggeleng. Frank mengambil satu kotak makan yang tersisa lalu menyodorkan itu untuknya. Elena menerimanya dengan ragu. Tapi ia tetap membukanya dan memulai suapan pertama yang terasa seperti racun untuknya. Ia mengunyah dengan perlahan.

"Jadilah dirimu sendiri. Jika kau berubah akan sulit bagiku untuk melihatmu sebagai Elena. Kenapa? Karena aku mengenalmu sangat lama. Semua tentang dirimu tidak pernah terlewatkan olehku".

Kepala Elena yang tadinya menatap Frank tiba-tiba tertunduk. Ia menahan agar air matanya tidak mengalir keluar. Frank berpindah dan duduk di sampingnya. Ia menepuk punggung Elena.

"Aku ada pertemuan penting 5 menit lagi. Kalau kau mau menunggu silahkan istirahat di kamarku tapi jika kau ingin pulang hati-hati di jalan. Theodor tidak bisa mengantarmu karena ia harus pergi bersamaku".

"Pergilah...".

Suara Elena hampir seperti bisikan. Frank menatap wajahnya sekilas lalu berdiri dan mengancingkan jasnya.

Suara pintu yang tertutup membuat Elena mengangkat kepalanya dan air mata itu luruh juga. Meski begitu ia tetap makan.

Apa ini?
Kenapa sangat sulit memahami dirimu?

Setelah membereskan meja dari sisa makanan dan membuangnya ke sampah Elena pergi ke meja kerja Frank. Semua masih sama. Ia membuka laci dengan iseng. Tak ada hal apapun yang mencurigakan sampai matanya melihat sebuah foto di dasar laci. Dengan tangan gemetar ia menarik foto itu.

Ia segera tahu itu adalah foto Frank, Larine dan Sena. Sepertinya itu di Paris. Perasaannya semakin sedih dengan berbagai dugaan tentang foto itu. Ia bisa melihat binar bahagia di mata mereka tanpa rasa beban.

Apa yang istimewa dari Larine?

Elena mengusap wajahnya dan berusaha berpikir jernih. Baru saja ia melihat sisi Frank yang ia kenal, apakah ia akan merusaknya dengan foto ini? Ia menggeleng pelan.

Aku istrinya dan Frank adalah ayah Mattew dan Shawn...Aku tidak boleh kalah dengan perasaanku...

Dengan perlahan ia berjalan ke kamar Frank. Ia membuka sepatunya dan merebahkan diri di ranjang itu. Segala kenangan manis mereka muncul satu persatu. Ia memeluk guling dan menghirup aroma Frank yang tertinggal di sana.

Aku mencintaimu Frank Jensen...
Aku mencintaimu dan selalu akan begitu...

️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️➡️

SECOND HOME (TAMAT)Where stories live. Discover now