Tiga

396 56 11
                                    

Wajib follow sebelum baca!

*****

"Mas Erick" cicit Karen, ia sungguh tak tahu bagaimana cara menghadapi kekesalan suaminya.

"Enggak denger, aku masih ngambek sama kamu!" Ucap Erick, mencoba acuh. Lelaki itu meraih ponsel lalu menyibukan diri dengan ponselnya. Sesekali mata Erick melirik ke samping, pada istrinya yang hanya duduk diam sambil terus memperhatikannya.

Beberapa menit terlewati hanya dalam keheningan, Karen pikir sepertinya Erick benar-benar kesal padanya. Merasa kehadirannya saat ini tak berberguna, Karen memilih berpamitan pulang.

"Aku pamit pulang, Mas" pamit Karen, sedikit tak nyaman berada di suasana yang sedikit awkward untuknya.

Erick gelagapan, padahal ia ingin istrinya itu membujuknya bukan malah meninggalkannya pergi begitu saja. Dengan cepat Erick menahan bahu Karen saat istrinya itu akan beranjak, tapi terdengar ringisan pelan dari mulut sang istri.

"Kenapa?" Tanya Erick, khawatir. Padahal Erick rasa cengkraman tangannya tak sekuat itu tapi kenapa bisa sampai membuat Karen meringis kesakitan.

Sedikit paksaan Erick mengangkat lengan baju Karen, terlihat jelas memar di bahu istrinya itu.

"Ini kenapa?" Erick tak bisa menyembunyikan nada penuh kekhawatiran saat bertanya. Kulit putih istrinya sangat kontras dengan luka memar itu. Dilihat dari warnanya juga sepertinya luka itu belum lama dihasilkan.

"Aku enggak kenapa-kenapa, Mas" ujar Karen, mencoba menarik turun lengan bajunya.

"Aku enggak tanya itu, aku tanya ini kenapa?" Tanya Erick penuh penekanan, karena mau istrinya itu berkata jika dirinya baik-baik saja luka memar ini tidak bisa berbohong.

"Kayanya tangan aku kepentok meja sewaktu padamin api" jelas Karen. Teringat kembali saat keadaan chaos di kitchen tadi pagi.

"Maksudnya?" Tanya Erick tak mengerti.

"Ada yang salah atur suhu oven, sempet ada kebakaran kecil di kitchen" jelas Karen.

"Astaga, yang. Kenapa enggak bilang?" Tentu Erick kaget mendengarnya, kejadian seperti itu tapi Karen sama sekali tak mengabarinya. Erick saat ini ingin marah saja rasanya, tapi tentu ia tidak bisa melampiaskan rasa marah pada wanitanya ini. Jadi yang bisa Erick lakukan saat ini adalah menarik dan menghebuskan nafasnya pelan untuk meredakan emosinya. Hal sepenting ini Karen tak memberitahunya.

"Lain kali kalo ada apa-apa segera hubungi aku, aku khawatir, yang" ucap Erick, selembut mungkin. Mau tak mau Karen hanya balas dengan anggukan pelan.

"Udah kamu obatin?" Tanya Erick yang mendapat gelengan kepala Karen, dirinya saja tidak tahu jika tangannya memar.

Awalnya Erick mengajak Karen pergi ke klinik kantor tapi ternyata klinik kosong tidak ada yang menjaga. Karena itu Erick mengajak Karen keluar, ia meminta Karen menunggu di cafe depan kantor sementara ia pergi untuk membeli obat di apotek.

"Kamu tunggu disini, aku cari obat sebentar ke apotek" Karen hanya balas anggukan pelan ucapan suaminya. Sebenarnya Karen merasa baik-baik saja, memarnya juga tak seberapa. Tapi karen akhirnya tetap menurut, ia tak mau membuat Erick semakin kesal padanya.

Sambil menunggu, Karen memesan secangkir americano untuk Erick dan segelas smoothies untuknya.

Karen hanya duduk diam sambil menunggu kedatangan Erick kembali. Saat tak sengaja tatapan matanya bertatapan dengan seseorang yang sedang mengantri di kasir. Tubuh Karen seketika bergetar dengan keringat dingin yang mulai keluar dari tubuhnya. Apalagi melihat lelaki itu juga ternyata menyadari kehadirannya dengan memberikan sebuah senyuman sinis. Karen sampai mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan penglihatannya. Apa ia salah lihat?

"Sayang" Karen tersentak kaget saat sang suami tiba-tiba sudah berdiri di samping menghalangi pandangannya.

"Kamu kenapa?" Tanya Erick, ia heran melihat kedatangannya wajah Karen terlihat sangat kaget sampai memucat.

"Ah, enggak. Cuma kaget" balas Karen.

Saat Erick mulai mengoleskan salep pada memarnya, Karen kembali menoleh tapi sosok itu sudah tak ada. Tanpa sadar Karen mencengkram erat paha Erick. Yang Erick pikir itu
hanya karena Karen ingin melampiaskan rasa sakitnya, jadi Erick biarkan saja.

"Lain kali kalo ada apa-apa langsung hubungi aku, yang. Bisa-bisanya suami sendiri enggak tau istrinya lagi kesusahan" ucap Erick, ia menyerahkan salep yang sudah selesai ia oleskan kepada Karen untuk istrinya itu bawa pulang agar nanti bisa dipakai kembali.

Tapi Karen yang masih terkejut dengan apa yang belum lama ia lihat hanya terdiam, menatap lurus pada gelas minumannya yang sudah tersisa setengah.

"Yang, denger aku bilang apa?" Tanya Erick, tak sabaran.

"Iya, Mas. Lain kali kali ada apa-apa pasti kamu orang pertama yang aku kasih tau" ujar Karen, mencoba menampilkan sebuah senyuman ditengah kegelisahan hatinya dengan apa yang sebelumnya ia lihat.

"Gitu, dong!"

****

Karen baru saja menerima pesan dari Erick, suaminya itu mengatakan jika sudah ada dalam perjalanan untuk menjemputnya. Maka dari itu Karen mulai sedikit membereskan barang-barangnya.

Sampai kemudian ia mendengar pintu ruangannya diketuk, setelah dipersilakan masuk ternyata itu salah satu pegawainya.

"Maaf, Bu, ada yang mau bertemu"

"Siapa?" Tanya Karen heran, selama ini ia jarang sekali kedatangan tamu selain keluarganya. Jika keluarganya tentu biasanya akan langsung pergi menemuinya.

"Ibu Gina namanya" Gerakan Karen yang sedang menutup resleting tas miliknya terhenti, ia sempat terdiam selama beberapa detik sebelum suara sang pegawai kembali menginterupsinya.

"Suruh masuk!"

Karen menunggu dengan dada berdebar kencang. Ia meraih remot ac untuk menurunkan suhu ke yang paling dingin karena hawa di dalam ruangan tiba-tiba terasa sangat pengap. Sampai seorang wanita yang sudah hampir 8 tahun tak ia temui masuk, sambil menggandeng tangan seorang bocah laki-laki.

"Hai, Ren!" Karen mencoba menampilkan senyuman tipis saat Gina, teman lamanya menyapa. Karen mempersilakan Gina untuk duduk sesaat setelahnya ia berpamitan untuk meminta pegawainya membuatkan minum dan beberapa cemilan.

****

Dalam diam Karen memperhatikan seorang bocah laki-laki yang dengan lahap menyantap kue-kue yang sengaja Karen hidangkan. Wajah anak kecil itu terlihat familiar untuknya.

"Ini Gio, anak gue" Karen menoleh saat mendengar Gina akhirnya bicara setelah beberapa menit terakhir hanya diisi keheningan.

Karen hanya diam, seakan menunggu apa yang akan Gina ucapkan selanjutnya.

"Lo masih sedikit beruntung dari gue, benih lelaki itu enggak sampai tumbuh di rahim lo" ucap Gina, sambil tersenyum miris. Wajah Karen semakin memucat, ia seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

"Tapi, mau gimanapun gue sayang Gio" Masih sambil tersenyum, Gina mengelus puncak kepala anak laki-lakinya.

"Entah berapa orang yang pake gue waktu itu, tapi menurut lo muka anak gue mirip siapa?"

"Kak Tristan" balas Karen pelan, wajah anak itu benar-benar terlihat sangat mirip dengan seorang bernama Tristan yang Karen kenal baik dulu, tapi ternyata lelaki itu juga salah satu orang yang memberikan luka trauma kepadanya.

Mendengarnya Gina terkekeh miris. Tak bisa berbohong, Karen bisa melihat mata wanita di hadapannya itu terlihat berkaca-kaca.

"Bisa jadi benih dia yang tumbuh" balas Gina, entah siapa penyumbang benih dalam rahimnya tapi yang pasti putranya saat ini hanya miliknya.

"Kak Galih bebas" ujar Gina, salah satu alasan Gina sampai rela pergi menemui Karen padahal ia tinggal dibelahan kota yang jauh karena ia ingin memberitahu kabar ini secara langsung.

"Gi-gimana bisa?" Gagap Karen, jadi yang beberapa hari lalu ia lihat itu benar Galih. Kenapa bisa Galih bebas? apa Galih kabur dari penjara?

"Gue cuma mau bilang, lo harus hati-hati!"

****

Yang mau lanjut jangan lupa ramein komennya. Vote juga jangan  lupa🙆🤍

Passive SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang