PART 11 - Om Raka

Mulai dari awal
                                    

“Mata kamu kenapa? Kenapa bisa keunguan gitu? Sudut bibir kamu juga berdarah kemarin dan kemarin pipi kamu merah.”

Sela menunduk mendengar itu. Dia menahan napas sambil gelagapan. Sela berusaha menghindar dari tatapan Om Raka. Sela berharap Om Raka tidak membicarakan itu lebih jauh.

“Siapa yang melakukan ini sama kamu, Sela?” Om Raka masih tetap menatap Sela meski keponakannya itu tidak menatapnya juga.

“Sela.”

Sela menggeleng. “Nggak ada.”

“Apa nya yang nggak ada?”

“A—aku cuma jatuh, Om.”

“Oke, kamu jatuh. Jatuh di mana? Kalo dari ketinggian lantai lima ke atas bisa saja. Tapi kenapa kamu ada di ketinggian sana? Terus Sela, kamu harus tahu, mata kamu yang keunguan itu enggak mungkin karena jatuh.” Om Raka terus bertanya yang membuat Sela bingung harus menjawab apa. Sela tidak ingin Om Raka atau siapa pun mengetahui apa yang dia alami.

“Sela, Om ada di sini, akan selalu ada di belakang kamu. Di pihak kamu. Kamu keluarga Om satu-satunya. Kasih tahu Om, siapa yang sudah berani buat kamu begini?”

Om Raka tahu jelas dari gelagat Sela yang aneh. Keponakannya itu pasti menyembunyikan sesuatu darinya. Apalagi melihat kondisi Sela seperti itu, kondisi yang pas dengan seseorang yang mengalami kekerasan.

Sela yang mendengar perkataan Om Raka juga raut khawatir dari Om Raka langsung berkaca-kaca. Sela terharu. Sudah lama rasanya tidak ada yang mengkhawatirkan dirinya. Rasanya kata-kata itu seperti kasih sayang Om Raka padanya. Sela butuh kasih sayang dari orang tuanya, tetapi meski begitu perasaannya menghangat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Om Raka. “Om gak usah khawatir, aku gak papa.”

Sela kembali menunduk. Om Raka adalah adik dari Ayahnya. Parasnya sedikit mirip dengan Yoga. Om Raka juga selama ini mengganti posisi Yoga yang menjadi pemilik perusahaan di luar kota.

Om Raka setiap bulan selalu datang ke rumah. Om Raka juga setiap bulan selalu mengirim uang yang terlalu banyak untuk ukuran anak SMA. Tetapi Om Raka selalu mengatakan jika uang yang Sela terima adalah uang Sela sendiri.

Beberapa bulan yang lalu Om Raka pernah memarahi Sela. Saat itu Sela memutuskan untuk bekerja karena bosan jika terus duduk di rumah tanpa memberitahukan hal itu pada Om Raka. Sela memang sering sibuk dengan tugas sekolah, tapi waktu Sela di rumah lebih banyak kosong karena Sela tipe orang yang selalu menomor satukan tugas sekolah.

“Gak usah khawatir gimana? Kondisi kamu begini Sela.”

“Om....” Sela menggeleng lalu mengusap perutnya yang lapar. “Aku lapar tahu.”

Om Raka menghela napas panjang. Sela sangat susah untuk di bujuk, jadinya dia akan mengalah dulu. Kemudian Om Raka membawa bubur juga donat itu ke depan Sela.

“Ada donat!” mata Sela berbinar. Tangannya ingin mengambil donat itu tapi Om Raka menjauhkan donat itu dari jangkauan Sela.

Sela menatap Om Raka ingin protes. Om Raka menggeleng. “Bubur dulu habis itu kamu mau makan donat sepuasnya juga gak papa.”

Sela dengan wajah cemberut memakan bubur dengan terpaksa. Om Raka tertawa pelan melihat itu. “Makan yang banyak biar besok jadi pulangnya.”

“Kok besok, sih?” Sela tidak mengerti kenapa dia harus pulang besok. Dia merasa baik-baik saja, jadi seharusnya Sela pulang hari ini.

“Oh kamu maunya satu minggu lagi di sini? Gak papa, biar Om bicarain sama dokternya.”

Sela melotot terkejut. “Om!”

***

     Siang itu Sela sendiri di ruangannya, dia memainkan ponselnya sambil mengunyah donat ke empat. Om Raka bilang dia akan mengunjungi rumahnya untuk mandi di sana. Tentu saja dari tadi Sela bosan, tapi sekarang dia sedang berkirim pesan dengan Adam sehingga mengurangi rasa bosannya.

Adam

Selain donat, lo suka apa?

Yang manis-manis, mungkin?


Coklat? Buah-buahan?

Gak tahu. Kenapa emang?


Mau bawain lo sesuatu.

Hah? Gak usah Adam. Lo kenapa, sih? Bikin gue gak enak mulu sama lo.
Gue berasa ngerepotin lo tahu.


Gue yang mau, ya. Jadi lo gak ngerepotin gue.
Gimana sekarang? Udah baikan?

Gue baik-baik aja malah. Gak sakit apa-apa tapi di rawat. Kan aneh.

Lo yang aneh. Cewek aneh.

Perhatian Sela tiba-tiba teralihkan saat mendengar bunyi pintu terbuka. Sela melotot terkejut. Ponselnya dia simpan dengan gugup. Sean, Intan, Rindi juga Tomi baru saja memasuki ruangan inapnya.

“Hai Sela.” Sapa Intan. Cewek itu tersenyum manis pada Sela.

“Udah dua hari lo gak masuk. Kami kangen tahu!” Intan duduk di kursi, Rindi berdiri di samping Intan sambil menatapnya tidak suka. Sementara Sean duduk di kursi dekat jendela sambil menatap kondisi Sela, di sampingnya Tomi hanya duduk dengan malas.

“Tapi ternyata lo masuk rumah sakit. Lo bikin gue khawatir.” Intan tertawa pelan. Dia mendekat lalu berbisik. “Gue tadinya berharap lo mati, sih.”

Sean berdiri ketika tatapannya bertemu dengan Sela. Tomi ikut berdiri lalu berjalan keluar.

“Mau ke mana?”

“Gue tunggu di luar.” Sean dan Tomi kini sudah tak terlihat.

Rindi menekan dagu Sela hingga Sela menengadah. “Kenapa lo masih hidup, sih?! Oh atau lo belum puas gue pukul?”

Intan kembali tersenyum pelan melihat Sela ketakutan. Rindi berdecih dan menjauh dari Sela.

“Kenapa lo ketakutan? Gue sebagai teman yang baik rela jenguk lo sampai ke sini. Yang lain? Mereka gak sebaik gue yang jenguk lo, Sel.” Intan berdiri sambil tertawa.

Sela tersentak saat tiba-tiba Intan menjambak rambutnya. Intan kini menatapnya tajam. “Gue tunggu lo di sekolah. Jadi, jangan lama-lama sakitnya.”

*****

See you next part gaess!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Hope.... Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang