"Jangan salah, dia mau kok"

Kiamat!

"Om! Jangan bercanda deh!" Glen mulai resah, dia benar-benar ingin pergi saat itu juga.

"Tapi dia maunya sama Marco" Om Prab terkekeh melihat wajah Glen yang makin pias.

"Beneran Om?" Jantung Glen tambah tak karuan, anak Om Prab ada tiga, yang pertama Marco, sedang sekolah S3 di Inggris dan tinggal bersama ibunya, yang kedua Abi, sudah menikah beberapa bulan yang lalu, dan ketiga Calvin, yang teman mereka itu.

"Bener, tadinya Om pengen banget dia sama Calvin aja, tapi Calvin kurang kuat sih kalau buat Chalize"

"Om, nggak gitu donk cara mainnya Om, mentang mentang" Glen agak tenang sebab Marco itu tinggal jauh dari Indonesia dan sangat jarang pulang, bahkan dia hanya menyempatkan stay semalam saja sewaktu adiknya menikah.

"Hahahaha Glen Glen, makanya langsung lamar, for your information, lima bulan lagi Marco pulang, stay permanen di Indo" Om Prab mengulas senyum sambil menepuk punggung lebar Glen.

"Ahhh om om nggak boleh kayak begitu ah Om, kemusuhan kita!" Glen tambah konyol, sesuka sukanya dia dengan Om Prab, tapi kalau urusannya seperti ini dia tak suka lagi. Om Prab terus tertawa dan Glen tak bisa membedakan mana yang bercanda mana yang bukan sebab Om Prab itu politisi senior.

"Oh Boy, itu semua tergantung kamu dan bagaimana kamu menakhlukan dia" tutup Om Prab yang mulai dekat dengan Chalize dua tahun lalu setelah gadis itu berhasil mencarikan tanah untuk stable kuda Om Prab di wilayah pedesaan yang sejuk di seputaran Salatiga.

Waktu itu Glen sedang pulang ke Jakarta dan kebetulan bermain golf dengan ayah temannya itu. Kemudian Om Prab menceritakan tentang rencananya yang gagal untuk membeli sebidang tanah, iseng Glen menceritakan tentang Chalize yang memiliki teman kuliah anak seorang tuan tanah dari desa yang dimaksud, maka gayung pun bersambut.

Chalize bisa menjembatani keduanya dan jual beli pun terjadi tanpa makelar. Dari sana lah Om Prab tak hanya mengenal Glen, tapi juga Chalize, pacarnya.

Glen ingin menjelaskan kepada Om Prab bahwa sesungguhnya Chalize dan keluarganya telah menerima lamaran sederhananya kemarin, tapi perhatian mereka tersita oleh keramaian yang terjadi di tengah arena pacuan kuda.

Pandangan mereka pun mengarah ke tengah lapangan itu, di mana tiba-tiba Calvin berlutut di hadapan Meira dan menyodorkan sebuah kotak kecil, tak lama serenada datang, pelayan membawa bunga bunga, Meira hanya berdiri menangis dan Chalize takjub melihat semua yang terjadi.

Konfetti pun diletupkan setelah Meira mengatakan iya dan Calvin menyematkan cincin bertahtakan berlian yang khusus dipesannya dari Bruzzle itu.

Tanpa ragu-ragu dia sejoli itu berciuman di tengan pacuan kuda dan diiringi tepuk tangan Chalize serta para pelayan di antara nyanyian lantunan lagu cinta Italia yang dibawakan serenade.

Om Prab pun bertepuk tangan dan bersiul.

"BRAVO! ITU BARU ANAK PAPA!" Ujarnya

Glen mau tak mau juga bertepuk tangan, sambil terus memperhatikan Chalize di sana seiring rasa takutnya kalau-kalau Om Prab benar-benar mengambil Chalize sebagai mantu. Bersaing dengan Wafa saja Glen merasa sulit, apalagi ini adalah Marco, Si Anak sulung serba bisa itu, yang dulu selalu jadi panutan dan bahan perbandingannya semasa kecil hingga usia sekolah.

"Koyo' Marco anak e Mbak Hartini kae lho, bocah kok bagus, anteng main musik pinter sekolah juara terus , melu olimpiade science, oleh medali, ra ming dolanaaaan hape wae taa .. Gleeeen!"

(Seperti Marco anak Mbak Hartini tu lho, anaknya ganteng, pendiam, pintar main musik, sekolah juga juara terus, ikut olimpiade science, dapat medali , nggak cuma hapean kayak kamu Glen)

Thank God, It's YouWhere stories live. Discover now